Selasa, 18 Oktober 2016

Ketidakterbatasan Allah

KETIDAKTERBATASAN ALLAH

         A.   Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Kesempurnaan 
                Kita mengatakan bahwa Allah sempurna dalam artian bahwa Ia tidak dibatasi oleh keterbatasan. Seluruh sifat Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna. Kasih-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya, kebijaksanaan-Nya, hikmat-Nya, pengetahuan-Nya, dll., sudah sempurna dan sama sekali tidak ada kekurangan apapun (Ayub 11:7-10). Hal ini berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia yang serba terbatas dan tidak sempurna. Manusia memang memiliki kasih, namun kasihnya tidak sempurna sehingga ia harus terus belajar mengasihi. Manusia memang memiliki kebijaksanaan, namun kebijaksanaanya masih terbatas dan tidak sempurna sehingga ia harus terus belajar agar kebijaksanaannya bisa berkembang. Manusia memang memiliki kesucian, keadilan, hikmat, pengetahuan, dll., namun sifat-sifat tersebut terus mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan seiring waktu. 

     B.      Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Kuasa (Kemahakuasaan Allah)
              Kemahakuasaan Allah berarti berbicara mengenai ketidakterbatasan-Nya dalam hal kuasa. Kemahakuasaan Allah terlihat dengan jelas dalam (1) karya penciptaan dan (2) pemeliharaan-Nya atas alam semesta  (Kej 1:1; Maz 104:1-31; Ibr 1:3). Ketika Allah menciptakan alam semesta dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo), maka hal itu menunjukan dan membuktikan bahwa Ia mahakuasa. Kemampuan dan kuasa seperti ini tidak mungkin ada pada makhluk ciptaan. Kita memang memiliki kemampuan mencipta (karena kita adalah gambar dan rupa Allah), namun kita hanya bisa mencipta sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada; sehingga sangat tepat jika Pengkhotbah mengatakan bahwa di bawah kolong langit ini tidak ada yang baru; semua hasil karya manusia di dalam dunia ini adalah hasil pengembangan dari sesuatu yang sudah ada di masa lalu (Pkh 1:9-10). Hanya Allah yang bisa menciptakan sesuatu yang baru dalam pengertian yang paling ketat. Demikian juga ketika Dia menopang dan memelihara segala sesuatu yang sudah Ia ciptakan; itu menunjukan kemahakuasaan-Nya. Mungkin orang-orang atheis akan berkata bahwa alam semesta ini bisa terus eksis dan berjalan karena adanya hukum-hukum alam yang bekerja; keteraturan alam semesta tidak harus mengindikasikan adanya Seorang Allah yang menopangnya. Namun kita bisa mengajukan pertanyaan yang sederhana untuk menggugurkan argumennya, yaitu: “Jika alam semesta bisa teratur karena adanya hukum alam, pertanyaannya adalah mengapa hukum alam itu bisa ada? atau bagaimana hukum alam itu bisa ada?". Sains memang bisa menjelaskan BAGAIMANA (HOW) alam semesta bisa terus eksis dan berjalan berdasarkan hukum-hukum alam, namun Sains tidak akan bisa menemukan jawaban MENGAPA (WHY) hukum-hukum alam itu bisa ada. Sampai pada titik itu, Sains harus menundukkan diri di bawah Firman Tuhan; Sains harus bertanya kepada Alkitab untuk menjawab WHY-nya; dan jawaban dari Alkitab adalah: HUKUM ALAM BERASAL DARI TUHAN UNTUK MENOPANG ALAM SEMESTA. Jadi, kita tidak menolak pendapat orang-orang atheis yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada karena ditopang oleh hukum alam. Namun ketika mereka mulai kurang ajar dengan mengatakan bahwa hukum alam itu ada dengan sendirinya (bukan dibuat oleh Allah), maka kita harus menolak pendapat tersebut. Hukum alam tidak bersifat kekal. Hukum alam dibuat oleh Tuhan untuk menjadi penopang alam semesta. Kemahakuasaan Allah bukan hanya terlihat ketika Ia mencipta, tetapi juga terlihat dalam hukum-hukum alam yang Ia buat dan tetapkan untuk menjaga dan menopang alam ciptaan-Nya. Sebenarnya, para Saintis adalah orang-orang yang paling beruntung karena bisa melihat dan menyelami kemahakuasaan serta kebijaksanaan Allah melalui pengamatan dan penyelidikan yang mereka lakukan terhadap hukum-hukum alam. Namun sayang – seperti yang Paulus katakan dalam Roma 1:18-22 – kebanyakan dari mereka menolak kesaksian dari hukum-hukum alam tersebut dan akhirnya menekan hati nurani mereka yang sedang berdoxologi di dalam diri mereka. 
          Perlu diingat bahwa kemahakuasaan Allah tidak boleh dimengerti bahwa Dia bisa dan boleh melakukan segala sesuatu. Ini adalah cara yang keliru dan terlalu sempit untuk memahami kemahakuasaan Allah. Allah tidak mungkin melakukan segala sesuatu tanpa batasan apapun. Jika Ia bertindak, Ia pasti dibatasi oleh sifat-sifat-Nya. Itu sebabnya, sekalipun Allah mahakuasa dan bisa melakukan apa saja, namun Ia tidak bisa berbuat dosa karena ada sifat-Nya yang kudus yang menjadi pembatas sehingga Ia tidak bisa melakukan hal itu. Selain itu, Allah juga adalah Pribadi yang Logis/Rasional, sehingga tidak mungkin ada kontradiksi di dalam diri-Nya ataupun di dalam tindakan-Nya. Sekalipun Allah mahakuasa dan bisa melakukan segala sesuatu, namun Ia tidak mungkin bisa menciptakan sebuah batu yang berukuran super jumbo sehingga Ia sendiri tidak sanggup mengangkatnya. Hal ini tidak mungkin Ia lakukan karena itu berkontradiksi. Jika Ia menciptakan sesuatu, maka sesuatu tersebut pasti lebih kecil dan lebih rendah dari diri-Nya sehingga tetap berada di bawah kontrol-Nya. 

       C.      Ketidakterbatasan Allah dalam Hal Waktu (Kekekalan Allah)
                Kekekalan Allah berarti berbicara mengenai ketidakterbatasan-Nya dilihat dari sudut pandang waktu. Alkitab menggambarkan kekekalan Allah sebagai waktu yang tidak ada habis-habisnya  (Mzm 90:2; 102:12; Ef 3:21). Memang agak ribet saat membicarakan kekekalan Allah karena kita harus berpikir ekstra keras untuk memahami apa itu waktu dan apa itu kekekalan? Kita terpaksa harus masuk ke dalam suatu yang disebut philosophy of time. 
               Pertama-tama kita harus mendefinisikan apa itu waktu. Waktu adalah sesuatu yang dapat diketahui melalui adanya proses. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang berproses? Waktunya atau alam semesta yang Tuhan ciptakan? Jawaban saya adalah waktu tidak berproses; yang berada di dalam proses hanyalah alam semesta ini. Ketika saya mengatakan bahwa saya sudah hidup di dalam dunia dalam kurun waktu 50 tahun, sebenarnya itu hanya mau menunjukan adanya proses yang terjadi pada diri saya dan dunia di sekitar saya; sedangkan waktu itu sendiri tidak berubah dan tidak berproses; waktu itu tetap menjadi suatu misteri yang tidak dapat diketahui dan didefinisikan. Karena alam semesta (termasuk manusia) mengalami proses, maka timbullah kesan adanya waktu. Jadi, waktu itu hanyalah persepsi kita karena kita mengalami dan melihat adanya proses yang terjadi pada diri kita dan dunia disekitar kita. Sama seperti eksistensi ruang itu bergantung pada materi dan luasan, maka waktu juga sangat bergantung pada proses; tanpa ada proses yang terjadi, maka tidak akan ada persepsi tentang waktu. Sama seperti jika tidak ada materi dan luasan, maka tidak akan ada eksistensi ruang.
          Konsep waktu seperti ini sepertinya selaras dengan apa yang Alkitab katakan mengenai waktu dan kekekalan. Alkitab mengatakan bahwa kekekalan adalah suatu waktu yang tidak ada habis-habisnya (Mzm 90:2. NKJV: from everlasting to everlasting). Jadi, sebenarnya waktu dan kekekalan memiliki hubungan. Menurut pengertian Alkitab, waktu dan kekekalan adalah satu hal yang dapat dilihat dari 2 sudut pandang yang berbeda, yakni (1) dari sudut pandang alam semesta yang mengalami proses, dan (2) dari sudut pandang Allah yang tidak mengalami proses. Jadi kekekalan itu sendiri sebenarnya adalah waktu, namun waktu yang tidak dapat dipersepsikan karena tidak ada sesuatu yang mengalami proses. Jadi, berada di dalam kekekalan berarti berada dalam kondisi yang tidak mengalami proses, sehingga seolah-olah tidak ada waktu yang dapat menunjukan proses tersebut. Di dalam kekekalan tidak akan ada waktu karena tidak ada proses. Ketika dikatakan bahwa di kekekalan nanti kita akan hidup selama-lamanya (tidak mengalami kematian), itu sebenarnya mau menunjukan bahwa kita tidak akan berada di dalam proses (dari janin -> bayi -> anak-anak -> remaja -> dewasa ->orang tua – mati). Jika hal itu terjadi, maka itu bukan lagi kekekalan.  Berdasarkan pengertian ini, berarti kita harus menolak konsep yang selama ini diajarkan bahwa waktu dan kekekalan adalah dua realm yang berbeda; ibaratkan 2 garis lurus sejajar yang tidak akan pernah bertemu. 
Sekarang kita kembali kepada poin yang mengatakan bahwa Allah itu kekal. Apa maksudnya? Maksudnya adalah bahwa Allah tidak berada di dalam proses dan juga tidak mengalami proses. Semua yang Ia ciptakan mengalami proses, sehingga mereka disebut ciptaan yang fana, tetapi Allah tidak mengalami proses sehingga Ia disebut Pribadi yang kekal. 

