Jumat, 14 Oktober 2016

Allah adalah Roh

                                                                               Allah adalah Roh

Tuhan Yesus berkata bahwa Allah adalah Roh, itulah sebabnya kita harus menyembah Dia dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24). Kata roh berasal dari kata ruah (bahasa Ibrani) dan pneuma (dalam bahasa Yunani) yang berarti (1) udara yang bergerak (khususnya nafas), (2) kuasa yang tidak terlihat, (3) jiwa manusia. Istilah roh yang disematkan pada Allah bertujuan untuk menunjukan bahwa Allah adalah keberadaan yang berbeda dengan dengan apapun. Perbedaannya dalam hal: (1) Ia bukan keberadaan yang bersifat materi (2) tidak dapat dilihat dan (3) tanpa komposisi. Mengatakan bahwa Allah adalah Roh berarti juga mengatakan bahwa Allah memiliki substansi; bukan sekadar ide, konsep atau pemikiran yang abstrak. Kata “Roh” juga merujuk kepada suatu keberadaan yang sederhana dan yang tidak dapat diurai maupun dibentuk dari bagian-bagian atau elemen-elemen tertentu. Jika materi memiliki bagian-bagian yang dapat diurai, maka tidak demikian dengan roh.
Bukankah manusia juga memiliki roh? Bukankah malaikat juga merupakan suatu keberadaan yang bersifat roh? Apa bedanya dengan Allah yang adalah Roh? Memang benar bahwa bukan hanya Allah yang memiliki sifat roh; manusia dan malaikat  juga memilikinya. Namun walaupun demikian, Roh Allah berbeda dengan roh manusia dan malaikat. Roh Allah harus dimengerti dalam pengertian mutlak, sedangkan roh manusia dan malaikat harus dimengerti dalam pengertian yang relatif. Berikut adalah penjelasannya:

a.       Roh Allah dan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat) walaupun mirip di dalam kesederhanaannya, tetapi kesederhanaan Roh Allah bersifat mutlak dan tidak berubah; sedangkan roh manusia, sekalipun bersifat sederhana, dapat mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan, misalnya kualitas intelektual di dalam roh manusia yang senantiasa bertumbuh dan berubah. Kualitas intelektul dari seorang bayi pasti berbeda dengan orang dewasa maupun orang tua. Disini kita bisa melihat adanya suatu perubahan dan perkembangan pada roh manusia. Hal seperti ini tidak terjadi pada diri Allah. Roh Allah sudah sempurna sejak kekekalan sampai kekekalan. Roh Allah tidak pernah dan tidak akan pernah mengalami perkembangan, pertumbuhan dan perubahan. Roh Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna!
b.      Roh Allah bersifat kekal (tidak berawal dan tidak berakhir) sedangkan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat) memiliki awal dan tidak memiliki akhir (walaupun sebenarnya Allah bisa saja mengakhirinya/memusnahkannya).

Dengan mengatakan bahwa Allah adalah Roh, berarti kita harus menerima fakta bahwa Allah tidak memiliki tubuh jasmani dan dengan demikian tidak mungkin bisa dilihat oleh manusia (makanya aneh jika orang-orang atheis menuntut kita untuk menunjukan keberadaan Allah; padahal Allah adalah Roh yang pasti tidak mungkin bisa dilihat dan ditunjukkan oleh manusia). Ini penting untuk dipertegas agar kita tidak jatuh ke dalam kesalahan dengan mengklaim “pernah melihat Allah”. Allah adalah Roh, jadi tidak mungkin bisa dilihat. Memang di dalam Alkitab ada dicatat bahwa Allah menampakkan diri-Nya kepada beberapa orang. Namun itu harus dipahami dalam konteks Teofani. Teofani (theos = Allah; Phaneroo = menampakkan diri dalam suatu wujud tertentu/mewujudkan diri) artinya adalah Allah yang menampakkan diri/mewujudkan diri sehingga bisa dilihat manusia. Dalam Perjanjian Lama, Allah pernah melakukan hal ini ketika bertemu dengan Yosua dalam wujud Panglima Balatentara Allah (Yos 5:14), Abraham dalam wujud Malaikat (Kej 18:1-3), Yakub dalam wujud seorang laki-laki  (Kej 32:28-30), Musa dalam wujud semak yang menyala (Kel 3:2). Teofani berbeda dengan inkarnasi. Teofani adalah peristiwa dimana Allah menunjukan diri-Nya dalam sebuah wujud (bisa manusia, malaikat, benda-benda, dll) dan tidak berlangsung lama ataupun permanen; sedangkan inkarnasi adalah peristiwa dimana salah satu Pribadi dari Allah Tritunggal, yakni Allah Anak, mengambil natur manusia dan itu terjadi secara permanen (yang berinkarnasi bukan Allah Tritunggal, melainkan hanya salah satu dari ketiga Pribadi tersebut).
Selain itu, kita juga harus menghindari kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang Israel ketika mereka “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk patung anak lembu emas. Dalam benak Israel, patung anak lembu emas tersebut bukanlah allah lain; itu adalah patung Allah (Kel 32:8). Apakah itu salah? Ya, itu salah! Dan Allah sangat murka terhadap tindakan orang-orang Israel tersebut. Logikanya sebenarnya sederhana: kita tidak bisa melihat Allah, jadi secara otomatis kita tidak akan bisa dan tidak boleh sekali-kali untuk “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk apapun (patung, gambar, dll) karena itu akan membatasi Allah yang adalah Roh (Yes 40:18). Kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang Israel ini pasti karena mereka masih terpengaruh dengan konsep ibadah orang-orang Mesir yang mengaitkan dewa mereka dengan binatang atau benda-benda tertentu. Jadi, menyembah patung yang kita sudah tahu bahwa itu adalah berhala (seperti kepercayaan Animisme, Totemisme, Budhisme, Hinduisme) itu adalah salah dan berdosa.; namun menyembah Allah yang kita visualisasikan dalam bentuk patung dan gambar juga merupakan suatu tindakan yang salah dan berdosa.

