Selasa, 18 Oktober 2016

Ketidakterbatasan Allah

KETIDAKTERBATASAN ALLAH

         A.   Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Kesempurnaan 
                Kita mengatakan bahwa Allah sempurna dalam artian bahwa Ia tidak dibatasi oleh keterbatasan. Seluruh sifat Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna. Kasih-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya, kebijaksanaan-Nya, hikmat-Nya, pengetahuan-Nya, dll., sudah sempurna dan sama sekali tidak ada kekurangan apapun (Ayub 11:7-10). Hal ini berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia yang serba terbatas dan tidak sempurna. Manusia memang memiliki kasih, namun kasihnya tidak sempurna sehingga ia harus terus belajar mengasihi. Manusia memang memiliki kebijaksanaan, namun kebijaksanaanya masih terbatas dan tidak sempurna sehingga ia harus terus belajar agar kebijaksanaannya bisa berkembang. Manusia memang memiliki kesucian, keadilan, hikmat, pengetahuan, dll., namun sifat-sifat tersebut terus mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan seiring waktu. 

     B.      Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Kuasa (Kemahakuasaan Allah)
              Kemahakuasaan Allah berarti berbicara mengenai ketidakterbatasan-Nya dalam hal kuasa. Kemahakuasaan Allah terlihat dengan jelas dalam (1) karya penciptaan dan (2) pemeliharaan-Nya atas alam semesta  (Kej 1:1; Maz 104:1-31; Ibr 1:3). Ketika Allah menciptakan alam semesta dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo), maka hal itu menunjukan dan membuktikan bahwa Ia mahakuasa. Kemampuan dan kuasa seperti ini tidak mungkin ada pada makhluk ciptaan. Kita memang memiliki kemampuan mencipta (karena kita adalah gambar dan rupa Allah), namun kita hanya bisa mencipta sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada; sehingga sangat tepat jika Pengkhotbah mengatakan bahwa di bawah kolong langit ini tidak ada yang baru; semua hasil karya manusia di dalam dunia ini adalah hasil pengembangan dari sesuatu yang sudah ada di masa lalu (Pkh 1:9-10). Hanya Allah yang bisa menciptakan sesuatu yang baru dalam pengertian yang paling ketat. Demikian juga ketika Dia menopang dan memelihara segala sesuatu yang sudah Ia ciptakan; itu menunjukan kemahakuasaan-Nya. Mungkin orang-orang atheis akan berkata bahwa alam semesta ini bisa terus eksis dan berjalan karena adanya hukum-hukum alam yang bekerja; keteraturan alam semesta tidak harus mengindikasikan adanya Seorang Allah yang menopangnya. Namun kita bisa mengajukan pertanyaan yang sederhana untuk menggugurkan argumennya, yaitu: “Jika alam semesta bisa teratur karena adanya hukum alam, pertanyaannya adalah mengapa hukum alam itu bisa ada? atau bagaimana hukum alam itu bisa ada?". Sains memang bisa menjelaskan BAGAIMANA (HOW) alam semesta bisa terus eksis dan berjalan berdasarkan hukum-hukum alam, namun Sains tidak akan bisa menemukan jawaban MENGAPA (WHY) hukum-hukum alam itu bisa ada. Sampai pada titik itu, Sains harus menundukkan diri di bawah Firman Tuhan; Sains harus bertanya kepada Alkitab untuk menjawab WHY-nya; dan jawaban dari Alkitab adalah: HUKUM ALAM BERASAL DARI TUHAN UNTUK MENOPANG ALAM SEMESTA. Jadi, kita tidak menolak pendapat orang-orang atheis yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada karena ditopang oleh hukum alam. Namun ketika mereka mulai kurang ajar dengan mengatakan bahwa hukum alam itu ada dengan sendirinya (bukan dibuat oleh Allah), maka kita harus menolak pendapat tersebut. Hukum alam tidak bersifat kekal. Hukum alam dibuat oleh Tuhan untuk menjadi penopang alam semesta. Kemahakuasaan Allah bukan hanya terlihat ketika Ia mencipta, tetapi juga terlihat dalam hukum-hukum alam yang Ia buat dan tetapkan untuk menjaga dan menopang alam ciptaan-Nya. Sebenarnya, para Saintis adalah orang-orang yang paling beruntung karena bisa melihat dan menyelami kemahakuasaan serta kebijaksanaan Allah melalui pengamatan dan penyelidikan yang mereka lakukan terhadap hukum-hukum alam. Namun sayang – seperti yang Paulus katakan dalam Roma 1:18-22 – kebanyakan dari mereka menolak kesaksian dari hukum-hukum alam tersebut dan akhirnya menekan hati nurani mereka yang sedang berdoxologi di dalam diri mereka. 
          Perlu diingat bahwa kemahakuasaan Allah tidak boleh dimengerti bahwa Dia bisa dan boleh melakukan segala sesuatu. Ini adalah cara yang keliru dan terlalu sempit untuk memahami kemahakuasaan Allah. Allah tidak mungkin melakukan segala sesuatu tanpa batasan apapun. Jika Ia bertindak, Ia pasti dibatasi oleh sifat-sifat-Nya. Itu sebabnya, sekalipun Allah mahakuasa dan bisa melakukan apa saja, namun Ia tidak bisa berbuat dosa karena ada sifat-Nya yang kudus yang menjadi pembatas sehingga Ia tidak bisa melakukan hal itu. Selain itu, Allah juga adalah Pribadi yang Logis/Rasional, sehingga tidak mungkin ada kontradiksi di dalam diri-Nya ataupun di dalam tindakan-Nya. Sekalipun Allah mahakuasa dan bisa melakukan segala sesuatu, namun Ia tidak mungkin bisa menciptakan sebuah batu yang berukuran super jumbo sehingga Ia sendiri tidak sanggup mengangkatnya. Hal ini tidak mungkin Ia lakukan karena itu berkontradiksi. Jika Ia menciptakan sesuatu, maka sesuatu tersebut pasti lebih kecil dan lebih rendah dari diri-Nya sehingga tetap berada di bawah kontrol-Nya. 