Jumat, 14 Oktober 2016

Allah adalah Roh

                                                                               Allah adalah Roh

Tuhan Yesus berkata bahwa Allah adalah Roh, itulah sebabnya kita harus menyembah Dia dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24). Kata roh berasal dari kata ruah (bahasa Ibrani) dan pneuma (dalam bahasa Yunani) yang berarti (1) udara yang bergerak (khususnya nafas), (2) kuasa yang tidak terlihat, (3) jiwa manusia. Istilah roh yang disematkan pada Allah bertujuan untuk menunjukan bahwa Allah adalah keberadaan yang berbeda dengan dengan apapun. Perbedaannya dalam hal: (1) Ia bukan keberadaan yang bersifat materi (2) tidak dapat dilihat dan (3) tanpa komposisi. Mengatakan bahwa Allah adalah Roh berarti juga mengatakan bahwa Allah memiliki substansi; bukan sekadar ide, konsep atau pemikiran yang abstrak. Kata “Roh” juga merujuk kepada suatu keberadaan yang sederhana dan yang tidak dapat diurai maupun dibentuk dari bagian-bagian atau elemen-elemen tertentu. Jika materi memiliki bagian-bagian yang dapat diurai, maka tidak demikian dengan roh.
Bukankah manusia juga memiliki roh? Bukankah malaikat juga merupakan suatu keberadaan yang bersifat roh? Apa bedanya dengan Allah yang adalah Roh? Memang benar bahwa bukan hanya Allah yang memiliki sifat roh; manusia dan malaikat  juga memilikinya. Namun walaupun demikian, Roh Allah berbeda dengan roh manusia dan malaikat. Roh Allah harus dimengerti dalam pengertian mutlak, sedangkan roh manusia dan malaikat harus dimengerti dalam pengertian yang relatif. Berikut adalah penjelasannya:

a.       Roh Allah dan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat) walaupun mirip di dalam kesederhanaannya, tetapi kesederhanaan Roh Allah bersifat mutlak dan tidak berubah; sedangkan roh manusia, sekalipun bersifat sederhana, dapat mengalami perubahan, pertumbuhan dan perkembangan, misalnya kualitas intelektual di dalam roh manusia yang senantiasa bertumbuh dan berubah. Kualitas intelektul dari seorang bayi pasti berbeda dengan orang dewasa maupun orang tua. Disini kita bisa melihat adanya suatu perubahan dan perkembangan pada roh manusia. Hal seperti ini tidak terjadi pada diri Allah. Roh Allah sudah sempurna sejak kekekalan sampai kekekalan. Roh Allah tidak pernah dan tidak akan pernah mengalami perkembangan, pertumbuhan dan perubahan. Roh Allah sudah sempurna dan akan selalu sempurna!
b.      Roh Allah bersifat kekal (tidak berawal dan tidak berakhir) sedangkan roh yang ada pada ciptaan (manusia dan malaikat) memiliki awal dan tidak memiliki akhir (walaupun sebenarnya Allah bisa saja mengakhirinya/memusnahkannya).