Namun mungkin timbul pertanyaan di dalam benak kita: “Jika Allah adalah Roh, mengapa di Alkitab ada catatan-catatan yang menunjukkan seolah-olah Allah memiliki bentuk-bentuk fisik (Yos 4:24; 1Raj 15:15, dll)?” Kita bisa menjelaskannya dengan 3 cara: (1) Semua bentuk fisik yang disematkan pada Allah (wajah, tangan, kaki, hati, kepala, bibir, mata, dll) adalah suatu gaya bahasa anthrophomorphe (anthropos = manusia; morphe = bentuk/wujud) yang dapat diartikan sebagai suatu gaya bahasa yang menggunakan bentuk-bentuk fisik dan sifat manusia untuk diterapkan pada sesuatu (dalam hal ini Allah). Anthropomorphe mengacu kepada persepsi bahwa Allah memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia. Tujuannya adalah agar manusia dapat lebih mudah memahami dan mengenal Allah yang tidak terbatas dengan kapasitas otaknya yang sangat terbatas. Karena manusia adalah makhluk jasmaniah, maka pemahaman manusia mengenai sesuatu yang bersifat suprajasmaniah harus diakomodasi; dan satu-satunya cara untuk mengakomodasi hal tersebut adalah menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. (2) Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka apa yang ada pada manusia, pasti ada pada diri Allah (setidaknya ada di dalam pikiran Allah). Kalimat ini harus dipahami dengan cermat agar tidak tersesat dengan mengatakan: “karena manusia memiliki bentuk fisik maka Allah pasti memiliki bentuk fisik karena manusia adalah gambar dan rupa-Nya!” Saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu!  Maksud saya adalah, ketika Allah akan mencipta manusia, Allah pasti sudah memiliki konsep/design bagaimana bentuk fisik manusia. Allah pasti sudah merancang bahwa manusia akan memiliki bentuk-bentuk fisik (dari kaki sampai rambut), namun bentuk fisik tersebut hanya berlaku bagi manusia dan tidak bagi Allah; konsep bentuk-bentuk fisik seperti ini PASTI ADA di dalam pikiran Allah, namun TIDAK HARUS diterapkan pada pribadi Allah. Misalnya: Ketika kita membuat mobil, kita pasti punya konsep bahwa mobil harus punya ban. Apakah manusia yang membuat mobil harus mempunyai ban? Jelas tidak! Ban itu HARUS ADA pada mobil, tetapi TIDAK HARUS ada pada manusia yang membuat mobil. Demikian juga dengan manusia. Ketika manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, semua yang ada pada manusia pasti ada pada diri Allah (setidaknya dalam pikiran Allah) termasuk bentuk fisik, sehingga tidak salah jika kita menggunakan gaya bahasa anthropomorphe untuk memahami Allah karena bentuk fisik itu sendiri ada dalam pikiran Allah. (3) Untuk mengantisipasi inkarnasi Allah Anak. Ketika inkarnasi, Allah Anak tidak hanya mengambil natur manusia, melainkan juga bentuk fisik manusia. Untuk mempersiapkan manusia menerima konsep “Allah yang menjadi manusia dengan bentuk fisik” seperti itu, Allah telah terlebih dahulu menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. 

1 komentar: