Pertanyaan 1: Apa tujuan utama hidup manusia?
Jawaban: Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah serta menikmati Dia selamanya.
A.
Pendahuluan
Untuk menjawab pertanyaan “apakah tujuan utama hidup manusia”? Kita harus memulainya dengan diskusi mengenai (1) “siapakah manusia?”, (2) “dari mana asal-usul manusia?” dan (3) “siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia?” Urutan ini adalah urutan yang logis dalam menuntun pemahaman kita untuk menemukan jawaban dari pertanyaan “apakah tujuan hidup hidup manusia?” Menurut Alkitab, manusia adalah ciptaan Allah yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya; dan karena manusia adalah ciptaan Allah, maka yang menetapkan tujuan hidup manusia adalah Allah. Jika dilanjutkan – apa tujuan hidup manusia yang telah Allah tetapkan bagi manusia? Jawabannya – menurut Alkitab – adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.
B.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia (menjawab pertanyaan asal-usul manusia).
Untuk menggantikan kesaksian Alkitab tentang penciptaan manusia oleh Allah (Kej 1:26), para ilmuwan menggantikannya dengan teori evolusi yang mengajarkan bahwa manusia terbentuk atau berasal dari sel tunggal (atau bahkan dari senyawa protein) yang kemudian berkembang menjadi sel-sel yang kompleks dan akhirnya menjadi manusia. Namun teori ini sebenarnya memiliki beberapa kelemahan: (1) Teori evolusi tidak bisa menjelaskan mata rantai evolusi yang hilang (missing link) dalam makhluk hidup, misalnya jika manusia merupakan hasil evolusi dari monyet, manakah bentuk dari makhluk peralihannya? Memang Eugene Dubois mengklaim telah berhasil menemukan makhluk transisi tersebut, yakni kumpulan fosil yang sering disebut sebagai Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak), namun fosil yang ditemukan itu bukanlah fosil yang komplit, melainkan hanyalah potongan-potongannya saja. Kemudian dari penemuan itu mereka MEREKONSTRUKSI dan MENCIPTAKAN pithecanthropus erectus. (2) Teori evolusi gagal menjelaskan asal mula aspek rasio dan moral di dalam diri manusia. Jika manusia adalah hasil evolusi dari monyet – sedangkan monyet jelas tidak memiliki aspek moral – dari mana aspek moral itu tiba-tiba muncul? Orang-orang ateis yang menganut pandangan ini mungkin akan menjawab “aspek moral pada manusia (modern) itu tidak sungguh-sungguh ada; Itu ilusi..!! Namun kita dapat dengan mudah mematahkannya. Coba masukkan mereka ke dalam kamar dan kunci selama 3 minggu, apakah mereka akan marah atau tidak? Jika mereka marah dan mengatakan bahwa kita telah berbuat jahat terhadap mereka, maka itu menunjukan bahwa mereka memiliki konsep moral (untuk menentukan mana hal yang jahat untuk tidak dilakukan dan mana yang baik untuk dilakukan). (3) Teori evolusi gagal menjelaskan fenomena spiritual yang terpancar dari dalam diri manusia. Semua manusia dari berbagai latarbelakang pasti memiliki sifat penyembahan. Dari mana hal itu berasal jika seandainya manusia hanyalah kumpulan dari sel-sel yang kompleks? Jelaslah bahwa manusia bukan hasil evolusi dari senyawa protein atau sel tunggal yang seiring waktu berubah menjadi sel-sel yang kompleks dan akhirnya membentuk manusia, karena realita menunjukan bahwa hidup kita bukan hanya dibangun dari unsur materi saja (kumpulan sel yang kompleks), melainkan ada unsur rohani, yang tidak dimiliki oleh sel (Pkh 3:11). Unsur rohani inilah yang membuat manusia memiliki sifat penyembahan yang tidak mungkin hilang dari kehidupannya dan dari sejarah kemanusiaan itu sendiri sekalipun manusia modern mengklaim dirinya sudah berada di dalam fase yang matang untuk tidak lagi percaya kepada mitos-mitos penyembahan. Saya pribadi lebih mudah untuk mempercayai Kejadian 1:26 yang mengatakan bahwa manusia dicipta oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya daripada mempercayai teori-teori yang masih berupa hipotesis.
C.