Dengan mengatakan bahwa Allah adalah Roh, berarti kita harus menerima fakta bahwa Allah tidak memiliki tubuh jasmani dan dengan demikian tidak mungkin bisa dilihat oleh manusia (makanya aneh jika orang-orang atheis menuntut kita untuk menunjukan keberadaan Allah; padahal Allah adalah Roh yang pasti tidak mungkin bisa dilihat dan ditunjukkan oleh manusia). Ini penting untuk dipertegas agar kita tidak jatuh ke dalam kesalahan dengan mengklaim “pernah melihat Allah”. Allah adalah Roh, jadi tidak mungkin bisa dilihat. Memang di dalam Alkitab ada dicatat bahwa Allah menampakkan diri-Nya kepada beberapa orang. Namun itu harus dipahami dalam konteks Teofani. Teofani (theos = Allah; Phaneroo = menampakkan diri dalam suatu wujud tertentu/mewujudkan diri) artinya adalah Allah yang menampakkan diri/mewujudkan diri sehingga bisa dilihat manusia. Dalam Perjanjian Lama, Allah pernah melakukan hal ini ketika bertemu dengan Yosua dalam wujud Panglima Balatentara Allah (Yos 5:14), Abraham dalam wujud Malaikat (Kej 18:1-3), Yakub dalam wujud seorang laki-laki  (Kej 32:28-30), Musa dalam wujud semak yang menyala (Kel 3:2). Teofani berbeda dengan inkarnasi. Teofani adalah peristiwa dimana Allah menunjukan diri-Nya dalam sebuah wujud (bisa manusia, malaikat, benda-benda, dll) dan tidak berlangsung lama ataupun permanen; sedangkan inkarnasi adalah peristiwa dimana salah satu Pribadi dari Allah Tritunggal, yakni Allah Anak, mengambil natur manusia dan itu terjadi secara permanen (yang berinkarnasi bukan Allah Tritunggal, melainkan hanya salah satu dari ketiga Pribadi tersebut).
Selain itu, kita juga harus menghindari kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang Israel ketika mereka “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk patung anak lembu emas. Dalam benak Israel, patung anak lembu emas tersebut bukanlah allah lain; itu adalah patung Allah (Kel 32:8). Apakah itu salah? Ya, itu salah! Dan Allah sangat murka terhadap tindakan orang-orang Israel tersebut. Logikanya sebenarnya sederhana: kita tidak bisa melihat Allah, jadi secara otomatis kita tidak akan bisa dan tidak boleh sekali-kali untuk “mewujudkan/memvisualisasikan Allah” dalam bentuk apapun (patung, gambar, dll) karena itu akan membatasi Allah yang adalah Roh (Yes 40:18). Kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang Israel ini pasti karena mereka masih terpengaruh dengan konsep ibadah orang-orang Mesir yang mengaitkan dewa mereka dengan binatang atau benda-benda tertentu. Jadi, menyembah patung yang kita sudah tahu bahwa itu adalah berhala (seperti kepercayaan Animisme, Totemisme, Budhisme, Hinduisme) itu adalah salah dan berdosa.; namun menyembah Allah yang kita visualisasikan dalam bentuk patung dan gambar juga merupakan suatu tindakan yang salah dan berdosa.

Namun mungkin timbul pertanyaan di dalam benak kita: “Jika Allah adalah Roh, mengapa di Alkitab ada catatan-catatan yang menunjukkan seolah-olah Allah memiliki bentuk-bentuk fisik (Yos 4:24; 1Raj 15:15, dll)?” Kita bisa menjelaskannya dengan 3 cara: (1) Semua bentuk fisik yang disematkan pada Allah (wajah, tangan, kaki, hati, kepala, bibir, mata, dll) adalah suatu gaya bahasa anthrophomorphe (anthropos = manusia; morphe = bentuk/wujud) yang dapat diartikan sebagai suatu gaya bahasa yang menggunakan bentuk-bentuk fisik dan sifat manusia untuk diterapkan pada sesuatu (dalam hal ini Allah). Anthropomorphe mengacu kepada persepsi bahwa Allah memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia. Tujuannya adalah agar manusia dapat lebih mudah memahami dan mengenal Allah yang tidak terbatas dengan kapasitas otaknya yang sangat terbatas. Karena manusia adalah makhluk jasmaniah, maka pemahaman manusia mengenai sesuatu yang bersifat suprajasmaniah harus diakomodasi; dan satu-satunya cara untuk mengakomodasi hal tersebut adalah menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. (2) Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka apa yang ada pada manusia, pasti ada pada diri Allah (setidaknya ada di dalam pikiran Allah). Kalimat ini harus dipahami dengan cermat agar tidak tersesat dengan mengatakan: “karena manusia memiliki bentuk fisik maka Allah pasti memiliki bentuk fisik karena manusia adalah gambar dan rupa-Nya!” Saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu!  Maksud saya adalah, ketika Allah akan mencipta manusia, Allah pasti sudah memiliki konsep/design bagaimana bentuk fisik manusia. Allah pasti sudah merancang bahwa manusia akan memiliki bentuk-bentuk fisik (dari kaki sampai rambut), namun bentuk fisik tersebut hanya berlaku bagi manusia dan tidak bagi Allah; konsep bentuk-bentuk fisik seperti ini PASTI ADA di dalam pikiran Allah, namun TIDAK HARUS diterapkan pada pribadi Allah. Misalnya: Ketika kita membuat mobil, kita pasti punya konsep bahwa mobil harus punya ban. Apakah manusia yang membuat mobil harus mempunyai ban? Jelas tidak! Ban itu HARUS ADA pada mobil, tetapi TIDAK HARUS ada pada manusia yang membuat mobil. Demikian juga dengan manusia. Ketika manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, semua yang ada pada manusia pasti ada pada diri Allah (setidaknya dalam pikiran Allah) termasuk bentuk fisik, sehingga tidak salah jika kita menggunakan gaya bahasa anthropomorphe untuk memahami Allah karena bentuk fisik itu sendiri ada dalam pikiran Allah. (3) Untuk mengantisipasi inkarnasi Allah Anak. Ketika inkarnasi, Allah Anak tidak hanya mengambil natur manusia, melainkan juga bentuk fisik manusia. Untuk mempersiapkan manusia menerima konsep “Allah yang menjadi manusia dengan bentuk fisik” seperti itu, Allah telah terlebih dahulu menggunakan gaya bahasa anthropomorphe. 

Rabu, 05 Oktober 2016

Baptisan Untuk Bayi dan Anak-anak

Baptisan Bayi dan Anak-Anak

            Mengenai pembaptisan anak-anak dan bayi, Herman Bavinck berkata bahwa “validitas hal itu bergantung secara eksklusif terhadap bagaimana Alkitab menghargai anak-anak kecil dan olehnya menghendaki kita untuk menghargai mereka.”   Saya sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini oleh karena kita tidak bisa bersikap lain daripada bersikap selaras dengan apa yang telah dinyatakan oleh kitab suci.
Pembaptisan bayi dan anak-anak di dalam gereja Protestan dikritik oleh kalangan Baptis, Pentakosta dan Kharismatik, dengan alasan bahwa bayi dan anak-anak kecil belum dapat beriman dan oleh karena itu belum dapat dibaptis. Dasar Alkitab yang sering mereka kemukakan adalah Markus 16:16 “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, ... .” Menurut frase ini, secara logis seseorang percaya terlebih dahulu, baru kemudian dibaptis (Kis 8:36-38; 16:14-15,30-33). Tetapi gereja Protestan melaksanakan baptisan bayi dan anak-anak bukanlah tanpa alasan teologis. Beberapa alasan di bawah ini dikemukakan sebagai pembelaan teologis – yang selaras dengan Alkitab – bahwa bayi dan anak-anak berhak untuk dibaptis.

1. Konsistensinya dengan Sunat dalam Perjanjian Lama
        Di dalam Perjanjian Lama, Abraham dan seluruh keturunannya diperintahkan untuk disunat (Kej 17:10-14); dan mereka yang harus disunat itu adalah semua laki-laki yang berumur 8 hari (ayat 12). Sunat itu sendiri adalah tanda perjanjian antara Allah dan Abraham (ay 11); dan semua mereka yang disunat akan tercakup di dalam perjanjian tersebut sehingga tidak dimusnahkan (Kej 17:14). Apakah perjanjian Allah dengan Abraham ini hanyalah terbatas kepada perihal menjadikan keturunannyan sebagai bangsa yang besar, lalu kemudian mewarisi Tanah Kanaan? Tidak ! Yang terpenting di dalam perjanjian ini adalah bahwa melalui Abraham akan lahir Seorang keturunan, yang melalui-Nya seluruh bangsa di muka bumi mendapat berkat (Gal 3:16 bdk Kej 12:7); Dialah Yesus Kristus Sang Mesias. Inilah bagian terpenting dari perjanjian Allah dengan Abraham, ketimbang hanya sekadar menjadikan bangsa Ibrani (Israel) besar dan menguasai Kanaan. Jadi pada intinya, di dalam perjanjian antara Allah dan Abraham terkandung suatu kebenaran yang sangat penting yakni siapa saja yang mewarisi iman Abraham – entah itu secara lahiriah ataupun rohaniah – yakni beriman kepada Yehovah yang kepada-Nya Abraham beriman, adalah orang-orang  yang akan mendapat berkat. Dan berkat itu bukan hanya berkat material; tetapi jauh lebih penting dari hal itu , yakni keselamatan jiwa. Inilah intinya dan tidak ada yang lebih penting daripada hal ini. Berkat yang indah di dalam Perjanjian Lama tersebut Tuhan ikat dengan perintah sunat.
         Di dalam Perjanjian Baru, perintah untuk membaptis adalah berkaitan dengan perintah Kristus, yang merupakan tanda yang kelihatan bagi mereka yang beriman kepada-Nya. Secara prinsip, perintah untuk membaptis di dalam Perjanjian Baru dengan perintah sunat di dalam Perjanjian Lama tidak berbeda, yakni untuk memisahkan/menguduskan suatu umat kepunyaan Tuhan untuk menjadi milik-Nya. Jadi, jika di dalam Perjanjian Lama Tuhan memerintahkan untuk menyunatkan Abraham dan seluruh keturunannya sebagai tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah tercakup ke dalam perjanjian dengan Allah, maka sama benarnya jika di dalam Perjanjian Baru Kristus memerintahkan untuk membaptis seluruh orang percaya beserta anak-anak mereka sebagai  tanda yang kelihatan bahwa mereka sudah tercakup di dalam perjanjian dengan Allah.
          Satu hal yang perlu ditambahkan bahwa di dalam Perjanjian Lama, Tuhan hanya memerintahkan untuk menyunat setiap laki-laki dan tidak pada wanita. Namun hal ini tidak berarti bahwa yang tercakup di dalam perjanjian antara Allah dengan Abraham tersebut hanyalah kaum laki-laki Israel saja. Karena di dalam konteks dunia Perjanjian Lama, jika laki-laki sebagai kepala wanita sudah disunat, maka secara otomatis wanita sudah terwakili di dalamnya. Dan ketika di dalam Perjanjian Baru kita melihat bukan hanya laki-laki saja yang dibaptis melainkan juga perempuan, maka kita melihat secara prinsip bahwa hal ini sama sekali tidak berubah.

2. Yesus Memerintahkan untuk Membawa Anak-anak kepada-Nya
         Ketika murid-murid memarahi orang-orang  yang membawa anak-anak mereka kepada Yesus, Dia berkata: Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka untuk datang kepada-Ku, ...”(Mat 19:14; Mrk 10:14). Perintah ini jelas bukanlah sebuah sakramen khusus karena reformed hanya menerima 2 sakramen yakni sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, tetapi coba kita memikirkannya secara lebih mendalam, bagaimana caranya kita membawa anak-anak kita kepada Kristus di zaman kita sekarang ini? Mungkin ada yang mendoakan anaknya dan menyerahkannya kepada Kristus secara khusus. Itu benar! Sebagian lagi mungkin memberitakan Injil kepadanya sejak kecil agar sedari awal anak tersebut dapat mengenal dan beriman kepada Kristus. Itu juga benar !
          Sebagian orang lain, dari kalangan Pentakosta dan Kharismatik dengan sengaja membawa anak-anak mereka ke dalam gereja untuk didoakan oleh pendeta agar diserahkan kepada Kristus. Mereka menyebut ini sebagai “penyerahan anak” dan dengan demikian memenuhi perintah Kristus agar anak-anak dibawa kepada-Nya; dan mereka mengklaim itu Alkitabiah. Dengan demikian mereka menggantikan baptisan anak di dalam tradisi Protestan dengan upacara “penyerahan anak”. Tetapi jelaslah bahwa upacara penyerahan anak ini tidak bersifat inagurasi atau semacam pentahbisan yang memiliki nilai sakramental. Dan oleh karenanya, upacara penyerahan anak seperti ini harusnya dapat dilakukan dimana saja dan tidak harus di gereja dan oleh pendeta.
            Harus diakui bahwa kalangan Protestan jarang menggunakan ayat-ayat di atas sebagai pembenaran atas baptisan anak. Namun Calvin sendiri mengatakan bahwa jika benar bahwa anak-anak harus dibawa kepada Kristus, mengapa mereka tidak boleh dibaptis?    Jika kita memikirkan lebih dalam, maka kita akan melihat relevansi antara perintah Kristus untuk membawa anak-anak kepada-Nya dengan pembaptisan anak-ank. Relevansinya adalah di dalam hal pelaksanaannya. Perhatikan bahwa pelaksanaan perintah Kristus untuk membawa anak-anak kepada-Nya dapat bersifat formal (inaguratif) maupun informal. Secara informal dalam artian bahwa orang tua, pendeta atau mereka yang memiliki kerohanian yang baik dapat mendoakan seorang anak atau bahkan seorang bayi di dalam kandungan dan menyerahkannya kepada Kristus. Bersifat formal berarti bahwa anak tersebut secara resmi dibawa ke gereja dan melalui upacara khusus secara inaguratif, dia diserahkan kepada Kristus. Tetapi oleh karena upacara penyerahan anak  seperti yang dilakukan oleh kalangan Pentakosta dan Kharismatik tidak pernah diperintahkan Kristus untuk menjadi sebuah upacara formal (bersifat inaguratif) di dalam gereja, maka penyerahan anak kepada Kristus ini – dalam sifat formalnya –  sudah tercakup di dalam baptisan anak. Artinya, setiap kita membawa anak-anak kita untuk dibaptis di gereja, maka baptisan di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus tersebut sudah melibatkan di dalamnya suatu pengertian bahwa anak tersebut sudah dibawa kepada Allah Tritunggal secara umum dan kepada Kristus secara khusus.