       C.      Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Waktu (Kekekalan Allah)
                Kekekalan Allah berarti berbicara mengenai ketidakterbatasan-Nya dilihat dari sudut pandang waktu. Alkitab menggambarkan kekekalan Allah sebagai waktu yang tidak ada habis-habisnya  (Mzm 90:2; 102:12; Ef 3:21). Memang agak ribet saat membicarakan kekekalan Allah karena kita harus berpikir ekstra keras untuk memahami apa itu waktu dan apa itu kekekalan? Kita terpaksa harus masuk ke dalam suatu yang disebut philosophy of time. 
               Pertama-tama kita harus mendefinisikan apa itu waktu. Waktu adalah sesuatu yang dapat diketahui melalui adanya proses. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang berproses? Waktunya atau alam semesta yang Tuhan ciptakan? Jawaban saya adalah waktu tidak berproses; yang berada di dalam proses hanyalah alam semesta ini. Ketika saya mengatakan bahwa saya sudah hidup di dalam dunia dalam kurun waktu 50 tahun, sebenarnya itu hanya mau menunjukan adanya proses yang terjadi pada diri saya dan dunia di sekitar saya; sedangkan waktu itu sendiri tidak berubah dan tidak berproses; waktu itu tetap menjadi suatu misteri yang tidak dapat diketahui dan didefinisikan. Karena alam semesta (termasuk manusia) mengalami proses, maka timbullah kesan adanya waktu. Jadi, waktu itu hanyalah persepsi kita karena kita mengalami dan melihat adanya proses yang terjadi pada diri kita dan dunia disekitar kita. Sama seperti eksistensi ruang itu bergantung pada materi dan luasan, maka waktu juga sangat bergantung pada proses; tanpa ada proses yang terjadi, maka tidak akan ada persepsi tentang waktu. Sama seperti jika tidak ada materi dan luasan, maka tidak akan ada eksistensi ruang.
          Konsep waktu seperti ini sepertinya selaras dengan apa yang Alkitab katakan mengenai waktu dan kekekalan. Alkitab mengatakan bahwa kekekalan adalah suatu waktu yang tidak ada habis-habisnya (Mzm 90:2. NKJV: from everlasting to everlasting). Jadi, sebenarnya waktu dan kekekalan memiliki hubungan. Menurut pengertian Alkitab, waktu dan kekekalan adalah satu hal yang dapat dilihat dari 2 sudut pandang yang berbeda, yakni (1) dari sudut pandang alam semesta yang mengalami proses, dan (2) dari sudut pandang Allah yang tidak mengalami proses. Jadi kekekalan itu sendiri sebenarnya adalah waktu, namun waktu yang tidak dapat dipersepsikan karena tidak ada sesuatu yang mengalami proses. Jadi, berada di dalam kekekalan berarti berada dalam kondisi yang tidak mengalami proses, sehingga seolah-olah tidak ada waktu yang dapat menunjukan proses tersebut. Di dalam kekekalan tidak akan ada waktu karena tidak ada proses. Ketika dikatakan bahwa di kekekalan nanti kita akan hidup selama-lamanya (tidak mengalami kematian), itu sebenarnya mau menunjukan bahwa kita tidak akan berada di dalam proses (dari janin -> bayi -> anak-anak -> remaja -> dewasa ->orang tua – mati). Jika hal itu terjadi, maka itu bukan lagi kekekalan.  Berdasarkan pengertian ini, berarti kita harus menolak konsep yang selama ini diajarkan bahwa waktu dan kekekalan adalah dua realm yang berbeda; ibaratkan 2 garis lurus sejajar yang tidak akan pernah bertemu. 
Sekarang kita kembali kepada poin yang mengatakan bahwa Allah itu kekal. Apa maksudnya? Maksudnya adalah bahwa Allah tidak berada di dalam proses dan juga tidak mengalami proses. Semua yang Ia ciptakan mengalami proses, sehingga mereka disebut ciptaan yang fana, tetapi Allah tidak mengalami proses sehingga Ia disebut Pribadi yang kekal. 

Jumat, 14 Oktober 2016

Allah adalah Roh

                                                                               Allah adalah Roh

Tuhan Yesus berkata bahwa Allah adalah Roh, itulah sebabnya kita harus menyembah Dia dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24). Kata roh berasal dari kata ruah (bahasa Ibrani) dan pneuma (dalam bahasa Yunani) yang berarti (1) udara yang bergerak (khususnya nafas), (2) kuasa yang tidak terlihat, (3) jiwa manusia. Istilah roh yang disematkan pada Allah bertujuan untuk menunjukan bahwa Allah adalah keberadaan yang berbeda dengan dengan apapun. Perbedaannya dalam hal: (1) Ia bukan keberadaan yang bersifat materi (2) tidak dapat dilihat dan (3) tanpa komposisi. Mengatakan bahwa Allah adalah Roh berarti juga mengatakan bahwa Allah memiliki substansi; bukan sekadar ide, konsep atau pemikiran yang abstrak. Kata “Roh” juga merujuk kepada suatu keberadaan yang sederhana dan yang tidak dapat diurai maupun dibentuk dari bagian-bagian atau elemen-elemen tertentu. Jika materi memiliki bagian-bagian yang dapat diurai, maka tidak demikian dengan roh.
Bukankah manusia juga memiliki roh? Bukankah malaikat juga merupakan suatu keberadaan yang bersifat roh? Apa bedanya dengan Allah yang adalah Roh? Memang benar bahwa bukan hanya Allah yang memiliki sifat roh; manusia dan malaikat  juga memilikinya. Namun walaupun demikian, Roh Allah berbeda dengan roh manusia dan malaikat. Roh Allah harus dimengerti dalam pengertian mutlak, sedangkan roh manusia dan malaikat harus dimengerti dalam pengertian yang relatif. Berikut adalah penjelasannya:

a.       Roh Allah dan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat) walaupun mirip di dalam kesederhanaannya, tetapi kesederhanaan Roh Allah bersifat mutlak dan tidak berubah; sedangkan roh manusia, sekalipun bersifat sederhana, dapat mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan, misalnya kualitas intelektual di dalam roh manusia yang senantiasa bertumbuh dan berubah. Kualitas intelektul dari seorang bayi pasti berbeda dengan orang dewasa maupun orang tua. Disini kita bisa melihat adanya suatu perubahan dan perkembangan pada roh manusia. Hal seperti ini tidak terjadi pada diri Allah. Roh Allah sudah sempurna sejak kekekalan sampai kekekalan. Roh Allah tidak pernah dan tidak akan pernah mengalami perkembangan, pertumbuhan dan perubahan. Roh Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna!
b.      Roh Allah bersifat kekal (tidak berawal dan tidak berakhir) sedangkan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat) memiliki awal dan tidak memiliki akhir (walaupun sebenarnya Allah bisa saja mengakhirinya/memusnahkannya).

Dengan mengatakan bahwa Allah adalah Roh, berarti kita harus menerima fakta bahwa Allah tidak memiliki tubuh jasmani dan dengan demikian tidak mungkin bisa dilihat oleh manusia (makanya aneh jika orang-orang atheis menuntut kita untuk menunjukan keberadaan Allah; padahal Allah adalah Roh yang pasti tidak mungkin bisa dilihat dan ditunjukkan oleh manusia). Ini penting untuk dipertegas agar kita tidak jatuh ke dalam kesalahan dengan mengklaim “pernah melihat Allah”. Allah adalah Roh, jadi tidak mungkin bisa dilihat. Memang di dalam Alkitab ada dicatat bahwa Allah menampakkan diri-Nya kepada beberapa orang. Namun itu harus dipahami dalam konteks Teofani. Teofani (theos = Allah; Phaneroo = menampakkan diri dalam suatu wujud tertentu/mewujudkan diri) artinya adalah Allah yang menampakkan diri/mewujudkan diri sehingga bisa dilihat manusia. Dalam Perjanjian Lama, Allah pernah melakukan hal ini ketika bertemu dengan Yosua dalam wujud Panglima Balatentara Allah (Yos 5:14), Abraham dalam wujud Malaikat (Kej 18:1-3), Yakub dalam wujud seorang laki-laki  (Kej 32:28-30), Musa dalam wujud semak yang menyala (Kel 3:2). Teofani berbeda dengan inkarnasi. Teofani adalah peristiwa dimana Allah menunjukan diri-Nya dalam sebuah wujud (bisa manusia, malaikat, benda-benda, dll) dan tidak berlangsung lama ataupun permanen; sedangkan inkarnasi adalah peristiwa dimana salah satu Pribadi dari Allah Tritunggal, yakni Allah Anak, mengambil natur manusia dan itu terjadi secara permanen (yang berinkarnasi bukan Allah Tritunggal, melainkan hanya salah satu dari ketiga Pribadi tersebut).
Selain itu, kita juga harus menghindari kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang Israel ketika mereka “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk patung anak lembu emas. Dalam benak Israel, patung anak lembu emas tersebut bukanlah allah lain; itu adalah patung Allah (Kel 32:8). Apakah itu salah? Ya, itu salah! Dan Allah sangat murka terhadap tindakan orang-orang Israel tersebut. Logikanya sebenarnya sederhana: kita tidak bisa melihat Allah, jadi secara otomatis kita tidak akan bisa dan tidak boleh sekali-kali untuk “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk apapun (patung, gambar, dll) karena itu akan membatasi Allah yang adalah Roh (Yes 40:18). Kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang Israel ini pasti karena mereka masih terpengaruh dengan konsep ibadah orang-orang Mesir yang mengaitkan dewa mereka dengan binatang atau benda-benda tertentu. Jadi, menyembah patung yang kita sudah tahu bahwa itu adalah berhala (seperti kepercayaan Animisme, Totemisme, Budhisme, Hinduisme) itu adalah salah dan berdosa.; namun menyembah Allah yang kita visualisasikan dalam bentuk patung dan gambar juga merupakan suatu tindakan yang salah dan berdosa.

Namun mungkin timbul pertanyaan di dalam benak kita: “Jika Allah adalah Roh, mengapa di Alkitab ada catatan-catatan yang menunjukkan seolah-olah Allah memiliki bentuk-bentuk fisik (Yos 4:24; 1Raj 15:15, dll)?” Kita bisa menjelaskannya dengan 3 cara: (1) Semua bentuk fisik yang disematkan pada Allah (wajah, tangan, kaki, hati, kepala, bibir, mata, dll) adalah suatu gaya bahasa anthrophomorphe (anthropos = manusia; morphe = bentuk/wujud) yang dapat diartikan sebagai suatu gaya bahasa yang menggunakan bentuk-bentuk fisik dan sifat manusia untuk diterapkan pada sesuatu (dalam hal ini Allah). Anthropomorphe mengacu kepada persepsi bahwa Allah memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia. Tujuannya adalah agar manusia dapat lebih mudah memahami dan mengenal Allah yang tidak terbatas dengan kapasitas otaknya yang sangat terbatas. Karena manusia adalah makhluk jasmaniah, maka pemahaman manusia mengenai sesuatu yang bersifat suprajasmaniah harus diakomodasi; dan satu-satunya cara untuk mengakomodasi hal tersebut adalah menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. (2) Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka apa yang ada pada manusia, pasti ada pada diri Allah (setidaknya ada di dalam pikiran Allah). Kalimat ini harus dipahami dengan cermat agar tidak tersesat dengan mengatakan: “karena manusia memiliki bentuk fisik maka Allah pasti memiliki bentuk fisik karena manusia adalah gambar dan rupa-Nya!” Saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu!  Maksud saya adalah, ketika Allah akan mencipta manusia, Allah pasti sudah memiliki konsep/design bagaimana bentuk fisik manusia. Allah pasti sudah merancang bahwa manusia akan memiliki bentuk-bentuk fisik (dari kaki sampai rambut), namun bentuk fisik tersebut hanya berlaku bagi manusia dan tidak bagi Allah; konsep bentuk-bentuk fisik seperti ini PASTI ADA di dalam pikiran Allah, namun TIDAK HARUS diterapkan pada pribadi Allah. Misalnya: Ketika kita membuat mobil, kita pasti punya konsep bahwa mobil harus punya ban. Apakah manusia yang membuat mobil harus mempunyai ban? Jelas tidak! Ban itu HARUS ADA pada mobil, tetapi TIDAK HARUS ada pada manusia yang membuat mobil. Demikian juga dengan manusia. Ketika manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, semua yang ada pada manusia pasti ada pada diri Allah (setidaknya dalam pikiran Allah) termasuk bentuk fisik, sehingga tidak salah jika kita menggunakan gaya bahasa anthropomorphe untuk memahami Allah karena bentuk fisik itu sendiri ada dalam pikiran Allah. (3) Untuk mengantisipasi inkarnasi Allah Anak. Ketika inkarnasi, Allah Anak tidak hanya mengambil natur manusia, melainkan juga bentuk fisik manusia. Untuk mempersiapkan manusia menerima konsep “Allah yang menjadi manusia dengan bentuk fisik” seperti itu, Allah telah terlebih dahulu menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. 

Rabu, 05 Oktober 2016

Baptisan Untuk Bayi dan Anak-anak

Baptisan Bayi dan Anak-Anak

            Mengenai pembaptisan anak-anak dan bayi, Herman Bavinck berkata bahwa “validitas hal itu bergantung secara eksklusif terhadap bagaimana Alkitab menghargai anak-anak kecil dan olehnya menghendaki kita untuk menghargai mereka.”   Saya sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini oleh karena kita tidak bisa bersikap lain daripada bersikap selaras dengan apa yang telah dinyatakan oleh kitab suci.
Pembaptisan bayi dan anak-anak di dalam gereja Protestan dikritik oleh kalangan Baptis, Pentakosta dan Kharismatik, dengan alasan bahwa bayi dan anak-anak kecil belum dapat beriman dan oleh karena itu belum dapat dibaptis. Dasar Alkitab yang sering mereka kemukakan adalah Markus 16:16 “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, ... .” Menurut frase ini, secara logis seseorang percaya terlebih dahulu, baru kemudian dibaptis (Kis 8:36-38; 16:14-15,30-33). Tetapi gereja Protestan melaksanakan baptisan bayi dan anak-anak bukanlah tanpa alasan teologis. Beberapa alasan di bawah ini dikemukakan sebagai pembelaan teologis – yang selaras dengan Alkitab – bahwa bayi dan anak-anak berhak untuk dibaptis.

1. Konsistensinya dengan Sunat dalam Perjanjian Lama
        Di dalam Perjanjian Lama, Abraham dan seluruh keturunannya diperintahkan untuk disunat (Kej 17:10-14); dan mereka yang harus disunat itu adalah semua laki-laki yang berumur 8 hari (ayat 12). Sunat itu sendiri adalah tanda perjanjian antara Allah dan Abraham (ay 11); dan semua mereka yang disunat akan tercakup di dalam perjanjian tersebut sehingga tidak dimusnahkan (Kej 17:14). Apakah perjanjian Allah dengan Abraham ini hanyalah terbatas kepada perihal menjadikan keturunannyan sebagai bangsa yang besar, lalu kemudian mewarisi Tanah Kanaan? Tidak ! Yang terpenting di dalam perjanjian ini adalah bahwa melalui Abraham akan lahir Seorang keturunan, yang melalui-Nya seluruh bangsa di muka bumi mendapat berkat (Gal 3:16 bdk Kej 12:7); Dialah Yesus Kristus Sang Mesias. Inilah bagian terpenting dari perjanjian Allah dengan Abraham, ketimbang hanya sekadar menjadikan bangsa Ibrani (Israel) besar dan menguasai Kanaan. Jadi pada intinya, di dalam perjanjian antara Allah dan Abraham terkandung suatu kebenaran yang sangat penting yakni siapa saja yang mewarisi iman Abraham – entah itu secara lahiriah ataupun rohaniah – yakni beriman kepada Yehovah yang kepada-Nya Abraham beriman, adalah orang-orang  yang akan mendapat berkat. Dan berkat itu bukan hanya berkat material; tetapi jauh lebih penting dari hal itu , yakni keselamatan jiwa. Inilah intinya dan tidak ada yang lebih penting daripada hal ini. Berkat yang indah di dalam Perjanjian Lama tersebut Tuhan ikat dengan perintah sunat.
         Di dalam Perjanjian Baru, perintah untuk membaptis adalah berkaitan dengan perintah Kristus, yang merupakan tanda yang kelihatan bagi mereka yang beriman kepada-Nya. Secara prinsip, perintah untuk membaptis di dalam Perjanjian Baru dengan perintah sunat di dalam Perjanjian Lama tidak berbeda, yakni untuk memisahkan/menguduskan suatu umat kepunyaan Tuhan untuk menjadi milik-Nya. Jadi, jika di dalam Perjanjian Lama Tuhan memerintahkan untuk menyunatkan Abraham dan seluruh keturunannya sebagai tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah tercakup ke dalam perjanjian dengan Allah, maka sama benarnya jika di dalam Perjanjian Baru Kristus memerintahkan untuk membaptis seluruh orang percaya beserta anak-anak mereka sebagai  tanda yang kelihatan bahwa mereka sudah tercakup di dalam perjanjian dengan Allah.
          Satu hal yang perlu ditambahkan bahwa di dalam Perjanjian Lama, Tuhan hanya memerintahkan untuk menyunat setiap laki-laki dan tidak pada wanita. Namun hal ini tidak berarti bahwa yang tercakup di dalam perjanjian antara Allah dengan Abraham tersebut hanyalah kaum laki-laki Israel saja. Karena di dalam konteks dunia Perjanjian Lama, jika laki-laki sebagai kepala wanita sudah disunat, maka secara otomatis wanita sudah terwakili di dalamnya. Dan ketika di dalam Perjanjian Baru kita melihat bukan hanya laki-laki saja yang dibaptis melainkan juga perempuan, maka kita melihat secara prinsip bahwa hal ini sama sekali tidak berubah.

2. Yesus Memerintahkan untuk Membawa Anak-anak kepada-Nya
         Ketika murid-murid memarahi orang-orang  yang membawa anak-anak mereka kepada Yesus, Dia berkata: Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka untuk datang kepada-Ku, ...”(Mat 19:14; Mrk 10:14). Perintah ini jelas bukanlah sebuah sakramen khusus karena reformed hanya menerima 2 sakramen yakni sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, tetapi coba kita memikirkannya secara lebih mendalam, bagaimana caranya kita membawa anak-anak kita kepada Kristus di zaman kita sekarang ini? Mungkin ada yang mendoakan anaknya dan menyerahkannya kepada Kristus secara khusus. Itu benar! Sebagian lagi mungkin memberitakan Injil kepadanya sejak kecil agar sedari awal anak tersebut dapat mengenal dan beriman kepada Kristus. Itu juga benar !
          Sebagian orang lain, dari kalangan Pentakosta dan Kharismatik dengan sengaja membawa anak-anak mereka ke dalam gereja untuk didoakan oleh pendeta agar diserahkan kepada Kristus. Mereka menyebut ini sebagai “penyerahan anak” dan dengan demikian memenuhi perintah Kristus agar anak-anak dibawa kepada-Nya; dan mereka mengklaim itu Alkitabiah. Dengan demikian mereka menggantikan baptisan anak di dalam tradisi Protestan dengan upacara “penyerahan anak”. Tetapi jelaslah bahwa upacara penyerahan anak ini tidak bersifat inagurasi atau semacam pentahbisan yang memiliki nilai sakramental. Dan oleh karenanya, upacara penyerahan anak seperti ini harusnya dapat dilakukan dimana saja dan tidak harus di gereja dan oleh pendeta.
            Harus diakui bahwa kalangan Protestan jarang menggunakan ayat-ayat di atas sebagai pembenaran atas baptisan anak. Namun Calvin sendiri mengatakan bahwa jika benar bahwa anak-anak harus dibawa kepada Kristus, mengapa mereka tidak boleh dibaptis?    Jika kita memikirkan lebih dalam, maka kita akan melihat relevansi antara perintah Kristus untuk membawa anak-anak kepada-Nya dengan pembaptisan anak-ank. Relevansinya adalah di dalam hal pelaksanaannya. Perhatikan bahwa pelaksanaan perintah Kristus untuk membawa anak-anak kepada-Nya dapat bersifat formal (inaguratif) maupun informal. Secara informal dalam artian bahwa orang tua, pendeta atau mereka yang memiliki kerohanian yang baik dapat mendoakan seorang anak atau bahkan seorang bayi di dalam kandungan dan menyerahkannya kepada Kristus. Bersifat formal berarti bahwa anak tersebut secara resmi dibawa ke gereja dan melalui upacara khusus secara inaguratif, dia diserahkan kepada Kristus. Tetapi oleh karena upacara penyerahan anak  seperti yang dilakukan oleh kalangan Pentakosta dan Kharismatik tidak pernah diperintahkan Kristus untuk menjadi sebuah upacara formal (bersifat inaguratif) di dalam gereja, maka penyerahan anak kepada Kristus ini – dalam sifat formalnya –  sudah tercakup di dalam baptisan anak. Artinya, setiap kita membawa anak-anak kita untuk dibaptis di gereja, maka baptisan di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus tersebut sudah melibatkan di dalamnya suatu pengertian bahwa anak tersebut sudah dibawa kepada Allah Tritunggal secara umum dan kepada Kristus secara khusus.

3. Sangat Mungkin Gereja di Zaman Para Rasul Melaksanakan Baptisan Anak
         Di dalam Kisah Para Rasul 16:31-33 dikatakan bahwa kepala penjara Filipi percaya kepada Tuhan dan ia beserta seisi rumahnya dibaptis. Walaupun di dalam ayat-ayat tersebut tidak secara eksplisit menyatakan pembaptisan anak, namun frase “...ia dan keluarganya memberi diri untuk dibaptis” (ay 33) dan juga frase “...engkau dan seisi rumahmu” (ay 31), menyatakan suatu kemungkinan bahwa ada anak-anaknya yang paling kecil atau cucu-cucunya atau juga ank-anak atau cucu-cucu dari budak-budaknya (sangat mungkin ia memiliki budak karena ia seorang pejabat) ikut dibaptis bersama-sama dengan dia. Hal yang sama juga mungkin terjadi pada saat Kornelius dan seisi rumahnya (Kis 10:2) dan seluruh orang-orang  yang dikumpulkan dirumahnya untuk mendengar Injil dari Petrus (ay 27) dibaptis setelah mendengar pemberitaan Injil tersebut (ay 48).
          Sebuah argumen yang harus kita ajukan untuk melawan mereka yang menentang pembaptisan bayi dan anak-anak adalah bahwa di dalam seluruh kitab Perjanjian Baru tidak ada satu bagianpun yang melarang pelaksaan baptisan bagi bayi dan anak-anak. Dengan demikian, ketika gereja-gereja Baptis, Pentakosta dan Kharismatik secara eksplisit melarang untuk membaptis anak-anak dan bayi, dan menjadikan itu sebagai sebuah norma di dalam gereja, mereka sudah melangkah terlalu jauh dengan melarang suatu hal yang tidak dilarang di dalam Alkitab. Tetapi bagi gereja-gereja Protestan yang mengadakan baptisan bagi bayi dan anak-anak, walaupun tidak ada perintah secara eksplisit di dalam Alkitab untuk membaptis bayi dan anak-anak, tetapi ada suatu perintah yang jelas yakni untuk membawa dan menjadikan semua bangsa murid Tuhan dan membaptis mereka. Dan jika kita mengacu kepada prinsip Perjanjian Lama, dimana Abraham yang beriman kepada Tuhan beserta seluruh keluarga dan keturunannya disunat, maka benar juga bahwa mereka yang mewarisi iman Abraham di dalam Perjanjian Baru, yakni yang percaya kepada Yesus Kristus harus dibaptis beserta seluruh keluarga mereka.


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR: Malang, 2015), 820-825.




Selasa, 04 Oktober 2016

Tujuan Hidup Manusia (Katekismus Singkat Westminster)

Pertanyaan 1: Apa tujuan utama hidup manusia?
Jawaban: Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah serta menikmati Dia selamanya.

A. Pendahuluan
        Untuk menjawab pertanyaan “apakah tujuan utama hidup manusia”? Kita harus memulainya dengan diskusi mengenai (1) “siapakah manusia?”, (2) “dari mana asal-usul manusia?” dan (3)  “siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia?” Urutan ini adalah urutan yang logis dalam menuntun pemahaman kita untuk menemukan jawaban dari pertanyaan “apakah tujuan hidup hidup manusia?” Menurut Alkitab, manusia adalah ciptaan Allah yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya; dan karena manusia adalah ciptaan Allah, maka yang menetapkan tujuan hidup manusia adalah Allah. Jika dilanjutkan –  apa tujuan hidup manusia yang telah Allah tetapkan bagi manusia? Jawabannya – menurut Alkitab – adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.

B. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia (menjawab pertanyaan asal-usul manusia).
        Untuk menggantikan kesaksian Alkitab tentang penciptaan manusia oleh Allah (Kej 1:26), para ilmuwan menggantikannya dengan teori evolusi yang mengajarkan bahwa manusia terbentuk atau berasal dari sel tunggal (atau bahkan dari senyawa protein) yang kemudian berkembang menjadi sel-sel yang kompleks dan akhirnya menjadi manusia. Namun teori ini sebenarnya memiliki beberapa kelemahan: (1) Teori evolusi tidak bisa menjelaskan mata rantai evolusi yang hilang (missing link) dalam makhluk hidup, misalnya jika manusia merupakan hasil evolusi dari monyet, manakah bentuk dari makhluk peralihannya? Memang Eugene Dubois mengklaim telah berhasil menemukan makhluk transisi tersebut, yakni kumpulan fosil yang sering disebut sebagai Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak), namun fosil yang ditemukan itu bukanlah fosil yang komplit, melainkan hanyalah potongan-potongannya saja. Kemudian dari penemuan itu mereka MEREKONSTRUKSI dan MENCIPTAKAN pithecanthropus erectus.  (2) Teori evolusi gagal menjelaskan asal mula aspek rasio dan moral di dalam diri manusia. Jika manusia adalah hasil evolusi dari monyet – sedangkan monyet jelas tidak memiliki aspek moral – dari mana aspek moral itu tiba-tiba muncul? Orang-orang ateis yang menganut pandangan ini mungkin akan menjawab “aspek moral pada manusia (modern) itu tidak sungguh-sungguh ada; Itu ilusi..!! Namun kita dapat dengan mudah mematahkannya. Coba masukkan mereka ke dalam kamar dan kunci selama 3 minggu, apakah mereka akan marah atau tidak? Jika mereka marah dan mengatakan bahwa kita telah berbuat jahat terhadap mereka, maka itu menunjukan bahwa mereka memiliki konsep moral (untuk menentukan mana hal yang jahat untuk tidak dilakukan dan mana yang baik untuk dilakukan). (3) Teori evolusi gagal menjelaskan fenomena spiritual yang terpancar dari dalam diri manusia. Semua manusia dari berbagai latarbelakang pasti memiliki sifat penyembahan. Dari mana hal itu berasal jika seandainya manusia hanyalah kumpulan dari sel-sel yang kompleks? Jelaslah bahwa manusia bukan hasil evolusi dari senyawa protein atau sel tunggal yang seiring waktu berubah menjadi sel-sel yang kompleks dan akhirnya membentuk manusia, karena realita  menunjukan bahwa hidup kita bukan hanya dibangun dari unsur materi saja (kumpulan sel yang kompleks), melainkan ada unsur rohani, yang tidak dimiliki oleh sel (Pkh 3:11). Unsur rohani inilah yang membuat manusia memiliki sifat penyembahan yang tidak mungkin hilang dari kehidupannya dan dari sejarah kemanusiaan itu sendiri sekalipun manusia modern mengklaim dirinya sudah berada di dalam fase yang matang untuk tidak lagi percaya kepada mitos-mitos penyembahan. Saya pribadi lebih mudah untuk mempercayai Kejadian 1:26 yang mengatakan bahwa manusia dicipta oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya daripada mempercayai teori-teori yang masih berupa hipotesis.

C. Manusia adalah makhuk yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah (menjawab pertanyaan siapakah manusia)
        Di atas sudah dijelaskan bahwa asal mula manusia tidak bisa dirunut berdasarkan spirit ateistik dengan teori evolusinya karena teori itu sendiri masih memiliki banyak cacat di dalam argumen-argumen dan bukti-bukti fisiknya. Manusia adalah produknya Tuhan, bukan produk evolusi. Sekarang kita akan membahas mengenai “siapakah manusia”. Alkitab mencatat bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai gambar dan rupa Allah? Hal ini dapat kita pahami dalam 2 pengertian, yakni manusia sebagai gambar Allah dalam pengertian sempit dan manusia sebagai gambar Allah dalam pengertian luas.
               a.   Dalam pengertian sempit
             Gambar Allah dalam pengertian sempit adalah berkenaan dengan penciptaan manusia di dalam (1) pengetahuan yang sejati, (2) kebenaran yang sejati dan (3) kekudusan yang sejati. Pengetahuan yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai nabi bagi ciptaan Allah yang lain; kekudusan yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai imam bagi ciptaan Allah yang lain; kebenaran yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai raja bagi ciptaan Allah yang lain. Di dalam Taman Eden, Adam adalah nabi, imam dan raja. Sebagai nabi (wakil dan penyambung lidah Allah), ia harus memberikan penafsiran yang benar tentang Allah, manusia dan ciptaan Allah yang lainnya melalui wahyu umum. Hal ini penting karena semua ciptaan Allah harus dipimpin dan dikelola berdasarkan wahyu Allah. Adam harus bertindak seperti seorang nabi yang mengawasi tatanan ciptaan serta mengelola segala ciptaan Allah yang lain sesuai dengan maksud Allah. Sebagai imam (wakil dari manusia untuk berkomunikasi dengan Allah), Adam harus membawa kepentingan seluruh ciptaan dan berdiri menjadi wakil mereka di hadapan Allah. Sebagai raja, Adam harus memerintah dan menguasai seluruh alam semesta ini dengan standar kebenaran dan keadilan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Adam diciptakan dalam pengetahuan, kekudusan dan kebenaran yang sejati. Namun karena dosa, ketiga hal tersebut sudah hilang (Roma 3:23). Manusia kehilangan fungsinya sebagai nabi, imam dan raja. Manusia kehilangan fungsinya sebagai nabi terjadi pertama kali saat ia tidak bisa menampatkan dirinya sesuai dengan ordo yang sudah Allah tetapkan. Ordo idealnya adalah: Allah mengatasi manusia dan manusia mengatasi semua ciptaan yang lain. Namun karena dosa, ordo ini terbalik. Ciptaan lain mengatasi manusia dan manusia mengatasi Allah. Saat manusia lebih memilih menuruti perkataan ular, maka saat itu terjadi pembalikan ordo. Itulah contoh nyata dari hilangnya fungsi kenabian manusia. Manusia kehilangan fungsinya sebagai imam juga pertama kali terjadi di Taman Eden, yakni ketika manusia gagal membawa dan mewakili ciptaan lain untuk menyembah Allah. Bukannya membawa ciptaan lain untuk tunduk kepada Allah, manusia justru tunduk terhadap salah satu ciptaan, yakni ular. Fungsi raja dalam diri manusia juga hilang ketika manusia gagal memerintah dan menguasai ciptaan lain. Bukannya menguasai ciptaan-ciptaan yang lain , justru manusia dikuasai oleh salah satu dari ciptaan lain tersebut, yakni ular.

       b. Dalam pengertian luas
             Gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas berarti bahwa manusia diciptakan sebagai (1) makhluk yang berpribadi (personal being). Artinya, karena Allah adalah Pribadi, maka manusia juga bersifat pribadi. Kepribadian manusia mencakup adanya emosi, kehendak, pikiran dan kesadaran akan diri. Karena memiliki sifat-sifat  yang seperti ini, maka manusia memiliki begitu banyak potensi di dalam dirinya – yang mirip secara analogis dengan apa yang ada pada diri Allah – misalnya potensi untuk berpikir, mencipta (berkreasi), potensi untuk menikmati hasil ciptaan dan juga potensi untuk menikmati hal-hal yang agung, mulia dan indah. Selain memiliki sifat pribadi, manusia juga memiliki (2) nilai moral yang dengannya ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Selain bersifat pribadi dan  memiliki nilai moral – yang juga ada pada diri Allah – manusia juga memiliki (3) unsur rohani; hal ini jelas karena Allah adalah Roh (Yoh 4:24). Karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang adalah Roh, maka disamping memiliki unsur materi, manusia juga memiliki unsur rohani; dan unsur rohani inilah yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya ciptaan –  disamping malaikat – yang bisa mengarahkan jiwanya kepada Penciptanya, serta memuji dan menyembah Dia. Tidak ada ciptaan lain –  selain manusia dan malaikat – yang dapat menengadah ke langit dan berdoa “Tuhan tolong saya” saat mereka kelaparan atau saat berada dalam kondisi tertekan; atau mengatakan “terimakasih Tuhan untuk berkat-Mu” saat mereka mendapat makanan dan luput dari marabahaya. Gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas ini tidak hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi telah mengalami kerusakan. Semua instrumen yang membentuk jiwa, yakni sifat pribadi, unsur rohani dan nilai moral tersebut mengalami kerusakan yang menyebabkan dosa-dosa aktual yang dilakukan oleh tubuh (karena tubuh adalah alat ekspresi bagi jiwa).

D. Allah yang menetapkan tujuan hidup manusia (menjawab pertanyaan siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia).
        Di dalam kehidupan ini berlaku hukum universal bahwa “yang mencipta selalu menetapkan tujuan dari sesuatu yang ia cipta”. Misalnya, ketika Martin Cooper dan timnya hendak membuat handphone, pasti mereka terlebih dahulu menetapkan tujuan dari handphone tersebut. Jadi, tujuan dari handphone ditetapkan oleh orang-orang yang membuatnya (Cooper dan timnya). Analogi seperti ini dapat kita terapkan untuk menjawab pertanyaan “siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia?” Jika di awal kita sudah sepakat bahwa manusia adalah produknya Tuhan dan dicipta menurut rupa Tuhan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhanlah yang menetapkan tujuan hidup manusia. Sebagaimana handphone tidak bisa menetapkan tujuan eksistensinya sendiri, demikian jugalah manusia tidak boleh menetapkan tujuan hidupnya sendiri. Manusia harus bertanya kepada Tuhan mengenai tujuan hidupnya. Hanya Tuhan yang tahu tujuan utama hidup manusia karena Tuhanlah yang menetapkannya.

E. Semua yang Allah ciptakan – termasuk manusia – bertujuan untuk memuliakan diri-Nya sendiri (menjawab pertanyaan “apa tujuan hidup manusia?”).
         Sejauh ini kita sudah mendapatkan 3 poin penting berkaitan dengan manusia: (1) Manusia eksis karena dicipta oleh Allah (2) Manusia adalah makhluk yang dicipta menurut gambar rupa Allah (3) Tujuan hidup manusia ditetapkan oleh Allah. Sekarang kita akan lanjut ke pertanyaan ke empat, yakni “apa tujuan hidup manusia?” Alkitab mengatakan bahwa (4) tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.
         Ini adalah kondisi default manusia sebelum terkena virus yang namanya dosa. Sebelum jatuh ke dalam dosa, kehidupan manusia selalu berorientasi kepada Allah. Allahlah yang menjadi pusat hidupnya. Sebelum gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia itu rusak, pemikiran dan kerinduan manusia adalah semata-mata untuk melayani Allah. Segenap aspek kehidupan dari manusia yang belum jatuh ke dalam dosa selalu diarahkan untuk memuliakan nama Allah. Adam bekerja (menggarap Taman Eden) untuk kemuliaan Allah, Adam berhubungan badan dengan Hawa untuk kemuliaan Allah dan semua aktivitas lain yang Adam dan Hawa lakukan adalah untuk memuliakan Allah. Namun ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kondisi tersebut segera berubah dengan drastis. Bukannya merenungkan keagungan serta kemuliaan Allah, mereka justru mulai memikirkan tentang diri mereka sendiri. Mereka membayangkan betapa nikmatnya bisa menjadi allah bagi diri mereka sendiri; dan betapa nikmatnya jika hidup berpusat pada diri mereka sendiri. Jadi, perbedaan hidup antara sebelum kejatuhan dan setelah kejatuhan adalah: hidup manusia sebelum jatuh ke dalam dosa adalah hidup yang berpola Theosentris (berpusat pada Allah) sedangkan hidup manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa adalah hidup yang berpola Anthroposentris (berpusat pada manusia). Kita bisa melihat pola anthroposentris ini dengan sangat jelas di dalam keseharian kita. Contoh yang sangat sederhana: Perhatikan status-status yang ditulis di FB, bukankah semuanya sangat anthroposentris? Waktu makan di restoran mewah, langsung upload foto dan diberi keterangan “lagi makan nih......” Tujuannya apa upload foto seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah agar semua manusia tahu (setidaknya semua manusia di dunia maya) bahwa dia pernah mampir dan makan di restoran mahal tersebut. Contoh lain: Saat kita malas belajar, biasanya guru-guru atau orang tua kita akan mengatakan “jangan malas belajar ya nak, karena kalau kamu malas belajar nanti KAMU SENDIRI YANG RUGI”. Terkadang kita berpikir terlalu dangkal. Saat malas belajar, kita pikir itu hanya akan merugikan diri kita sendiri. Pernahkah kita berpikir bahwa tindakan malas belajar itu adalah tindakan yang tidak memuliakan Allah dalam kehidupan studi? Contoh lain: Seorang pengkhotbah juga bisa berpola hidup anthroposentris saat ia berkhotbah dengan tujuan untuk menaikkan popularitas pribadinya. Seharusnya, saat berkhotbah, ia membawa jemaat untuk mengagumi Allah, bukan untuk menunjukkan kefasihan retorik dan kecerdasan intelektual yang ia miliki sehingga jemaat mengaguminya. Contoh lain: Saat kita (orang-orang Kristen) terjun ke dalam dunia studi dan berlomba meraih prestasi hanya untuk unjuk gigi bahwa kita adalah orang-orang hebat. Seharusnya, keberhasilan kita di dalam dunia studi itu adalah sebagai alat untuk memuliakan Allah (karena kecerdasan intelektual berasal dari Allah), bukan malah untuk memuliakan diri sendiri. Selain itu, kita juga dapat melihat bahwa karena berpola hidup anthroposentris, saat ini manusia mengeksploitasi alam secara gila-gilaan, bukan lagi didasarkan pada asas manfaat melainkan asas komersil. Perusahaan mengeksploitasi alam secara besar-besaran hanya untuk keuntungan dari segelintir orang. Karena dosa, orientasi manusia dalam hal studi, kerja, dll hanya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri, bukan Allah!
          Hanya melalui penebusan Kristus, manusia-manusia berdosa yang dulunya berpola hidup anthroposentris itu akan kembali memiliki kemampuan berpola hidup Theosentris. Penebusan Kristus membawa manusia kepada kondisi defaultnya. Sebelum kejatuhan, manusia berada dalam kondisi posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa). Ketika mengalami kejatuhan, manusia diikat dan ditawan oleh dosa sehingga berada dalam kondisi non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa). Ketika ditebus oleh Kristus, manusia akan dikembalikan ke kondisi posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa); kondisi ini adalah kondisi kita sekarang. Selama hidup di dalam dunia, kita akan mengalami pengudusan kondisi secara progresif, sampai nanti ketika kita masuk ke dalam langit dan bumi yang baru dalam kondisi non posse peccare (tidak bisa berdosa).
        Manusia – selain malaikat – adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberikan konsep moral untuk memilih secara bebas antara memuliakan Allah atau tidak. Manusia sebagai agen moral dituntut untuk memuliakan Allah berdasarkan keputusan moralnya sendiri. Hal ini berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain yang secara pasti memuliakan Allah (Mzm 19:1). Mengenai pola hidup Theosentris, kita bisa mengambil contoh di dalam Alkitab, yakni Pribadi Yesus Kristus. Dalam Yohanes 17:4 Ia mengatakan “Aku telah mempermuliakan Engkau (Allah Bapa) di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya”. Disini kita melihat bahwa Yesus Kristus memuliakan Allah bukan karena disetting seperti robot, melainkan karena Ia menginginkannya; Ia menginginkannya sebagai seorang agen moral.
        Keinginan untuk memuliakan Allah seperti yang Kristus lakukan ini tidak serta merta ada di dalam hati setiap diri manusia berdosa karena pada dasarnya manusia tidak memiliki keinginan itu. Ketidakinginan untuk memuliakan Allah itu sendiri adalah akibat dari dosa yang menawan manusia (non posse non peccare). Untuk itu, perlu karya keselamatan dari Kristus agar orang-orang yang ditawan oleh dosa tersebut dibebaskan dari belenggu dosa sehingga bisa menginginkan dan dapat memuliakan Allah (posse peccare, posse non peccare). Setelah diselamatkan oleh Kristus, kita memiliki potensi dan kita memang dipanggil untuk memuliakan Allah dalam segala aspek dan segala hal yang kita lakukan (1Kor 10:31). Penebusan Kristus akan membawa manusia berdosa kepada kondisi defaultnya, yaitu hidup yang berpusat pada Allah.
Perlu segera ditambahkan bahwa sekalipun manusia yang belum diselamatkan tidak mampu dan tidak ingin memuliakan Allah, mereka tetap akan memuliakan Allah namun dengan cara negatif. Maksudnya? Maksudnya, Tuhan akan memakai pemberontakan mereka untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya sendiri. Misalnya ketika Firaun mengeraskan hatinya dan tidak mau memuliakan Allah secara positif, maka Allah memakai pemberontakan Firaun tersebut untuk menunjukan kedahsyatan kuasa-Nya melalui tulah-tulah yang Ia jatuhkan atas Mesir. Hal ini sejalan dengan apa yang Paulus sebutkan dalam Roma 9:21-23 “apakah tukang periuk (Tuhan) tidak mempunyai hak atas tanah liatnya (manusia), untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia (memuliakan Allah secara positif) dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa (memuliakan Allah secara negatif)? Jadi kalau untuk menunjukan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan (memuliakan Allah secara negatif) – justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan untuk kemuliaan-Nya (memuliakan Allah secara positif)”. Allah bisa memakai hal-hal yang jahat (misalnya pemberontakan manusia) untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya sendiri; seperti pepatah yang mengatakan “Allah bisa memakai kayu bengkok untuk memasukan bola golf ke dalam lubangnya.” Pertanyaan refleksinya adalah “kita mau dipakai seperti apa?” atau “kita mau memuliakan Allah dengan cara yang mana? Yang positif atau negatif?”. Memuliakan Allah secara positif akan mendatangkan sukacita dan dengan jalan itulah kita menikmati Tuhan; sedangkan memuliakan Allah secara negatif akan membawa kita kepada kebinasaan kekal karena menanggung murka Allah selama-lamanya. Sebagai orang-orang yang sudah ditebus oleh Kristus, kita harusnya memuliakan Allah dengan cara yang positif; seperti yang Kristus lakukan dan seperti yang Paulus perintahkan (1Kor 10:31).
          Tadi disebutkan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Bagaimana caranya menikmati Allah? Menikmati Allah tidak boleh lepas dari konteks memuliakan Allah. Di dalam aktivitas memuliakan Allah itulah kita akan menikmati Dia. Contoh sederhana: Kita dapat menikmati belas kasih Allah ketika kita mengasihi orang lain. Hal ini adalah hal yang logis karena kita tidak mungkin tahu apa itu kasih jika kita sendiri tidak pernah mengasihi. Untuk lebih mudah memahaminya, kita pakai ilustrasi ini: Kereta api akan lancar jaya jika ia berjalan di atas relnya. Sebaliknya, ia akan mengalami bahaya (dan itu pasti tidak nikmat) jika ia berjalan diluar jalurnya. Demikian jugalah kaitan antara memuliakan Allah dan menikmati Allah. Di dalam aktivitas yang memuliakan Allah, disitulah kita menikmati Allah. Berjalan tepat di atas rel kereta, itulah kunci agar kereta itu menikmati perjalannya; sebaliknya, berjalan di luar rel kereta bukan saja tidak nikmat, tetapi juga membunuh diri. Saat Kita berkorban bagi orang lain, saat itulah kita menikmati pengorbanan Tuhan atas umat-Nya. Saat kita berbuat baik, saat itulah kita menikmati kebaikan Tuhan. Saat kita belajar dengan tekun untuk kemuliaan Allah, saat itulah kita akan menikmati hidup yang tidak membuang-buang waktu.
         Jadi, manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa tidak dapat memuliakan Allah secara positif karena ada dosa yang membelenggunya. Manusia tersebut harus dibebaskan dari belenggu dosa terlebih dahulu supaya memiliki potensi untuk memuliakan Allah dan kemudian dididik untuk hidup memuliakan Allah. Untuk mendidik orang-orang yang sudah ditebus-Nya, Allah telah memberikan buku panduan untuk hidup memuliakan diri-Nya, yakni Alkitab. Mengenai Alkitab akan kita bahas dalam pertemuan berikutnya.


Oka Ferich