Manusia adalah makhuk yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah (menjawab pertanyaan siapakah manusia)
Di atas sudah dijelaskan bahwa asal mula manusia tidak bisa dirunut berdasarkan spirit ateistik dengan teori evolusinya karena teori itu sendiri masih memiliki banyak cacat di dalam argumen-argumen dan bukti-bukti fisiknya. Manusia adalah produknya Tuhan, bukan produk evolusi. Sekarang kita akan membahas mengenai “siapakah manusia”. Alkitab mencatat bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai gambar dan rupa Allah? Hal ini dapat kita pahami dalam 2 pengertian, yakni manusia sebagai gambar Allah dalam pengertian sempit dan manusia sebagai gambar Allah dalam pengertian luas.
a.
Dalam pengertian sempit
Gambar Allah dalam pengertian sempit adalah berkenaan dengan penciptaan manusia di dalam (1) pengetahuan yang sejati, (2) kebenaran yang sejati dan (3) kekudusan yang sejati. Pengetahuan yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai nabi bagi ciptaan Allah yang lain; kekudusan yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai imam bagi ciptaan Allah yang lain; kebenaran yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai raja bagi ciptaan Allah yang lain. Di dalam Taman Eden, Adam adalah nabi, imam dan raja. Sebagai nabi (wakil dan penyambung lidah Allah), ia harus memberikan penafsiran yang benar tentang Allah, manusia dan ciptaan Allah yang lainnya melalui wahyu umum. Hal ini penting karena semua ciptaan Allah harus dipimpin dan dikelola berdasarkan wahyu Allah. Adam harus bertindak seperti seorang nabi yang mengawasi tatanan ciptaan serta mengelola segala ciptaan Allah yang lain sesuai dengan maksud Allah. Sebagai imam (wakil dari manusia untuk berkomunikasi dengan Allah), Adam harus membawa kepentingan seluruh ciptaan dan berdiri menjadi wakil mereka di hadapan Allah. Sebagai raja, Adam harus memerintah dan menguasai seluruh alam semesta ini dengan standar kebenaran dan keadilan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Adam diciptakan dalam pengetahuan, kekudusan dan kebenaran yang sejati. Namun karena dosa, ketiga hal tersebut sudah hilang (Roma 3:23). Manusia kehilangan fungsinya sebagai nabi, imam dan raja. Manusia kehilangan fungsinya sebagai nabi terjadi pertama kali saat ia tidak bisa menampatkan dirinya sesuai dengan ordo yang sudah Allah tetapkan. Ordo idealnya adalah: Allah mengatasi manusia dan manusia mengatasi semua ciptaan yang lain. Namun karena dosa, ordo ini terbalik. Ciptaan lain mengatasi manusia dan manusia mengatasi Allah. Saat manusia lebih memilih menuruti perkataan ular, maka saat itu terjadi pembalikan ordo. Itulah contoh nyata dari hilangnya fungsi kenabian manusia. Manusia kehilangan fungsinya sebagai imam juga pertama kali terjadi di Taman Eden, yakni ketika manusia gagal membawa dan mewakili ciptaan lain untuk menyembah Allah. Bukannya membawa ciptaan lain untuk tunduk kepada Allah, manusia justru tunduk terhadap salah satu ciptaan, yakni ular. Fungsi raja dalam diri manusia juga hilang ketika manusia gagal memerintah dan menguasai ciptaan lain. Bukannya menguasai ciptaan-ciptaan yang lain , justru manusia dikuasai oleh salah satu dari ciptaan lain tersebut, yakni ular.
b.
