KETIDAKTERBATASAN ALLAH
A. Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Kesempurnaan
Kita mengatakan bahwa Allah sempurna dalam artian bahwa Ia tidak dibatasi oleh keterbatasan. Seluruh sifat Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna. Kasih-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya, kebijaksanaan-Nya, hikmat-Nya, pengetahuan-Nya, dll., sudah sempurna dan sama sekali tidak ada kekurangan apapun (Ayub 11:7-10). Hal ini berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia yang serba terbatas dan tidak sempurna. Manusia memang memiliki kasih, namun kasihnya tidak sempurna sehingga ia harus terus belajar mengasihi. Manusia memang memiliki kebijaksanaan, namun kebijaksanaanya masih terbatas dan tidak sempurna sehingga ia harus terus belajar agar kebijaksanaannya bisa berkembang. Manusia memang memiliki kesucian, keadilan, hikmat, pengetahuan, dll., namun sifat-sifat tersebut terus mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan seiring waktu.
B. Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Kuasa (Kemahakuasaan Allah)
Kemahakuasaan Allah berarti berbicara mengenai ketidakterbatasan-Nya dalam hal kuasa. Kemahakuasaan Allah terlihat dengan jelas dalam (1) karya penciptaan dan (2) pemeliharaan-Nya atas alam semesta (Kej 1:1; Maz 104:1-31; Ibr 1:3). Ketika Allah menciptakan alam semesta dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo), maka hal itu menunjukan dan membuktikan bahwa Ia mahakuasa. Kemampuan dan kuasa seperti ini tidak mungkin ada pada makhluk ciptaan. Kita memang memiliki kemampuan mencipta (karena kita adalah gambar dan rupa Allah), namun kita hanya bisa mencipta sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada; sehingga sangat tepat jika Pengkhotbah mengatakan bahwa di bawah kolong langit ini tidak ada yang baru; semua hasil karya manusia di dalam dunia ini adalah hasil pengembangan dari sesuatu yang sudah ada di masa lalu (Pkh 1:9-10). Hanya Allah yang bisa menciptakan sesuatu yang baru dalam pengertian yang paling ketat. Demikian juga ketika Dia menopang dan memelihara segala sesuatu yang sudah Ia ciptakan; itu menunjukan kemahakuasaan-Nya. Mungkin orang-orang atheis akan berkata bahwa alam semesta ini bisa terus eksis dan berjalan karena adanya hukum-hukum alam yang bekerja; keteraturan alam semesta tidak harus mengindikasikan adanya Seorang Allah yang menopangnya. Namun kita bisa mengajukan pertanyaan yang sederhana untuk menggugurkan argumennya, yaitu: “Jika alam semesta bisa teratur karena adanya hukum alam, pertanyaannya adalah mengapa hukum alam itu bisa ada? atau bagaimana hukum alam itu bisa ada?". Sains memang bisa menjelaskan BAGAIMANA (HOW) alam semesta bisa terus eksis dan berjalan berdasarkan hukum-hukum alam, namun Sains tidak akan bisa menemukan jawaban MENGAPA (WHY) hukum-hukum alam itu bisa ada. Sampai pada titik itu, Sains harus menundukkan diri di bawah Firman Tuhan; Sains harus bertanya kepada Alkitab untuk menjawab WHY-nya; dan jawaban dari Alkitab adalah: HUKUM ALAM BERASAL DARI TUHAN UNTUK MENOPANG ALAM SEMESTA. Jadi, kita tidak menolak pendapat orang-orang atheis yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada karena ditopang oleh hukum alam. Namun ketika mereka mulai kurang ajar dengan mengatakan bahwa hukum alam itu ada dengan sendirinya (bukan dibuat oleh Allah), maka kita harus menolak pendapat tersebut. Hukum alam tidak bersifat kekal. Hukum alam dibuat oleh Tuhan untuk menjadi penopang alam semesta. Kemahakuasaan Allah bukan hanya terlihat ketika Ia mencipta, tetapi juga terlihat dalam hukum-hukum alam yang Ia buat dan tetapkan untuk menjaga dan menopang alam ciptaan-Nya. Sebenarnya, para Saintis adalah orang-orang yang paling beruntung karena bisa melihat dan menyelami kemahakuasaan serta kebijaksanaan Allah melalui pengamatan dan penyelidikan yang mereka lakukan terhadap hukum-hukum alam. Namun sayang – seperti yang Paulus katakan dalam Roma 1:18-22 – kebanyakan dari mereka menolak kesaksian dari hukum-hukum alam tersebut dan akhirnya menekan hati nurani mereka yang sedang berdoxologi di dalam diri mereka.
Perlu diingat bahwa kemahakuasaan Allah tidak boleh dimengerti bahwa Dia bisa dan boleh melakukan segala sesuatu. Ini adalah cara yang keliru dan terlalu sempit untuk memahami kemahakuasaan Allah. Allah tidak mungkin melakukan segala sesuatu tanpa batasan apapun. Jika Ia bertindak, Ia pasti dibatasi oleh sifat-sifat-Nya. Itu sebabnya, sekalipun Allah mahakuasa dan bisa melakukan apa saja, namun Ia tidak bisa berbuat dosa karena ada sifat-Nya yang kudus yang menjadi pembatas sehingga Ia tidak bisa melakukan hal itu. Selain itu, Allah juga adalah Pribadi yang Logis/Rasional, sehingga tidak mungkin ada kontradiksi di dalam diri-Nya ataupun di dalam tindakan-Nya. Sekalipun Allah mahakuasa dan bisa melakukan segala sesuatu, namun Ia tidak mungkin bisa menciptakan sebuah batu yang berukuran super jumbo sehingga Ia sendiri tidak sanggup mengangkatnya. Hal ini tidak mungkin Ia lakukan karena itu berkontradiksi. Jika Ia menciptakan sesuatu, maka sesuatu tersebut pasti lebih kecil dan lebih rendah dari diri-Nya sehingga tetap berada di bawah kontrol-Nya.
C. Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Waktu (Kekekalan Allah)
Kekekalan Allah berarti berbicara mengenai ketidakterbatasan-Nya dilihat dari sudut pandang waktu. Alkitab menggambarkan kekekalan Allah sebagai waktu yang tidak ada habis-habisnya (Mzm 90:2; 102:12; Ef 3:21). Memang agak ribet saat membicarakan kekekalan Allah karena kita harus berpikir ekstra keras untuk memahami apa itu waktu dan apa itu kekekalan? Kita terpaksa harus masuk ke dalam suatu yang disebut philosophy of time.
Pertama-tama kita harus mendefinisikan apa itu waktu. Waktu adalah sesuatu yang dapat diketahui melalui adanya proses. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang berproses? Waktunya atau alam semesta yang Tuhan ciptakan? Jawaban saya adalah waktu tidak berproses; yang berada di dalam proses hanyalah alam semesta ini. Ketika saya mengatakan bahwa saya sudah hidup di dalam dunia dalam kurun waktu 50 tahun, sebenarnya itu hanya mau menunjukan adanya proses yang terjadi pada diri saya dan dunia di sekitar saya; sedangkan waktu itu sendiri tidak berubah dan tidak berproses; waktu itu tetap menjadi suatu misteri yang tidak dapat diketahui dan didefinisikan. Karena alam semesta (termasuk manusia) mengalami proses, maka timbullah kesan adanya waktu. Jadi, waktu itu hanyalah persepsi kita karena kita mengalami dan melihat adanya proses yang terjadi pada diri kita dan dunia disekitar kita. Sama seperti eksistensi ruang itu bergantung pada materi dan luasan, maka waktu juga sangat bergantung pada proses; tanpa ada proses yang terjadi, maka tidak akan ada persepsi tentang waktu. Sama seperti jika tidak ada materi dan luasan, maka tidak akan ada eksistensi ruang.
Konsep waktu seperti ini sepertinya selaras dengan apa yang Alkitab katakan mengenai waktu dan kekekalan. Alkitab mengatakan bahwa kekekalan adalah suatu waktu yang tidak ada habis-habisnya (Mzm 90:2. NKJV: from everlasting to everlasting). Jadi, sebenarnya waktu dan kekekalan memiliki hubungan. Menurut pengertian Alkitab, waktu dan kekekalan adalah satu hal yang dapat dilihat dari 2 sudut pandang yang berbeda, yakni (1) dari sudut pandang alam semesta yang mengalami proses, dan (2) dari sudut pandang Allah yang tidak mengalami proses. Jadi kekekalan itu sendiri sebenarnya adalah waktu, namun waktu yang tidak dapat dipersepsikan karena tidak ada sesuatu yang mengalami proses. Jadi, berada di dalam kekekalan berarti berada dalam kondisi yang tidak mengalami proses, sehingga seolah-olah tidak ada waktu yang dapat menunjukan proses tersebut. Di dalam kekekalan tidak akan ada waktu karena tidak ada proses. Ketika dikatakan bahwa di kekekalan nanti kita akan hidup selama-lamanya (tidak mengalami kematian), itu sebenarnya mau menunjukan bahwa kita tidak akan berada di dalam proses (dari janin -> bayi -> anak-anak -> remaja -> dewasa ->orang tua – mati). Jika hal itu terjadi, maka itu bukan lagi kekekalan. Berdasarkan pengertian ini, berarti kita harus menolak konsep yang selama ini diajarkan bahwa waktu dan kekekalan adalah dua realm yang berbeda; ibaratkan 2 garis lurus sejajar yang tidak akan pernah bertemu.
Sekarang kita kembali kepada poin yang mengatakan bahwa Allah itu kekal. Apa maksudnya? Maksudnya adalah bahwa Allah tidak berada di dalam proses dan juga tidak mengalami proses. Semua yang Ia ciptakan mengalami proses, sehingga mereka disebut ciptaan yang fana, tetapi Allah tidak mengalami proses sehingga Ia disebut Pribadi yang kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar