Allah adalah Roh
Tuhan Yesus
berkata bahwa Allah adalah Roh, itulah sebabnya kita harus menyembah Dia dalam
roh dan kebenaran (Yoh 4:24). Kata roh berasal dari kata ruah (bahasa Ibrani) dan pneuma
(dalam bahasa Yunani) yang berarti (1)
udara yang bergerak (khususnya nafas), (2)
kuasa yang tidak terlihat, (3) jiwa
manusia. Istilah roh yang disematkan pada Allah bertujuan untuk menunjukan
bahwa Allah adalah keberadaan yang berbeda dengan dengan apapun. Perbedaannya
dalam hal: (1) Ia bukan keberadaan
yang bersifat materi (2) tidak dapat
dilihat dan (3) tanpa komposisi. Mengatakan
bahwa Allah adalah Roh berarti juga mengatakan bahwa Allah memiliki substansi;
bukan sekadar ide, konsep atau pemikiran yang abstrak. Kata “Roh” juga merujuk
kepada suatu keberadaan yang sederhana dan yang tidak dapat diurai maupun
dibentuk dari bagian-bagian atau elemen-elemen tertentu. Jika materi memiliki
bagian-bagian yang dapat diurai, maka tidak demikian dengan roh.
Bukankah manusia
juga memiliki roh? Bukankah malaikat juga merupakan suatu keberadaan yang
bersifat roh? Apa bedanya dengan Allah yang adalah Roh? Memang benar bahwa
bukan hanya Allah yang memiliki sifat roh; manusia dan malaikat juga memilikinya. Namun walaupun demikian, Roh
Allah berbeda dengan roh manusia dan malaikat. Roh Allah harus dimengerti dalam
pengertian mutlak, sedangkan roh manusia dan malaikat harus dimengerti dalam
pengertian yang relatif. Berikut adalah penjelasannya:
a.
Roh Allah dan roh yang ada pada ciptaan (manusia
dan malaikat) walaupun mirip di dalam kesederhanaannya, tetapi kesederhanaan
Roh Allah bersifat mutlak dan tidak berubah; sedangkan roh manusia, sekalipun
bersifat sederhana, dapat mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan,
misalnya kualitas intelektual di dalam roh manusia yang senantiasa bertumbuh dan
berubah. Kualitas intelektul dari seorang bayi pasti berbeda dengan orang
dewasa maupun orang tua. Disini kita bisa melihat adanya suatu perubahan dan
perkembangan pada roh manusia. Hal seperti ini tidak terjadi pada diri Allah.
Roh Allah sudah sempurna sejak kekekalan sampai kekekalan. Roh Allah tidak
pernah dan tidak akan pernah mengalami perkembangan, pertumbuhan dan perubahan.
Roh Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna!
b.
Roh Allah bersifat kekal (tidak berawal dan
tidak berakhir) sedangkan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat)
memiliki awal dan tidak memiliki akhir (walaupun sebenarnya Allah bisa saja
mengakhirinya/memusnahkannya).
Dengan
mengatakan bahwa Allah adalah Roh, berarti kita harus menerima fakta bahwa
Allah tidak memiliki tubuh jasmani dan dengan demikian tidak mungkin bisa
dilihat oleh manusia (makanya aneh jika orang-orang atheis menuntut kita untuk
menunjukan keberadaan Allah; padahal Allah adalah Roh yang pasti tidak mungkin
bisa dilihat dan ditunjukkan oleh manusia). Ini penting untuk dipertegas agar
kita tidak jatuh ke dalam kesalahan dengan mengklaim “pernah melihat Allah”.
Allah adalah Roh, jadi tidak mungkin bisa dilihat. Memang di dalam Alkitab ada
dicatat bahwa Allah menampakkan diri-Nya kepada beberapa orang. Namun itu harus
dipahami dalam konteks Teofani. Teofani (theos = Allah; Phaneroo = menampakkan
diri dalam suatu wujud tertentu/mewujudkan diri) artinya adalah Allah yang
menampakkan diri/mewujudkan diri sehingga bisa dilihat manusia. Dalam
Perjanjian Lama, Allah pernah melakukan hal ini ketika bertemu dengan Yosua
dalam wujud Panglima Balatentara Allah (Yos 5:14), Abraham dalam wujud Malaikat
(Kej 18:1-3), Yakub dalam wujud seorang laki-laki (Kej 32:28-30), Musa dalam wujud semak yang
menyala (Kel 3:2). Teofani berbeda dengan inkarnasi. Teofani adalah peristiwa
dimana Allah menunjukan diri-Nya dalam sebuah wujud (bisa manusia, malaikat,
benda-benda, dll) dan tidak berlangsung lama ataupun permanen; sedangkan
inkarnasi adalah peristiwa dimana salah satu Pribadi dari Allah Tritunggal,
yakni Allah Anak, mengambil natur manusia dan itu terjadi secara permanen (yang
berinkarnasi bukan Allah Tritunggal, melainkan hanya salah satu dari ketiga
Pribadi tersebut).
Selain itu, kita
juga harus menghindari kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang Israel
ketika mereka “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk patung anak
lembu emas. Dalam benak Israel, patung anak lembu emas tersebut bukanlah allah
lain; itu adalah patung Allah (Kel 32:8). Apakah itu salah? Ya, itu salah! Dan Allah
sangat murka terhadap tindakan orang-orang Israel tersebut. Logikanya
sebenarnya sederhana: kita tidak bisa melihat Allah, jadi secara otomatis
kita tidak akan bisa dan tidak boleh sekali-kali untuk
“mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk apapun (patung, gambar, dll)
karena itu akan membatasi Allah yang adalah Roh (Yes 40:18). Kesalahan yang
dilakukan oleh orang-orang Israel ini pasti karena mereka masih terpengaruh
dengan konsep ibadah orang-orang Mesir yang mengaitkan dewa mereka dengan
binatang atau benda-benda tertentu. Jadi, menyembah patung yang kita sudah tahu
bahwa itu adalah berhala (seperti kepercayaan Animisme, Totemisme, Budhisme,
Hinduisme) itu adalah salah dan berdosa.; namun menyembah Allah yang kita
visualisasikan dalam bentuk patung dan gambar juga merupakan suatu tindakan
yang salah dan berdosa.
Namun mungkin
timbul pertanyaan di dalam benak kita: “Jika Allah adalah Roh, mengapa di
Alkitab ada catatan-catatan yang menunjukkan seolah-olah Allah memiliki
bentuk-bentuk fisik (Yos 4:24; 1Raj 15:15, dll)?” Kita bisa menjelaskannya
dengan 3 cara: (1) Semua bentuk
fisik yang disematkan pada Allah (wajah, tangan, kaki, hati, kepala, bibir,
mata, dll) adalah suatu gaya bahasa anthrophomorphe (anthropos = manusia;
morphe = bentuk/wujud) yang dapat diartikan sebagai suatu gaya bahasa yang
menggunakan bentuk-bentuk fisik dan sifat manusia untuk diterapkan pada sesuatu
(dalam hal ini Allah). Anthropomorphe mengacu kepada persepsi bahwa Allah
memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia. Tujuannya adalah agar
manusia dapat lebih mudah memahami dan mengenal Allah yang tidak terbatas
dengan kapasitas otaknya yang sangat terbatas. Karena manusia adalah makhluk
jasmaniah, maka pemahaman manusia mengenai sesuatu yang bersifat suprajasmaniah
harus diakomodasi; dan satu-satunya cara untuk mengakomodasi hal tersebut
adalah menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. (2) Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka apa yang ada
pada manusia, pasti ada pada diri Allah (setidaknya ada di dalam pikiran
Allah). Kalimat ini harus dipahami dengan cermat agar tidak tersesat dengan
mengatakan: “karena manusia memiliki bentuk fisik maka Allah pasti memiliki
bentuk fisik karena manusia adalah gambar dan rupa-Nya!” Saya sama sekali tidak
bermaksud seperti itu! Maksud saya
adalah, ketika Allah akan mencipta manusia, Allah pasti sudah memiliki konsep/design
bagaimana bentuk fisik manusia. Allah pasti sudah merancang bahwa manusia akan
memiliki bentuk-bentuk fisik (dari kaki sampai rambut), namun bentuk fisik
tersebut hanya berlaku bagi manusia dan tidak bagi Allah; konsep bentuk-bentuk
fisik seperti ini PASTI ADA di dalam pikiran Allah, namun TIDAK HARUS
diterapkan pada pribadi Allah. Misalnya: Ketika kita membuat mobil, kita pasti
punya konsep bahwa mobil harus punya ban. Apakah manusia yang membuat mobil
harus mempunyai ban? Jelas tidak! Ban itu HARUS ADA pada mobil, tetapi TIDAK
HARUS ada pada manusia yang membuat mobil. Demikian juga dengan manusia. Ketika
manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, semua yang ada pada manusia pasti
ada pada diri Allah (setidaknya dalam pikiran Allah) termasuk bentuk fisik, sehingga
tidak salah jika kita menggunakan gaya bahasa anthropomorphe untuk memahami
Allah karena bentuk fisik itu sendiri ada dalam pikiran Allah. (3) Untuk mengantisipasi inkarnasi
Allah Anak. Ketika inkarnasi, Allah Anak tidak hanya mengambil natur manusia,
melainkan juga bentuk fisik manusia. Untuk mempersiapkan manusia menerima
konsep “Allah yang menjadi manusia dengan bentuk fisik” seperti itu, Allah
telah terlebih dahulu menggunakan gaya bahasa anthropomorphe.
thank's untuk tulisannya ...
BalasHapus