Dalam pengertian luas
Gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas berarti bahwa manusia diciptakan sebagai (1) makhluk yang berpribadi (personal being). Artinya, karena Allah adalah Pribadi, maka manusia juga bersifat pribadi. Kepribadian manusia mencakup adanya emosi, kehendak, pikiran dan kesadaran akan diri. Karena memiliki sifat-sifat yang seperti ini, maka manusia memiliki begitu banyak potensi di dalam dirinya – yang mirip secara analogis dengan apa yang ada pada diri Allah – misalnya potensi untuk berpikir, mencipta (berkreasi), potensi untuk menikmati hasil ciptaan dan juga potensi untuk menikmati hal-hal yang agung, mulia dan indah. Selain memiliki sifat pribadi, manusia juga memiliki (2) nilai moral yang dengannya ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Selain bersifat pribadi dan memiliki nilai moral – yang juga ada pada diri Allah – manusia juga memiliki (3) unsur rohani; hal ini jelas karena Allah adalah Roh (Yoh 4:24). Karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang adalah Roh, maka disamping memiliki unsur materi, manusia juga memiliki unsur rohani; dan unsur rohani inilah yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya ciptaan – disamping malaikat – yang bisa mengarahkan jiwanya kepada Penciptanya, serta memuji dan menyembah Dia. Tidak ada ciptaan lain – selain manusia dan malaikat – yang dapat menengadah ke langit dan berdoa “Tuhan tolong saya” saat mereka kelaparan atau saat berada dalam kondisi tertekan; atau mengatakan “terimakasih Tuhan untuk berkat-Mu” saat mereka mendapat makanan dan luput dari marabahaya. Gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas ini tidak hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi telah mengalami kerusakan. Semua instrumen yang membentuk jiwa, yakni sifat pribadi, unsur rohani dan nilai moral tersebut mengalami kerusakan yang menyebabkan dosa-dosa aktual yang dilakukan oleh tubuh (karena tubuh adalah alat ekspresi bagi jiwa).
D.
Allah yang menetapkan tujuan hidup manusia (menjawab pertanyaan siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia).
Di dalam kehidupan ini berlaku hukum universal bahwa “yang mencipta selalu menetapkan tujuan dari sesuatu yang ia cipta”. Misalnya, ketika Martin Cooper dan timnya hendak membuat handphone, pasti mereka terlebih dahulu menetapkan tujuan dari handphone tersebut. Jadi, tujuan dari handphone ditetapkan oleh orang-orang yang membuatnya (Cooper dan timnya). Analogi seperti ini dapat kita terapkan untuk menjawab pertanyaan “siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia?” Jika di awal kita sudah sepakat bahwa manusia adalah produknya Tuhan dan dicipta menurut rupa Tuhan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhanlah yang menetapkan tujuan hidup manusia. Sebagaimana handphone tidak bisa menetapkan tujuan eksistensinya sendiri, demikian jugalah manusia tidak boleh menetapkan tujuan hidupnya sendiri. Manusia harus bertanya kepada Tuhan mengenai tujuan hidupnya. Hanya Tuhan yang tahu tujuan utama hidup manusia karena Tuhanlah yang menetapkannya.
E.
Semua yang Allah ciptakan – termasuk manusia – bertujuan untuk memuliakan diri-Nya sendiri (menjawab pertanyaan “apa tujuan hidup manusia?”).
Sejauh ini kita sudah mendapatkan 3 poin penting berkaitan dengan manusia: (1) Manusia eksis karena dicipta oleh Allah (2) Manusia adalah makhluk yang dicipta menurut gambar rupa Allah (3) Tujuan hidup manusia ditetapkan oleh Allah. Sekarang kita akan lanjut ke pertanyaan ke empat, yakni “apa tujuan hidup manusia?” Alkitab mengatakan bahwa (4) tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.
Ini adalah kondisi default manusia sebelum terkena virus yang namanya dosa. Sebelum jatuh ke dalam dosa, kehidupan manusia selalu berorientasi kepada Allah. Allahlah yang menjadi pusat hidupnya. Sebelum gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia itu rusak, pemikiran dan kerinduan manusia adalah semata-mata untuk melayani Allah. Segenap aspek kehidupan dari manusia yang belum jatuh ke dalam dosa selalu diarahkan untuk memuliakan nama Allah. Adam bekerja (menggarap Taman Eden) untuk kemuliaan Allah, Adam berhubungan badan dengan Hawa untuk kemuliaan Allah dan semua aktivitas lain yang Adam dan Hawa lakukan adalah untuk memuliakan Allah. Namun ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kondisi tersebut segera berubah dengan drastis. Bukannya merenungkan keagungan serta kemuliaan Allah, mereka justru mulai memikirkan tentang diri mereka sendiri. Mereka membayangkan betapa nikmatnya bisa menjadi allah bagi diri mereka sendiri; dan betapa nikmatnya jika hidup berpusat pada diri mereka sendiri. Jadi, perbedaan hidup antara sebelum kejatuhan dan setelah kejatuhan adalah: hidup manusia sebelum jatuh ke dalam dosa adalah hidup yang berpola Theosentris (berpusat pada Allah) sedangkan hidup manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa adalah hidup yang berpola Anthroposentris (berpusat pada manusia). Kita bisa melihat pola anthroposentris ini dengan sangat jelas di dalam keseharian kita. Contoh yang sangat sederhana: Perhatikan status-status yang ditulis di FB, bukankah semuanya sangat anthroposentris? Waktu makan di restoran mewah, langsung upload foto dan diberi keterangan “lagi makan nih......” Tujuannya apa upload foto seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah agar semua manusia tahu (setidaknya semua manusia di dunia maya) bahwa dia pernah mampir dan makan di restoran mahal tersebut. Contoh lain: Saat kita malas belajar, biasanya guru-guru atau orang tua kita akan mengatakan “jangan malas belajar ya nak, karena kalau kamu malas belajar nanti KAMU SENDIRI YANG RUGI”. Terkadang kita berpikir terlalu dangkal. Saat malas belajar, kita pikir itu hanya akan merugikan diri kita sendiri. Pernahkah kita berpikir bahwa tindakan malas belajar itu adalah tindakan yang tidak memuliakan Allah dalam kehidupan studi? Contoh lain: Seorang pengkhotbah juga bisa berpola hidup anthroposentris saat ia berkhotbah dengan tujuan untuk menaikkan popularitas pribadinya. Seharusnya, saat berkhotbah, ia membawa jemaat untuk mengagumi Allah, bukan untuk menunjukkan kefasihan retorik dan kecerdasan intelektual yang ia miliki sehingga jemaat mengaguminya. Contoh lain: Saat kita (orang-orang Kristen) terjun ke dalam dunia studi dan berlomba meraih prestasi hanya untuk unjuk gigi bahwa kita adalah orang-orang hebat. Seharusnya, keberhasilan kita di dalam dunia studi itu adalah sebagai alat untuk memuliakan Allah (karena kecerdasan intelektual berasal dari Allah), bukan malah untuk memuliakan diri sendiri. Selain itu, kita juga dapat melihat bahwa karena berpola hidup anthroposentris, saat ini manusia mengeksploitasi alam secara gila-gilaan, bukan lagi didasarkan pada asas manfaat melainkan asas komersil. Perusahaan mengeksploitasi alam secara besar-besaran hanya untuk keuntungan dari segelintir orang. Karena dosa, orientasi manusia dalam hal studi, kerja, dll hanya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri, bukan Allah!
Hanya melalui penebusan Kristus, manusia-manusia berdosa yang dulunya berpola hidup anthroposentris itu akan kembali memiliki kemampuan berpola hidup Theosentris. Penebusan Kristus membawa manusia kepada kondisi defaultnya. Sebelum kejatuhan, manusia berada dalam kondisi posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa). Ketika mengalami kejatuhan, manusia diikat dan ditawan oleh dosa sehingga berada dalam kondisi non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa). Ketika ditebus oleh Kristus, manusia akan dikembalikan ke kondisi posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa); kondisi ini adalah kondisi kita sekarang. Selama hidup di dalam dunia, kita akan mengalami pengudusan kondisi secara progresif, sampai nanti ketika kita masuk ke dalam langit dan bumi yang baru dalam kondisi non posse peccare (tidak bisa berdosa).
Manusia – selain malaikat – adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberikan konsep moral untuk memilih secara bebas antara memuliakan Allah atau tidak. Manusia sebagai agen moral dituntut untuk memuliakan Allah berdasarkan keputusan moralnya sendiri. Hal ini berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain yang secara pasti memuliakan Allah (Mzm 19:1). Mengenai pola hidup Theosentris, kita bisa mengambil contoh di dalam Alkitab, yakni Pribadi Yesus Kristus. Dalam Yohanes 17:4 Ia mengatakan “Aku telah mempermuliakan Engkau (Allah Bapa) di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya”. Disini kita melihat bahwa Yesus Kristus memuliakan Allah bukan karena disetting seperti robot, melainkan karena Ia menginginkannya; Ia menginginkannya sebagai seorang agen moral.
Keinginan untuk memuliakan Allah seperti yang Kristus lakukan ini tidak serta merta ada di dalam hati setiap diri manusia berdosa karena pada dasarnya manusia tidak memiliki keinginan itu. Ketidakinginan untuk memuliakan Allah itu sendiri adalah akibat dari dosa yang menawan manusia (non posse non peccare). Untuk itu, perlu karya keselamatan dari Kristus agar orang-orang yang ditawan oleh dosa tersebut dibebaskan dari belenggu dosa sehingga bisa menginginkan dan dapat memuliakan Allah (posse peccare, posse non peccare). Setelah diselamatkan oleh Kristus, kita memiliki potensi dan kita memang dipanggil untuk memuliakan Allah dalam segala aspek dan segala hal yang kita lakukan (1Kor 10:31). Penebusan Kristus akan membawa manusia berdosa kepada kondisi defaultnya, yaitu hidup yang berpusat pada Allah.
Perlu segera ditambahkan bahwa sekalipun manusia yang belum diselamatkan tidak mampu dan tidak ingin memuliakan Allah, mereka tetap akan memuliakan Allah namun dengan cara negatif. Maksudnya? Maksudnya, Tuhan akan memakai pemberontakan mereka untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya sendiri. Misalnya ketika Firaun mengeraskan hatinya dan tidak mau memuliakan Allah secara positif, maka Allah memakai pemberontakan Firaun tersebut untuk menunjukan kedahsyatan kuasa-Nya melalui tulah-tulah yang Ia jatuhkan atas Mesir. Hal ini sejalan dengan apa yang Paulus sebutkan dalam Roma 9:21-23 “apakah tukang periuk (Tuhan) tidak mempunyai hak atas tanah liatnya (manusia), untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia (memuliakan Allah secara positif) dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa (memuliakan Allah secara negatif)? Jadi kalau untuk menunjukan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan (memuliakan Allah secara negatif) – justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan untuk kemuliaan-Nya (memuliakan Allah secara positif)”. Allah bisa memakai hal-hal yang jahat (misalnya pemberontakan manusia) untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya sendiri; seperti pepatah yang mengatakan “Allah bisa memakai kayu bengkok untuk memasukan bola golf ke dalam lubangnya.” Pertanyaan refleksinya adalah “kita mau dipakai seperti apa?” atau “kita mau memuliakan Allah dengan cara yang mana? Yang positif atau negatif?”. Memuliakan Allah secara positif akan mendatangkan sukacita dan dengan jalan itulah kita menikmati Tuhan; sedangkan memuliakan Allah secara negatif akan membawa kita kepada kebinasaan kekal karena menanggung murka Allah selama-lamanya. Sebagai orang-orang yang sudah ditebus oleh Kristus, kita harusnya memuliakan Allah dengan cara yang positif; seperti yang Kristus lakukan dan seperti yang Paulus perintahkan (1Kor 10:31).
Tadi disebutkan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Bagaimana caranya menikmati Allah? Menikmati Allah tidak boleh lepas dari konteks memuliakan Allah. Di dalam aktivitas memuliakan Allah itulah kita akan menikmati Dia. Contoh sederhana: Kita dapat menikmati belas kasih Allah ketika kita mengasihi orang lain. Hal ini adalah hal yang logis karena kita tidak mungkin tahu apa itu kasih jika kita sendiri tidak pernah mengasihi. Untuk lebih mudah memahaminya, kita pakai ilustrasi ini: Kereta api akan lancar jaya jika ia berjalan di atas relnya. Sebaliknya, ia akan mengalami bahaya (dan itu pasti tidak nikmat) jika ia berjalan diluar jalurnya. Demikian jugalah kaitan antara memuliakan Allah dan menikmati Allah. Di dalam aktivitas yang memuliakan Allah, disitulah kita menikmati Allah. Berjalan tepat di atas rel kereta, itulah kunci agar kereta itu menikmati perjalannya; sebaliknya, berjalan di luar rel kereta bukan saja tidak nikmat, tetapi juga membunuh diri. Saat Kita berkorban bagi orang lain, saat itulah kita menikmati pengorbanan Tuhan atas umat-Nya. Saat kita berbuat baik, saat itulah kita menikmati kebaikan Tuhan. Saat kita belajar dengan tekun untuk kemuliaan Allah, saat itulah kita akan menikmati hidup yang tidak membuang-buang waktu.
Jadi, manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa tidak dapat memuliakan Allah secara positif karena ada dosa yang membelenggunya. Manusia tersebut harus dibebaskan dari belenggu dosa terlebih dahulu supaya memiliki potensi untuk memuliakan Allah dan kemudian dididik untuk hidup memuliakan Allah. Untuk mendidik orang-orang yang sudah ditebus-Nya, Allah telah memberikan buku panduan untuk hidup memuliakan diri-Nya, yakni Alkitab. Mengenai Alkitab akan kita bahas dalam pertemuan berikutnya.
Oka Ferich