3. Sangat Mungkin Gereja di Zaman Para Rasul Melaksanakan Baptisan Anak
         Di dalam Kisah Para Rasul 16:31-33 dikatakan bahwa kepala penjara Filipi percaya kepada Tuhan dan ia beserta seisi rumahnya dibaptis. Walaupun di dalam ayat-ayat tersebut tidak secara eksplisit menyatakan pembaptisan anak, namun frase “...ia dan keluarganya memberi diri untuk dibaptis” (ay 33) dan juga frase “...engkau dan seisi rumahmu” (ay 31), menyatakan suatu kemungkinan bahwa ada anak-anaknya yang paling kecil atau cucu-cucunya atau juga ank-anak atau cucu-cucu dari budak-budaknya (sangat mungkin ia memiliki budak karena ia seorang pejabat) ikut dibaptis bersama-sama dengan dia. Hal yang sama juga mungkin terjadi pada saat Kornelius dan seisi rumahnya (Kis 10:2) dan seluruh orang-orang  yang dikumpulkan dirumahnya untuk mendengar Injil dari Petrus (ay 27) dibaptis setelah mendengar pemberitaan Injil tersebut (ay 48).
          Sebuah argumen yang harus kita ajukan untuk melawan mereka yang menentang pembaptisan bayi dan anak-anak adalah bahwa di dalam seluruh kitab Perjanjian Baru tidak ada satu bagianpun yang melarang pelaksaan baptisan bagi bayi dan anak-anak. Dengan demikian, ketika gereja-gereja Baptis, Pentakosta dan Kharismatik secara eksplisit melarang untuk membaptis anak-anak dan bayi, dan menjadikan itu sebagai sebuah norma di dalam gereja, mereka sudah melangkah terlalu jauh dengan melarang suatu hal yang tidak dilarang di dalam Alkitab. Tetapi bagi gereja-gereja Protestan yang mengadakan baptisan bagi bayi dan anak-anak, walaupun tidak ada perintah secara eksplisit di dalam Alkitab untuk membaptis bayi dan anak-anak, tetapi ada suatu perintah yang jelas yakni untuk membawa dan menjadikan semua bangsa murid Tuhan dan membaptis mereka. Dan jika kita mengacu kepada prinsip Perjanjian Lama, dimana Abraham yang beriman kepada Tuhan beserta seluruh keluarga dan keturunannya disunat, maka benar juga bahwa mereka yang mewarisi iman Abraham di dalam Perjanjian Baru, yakni yang percaya kepada Yesus Kristus harus dibaptis beserta seluruh keluarga mereka.


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR: Malang, 2015), 820-825.




Selasa, 04 Oktober 2016

Tujuan Hidup Manusia (Katekismus Singkat Westminster)

Pertanyaan 1: Apa tujuan utama hidup manusia?
Jawaban: Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah serta menikmati Dia selamanya.

A. Pendahuluan
        Untuk menjawab pertanyaan “apakah tujuan utama hidup manusia”? Kita harus memulainya dengan diskusi mengenai (1) “siapakah manusia?”, (2) “dari mana asal-usul manusia?” dan (3)  “siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia?” Urutan ini adalah urutan yang logis dalam menuntun pemahaman kita untuk menemukan jawaban dari pertanyaan “apakah tujuan hidup hidup manusia?” Menurut Alkitab, manusia adalah ciptaan Allah yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya; dan karena manusia adalah ciptaan Allah, maka yang menetapkan tujuan hidup manusia adalah Allah. Jika dilanjutkan –  apa tujuan hidup manusia yang telah Allah tetapkan bagi manusia? Jawabannya – menurut Alkitab – adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.

B. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia (menjawab pertanyaan asal-usul manusia).
        Untuk menggantikan kesaksian Alkitab tentang penciptaan manusia oleh Allah (Kej 1:26), para ilmuwan menggantikannya dengan teori evolusi yang mengajarkan bahwa manusia terbentuk atau berasal dari sel tunggal (atau bahkan dari senyawa protein) yang kemudian berkembang menjadi sel-sel yang kompleks dan akhirnya menjadi manusia. Namun teori ini sebenarnya memiliki beberapa kelemahan: (1) Teori evolusi tidak bisa menjelaskan mata rantai evolusi yang hilang (missing link) dalam makhluk hidup, misalnya jika manusia merupakan hasil evolusi dari monyet, manakah bentuk dari makhluk peralihannya? Memang Eugene Dubois mengklaim telah berhasil menemukan makhluk transisi tersebut, yakni kumpulan fosil yang sering disebut sebagai Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak), namun fosil yang ditemukan itu bukanlah fosil yang komplit, melainkan hanyalah potongan-potongannya saja. Kemudian dari penemuan itu mereka MEREKONSTRUKSI dan MENCIPTAKAN pithecanthropus erectus.  (2) Teori evolusi gagal menjelaskan asal mula aspek rasio dan moral di dalam diri manusia. Jika manusia adalah hasil evolusi dari monyet – sedangkan monyet jelas tidak memiliki aspek moral – dari mana aspek moral itu tiba-tiba muncul? Orang-orang ateis yang menganut pandangan ini mungkin akan menjawab “aspek moral pada manusia (modern) itu tidak sungguh-sungguh ada; Itu ilusi..!! Namun kita dapat dengan mudah mematahkannya. Coba masukkan mereka ke dalam kamar dan kunci selama 3 minggu, apakah mereka akan marah atau tidak? Jika mereka marah dan mengatakan bahwa kita telah berbuat jahat terhadap mereka, maka itu menunjukan bahwa mereka memiliki konsep moral (untuk menentukan mana hal yang jahat untuk tidak dilakukan dan mana yang baik untuk dilakukan). (3) Teori evolusi gagal menjelaskan fenomena spiritual yang terpancar dari dalam diri manusia. Semua manusia dari berbagai latarbelakang pasti memiliki sifat penyembahan. Dari mana hal itu berasal jika seandainya manusia hanyalah kumpulan dari sel-sel yang kompleks? Jelaslah bahwa manusia bukan hasil evolusi dari senyawa protein atau sel tunggal yang seiring waktu berubah menjadi sel-sel yang kompleks dan akhirnya membentuk manusia, karena realita  menunjukan bahwa hidup kita bukan hanya dibangun dari unsur materi saja (kumpulan sel yang kompleks), melainkan ada unsur rohani, yang tidak dimiliki oleh sel (Pkh 3:11). Unsur rohani inilah yang membuat manusia memiliki sifat penyembahan yang tidak mungkin hilang dari kehidupannya dan dari sejarah kemanusiaan itu sendiri sekalipun manusia modern mengklaim dirinya sudah berada di dalam fase yang matang untuk tidak lagi percaya kepada mitos-mitos penyembahan. Saya pribadi lebih mudah untuk mempercayai Kejadian 1:26 yang mengatakan bahwa manusia dicipta oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya daripada mempercayai teori-teori yang masih berupa hipotesis.

C. Manusia adalah makhuk yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah (menjawab pertanyaan siapakah manusia)
        Di atas sudah dijelaskan bahwa asal mula manusia tidak bisa dirunut berdasarkan spirit ateistik dengan teori evolusinya karena teori itu sendiri masih memiliki banyak cacat di dalam argumen-argumen dan bukti-bukti fisiknya. Manusia adalah produknya Tuhan, bukan produk evolusi. Sekarang kita akan membahas mengenai “siapakah manusia”. Alkitab mencatat bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai gambar dan rupa Allah? Hal ini dapat kita pahami dalam 2 pengertian, yakni manusia sebagai gambar Allah dalam pengertian sempit dan manusia sebagai gambar Allah dalam pengertian luas.
               a.   Dalam pengertian sempit
             Gambar Allah dalam pengertian sempit adalah berkenaan dengan penciptaan manusia di dalam (1) pengetahuan yang sejati, (2) kebenaran yang sejati dan (3) kekudusan yang sejati. Pengetahuan yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai nabi bagi ciptaan Allah yang lain; kekudusan yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai imam bagi ciptaan Allah yang lain; kebenaran yang sejati berkaitan dengan jabatan dan fungsinya sebagai raja bagi ciptaan Allah yang lain. Di dalam Taman Eden, Adam adalah nabi, imam dan raja. Sebagai nabi (wakil dan penyambung lidah Allah), ia harus memberikan penafsiran yang benar tentang Allah, manusia dan ciptaan Allah yang lainnya melalui wahyu umum. Hal ini penting karena semua ciptaan Allah harus dipimpin dan dikelola berdasarkan wahyu Allah. Adam harus bertindak seperti seorang nabi yang mengawasi tatanan ciptaan serta mengelola segala ciptaan Allah yang lain sesuai dengan maksud Allah. Sebagai imam (wakil dari manusia untuk berkomunikasi dengan Allah), Adam harus membawa kepentingan seluruh ciptaan dan berdiri menjadi wakil mereka di hadapan Allah. Sebagai raja, Adam harus memerintah dan menguasai seluruh alam semesta ini dengan standar kebenaran dan keadilan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Adam diciptakan dalam pengetahuan, kekudusan dan kebenaran yang sejati. Namun karena dosa, ketiga hal tersebut sudah hilang (Roma 3:23). Manusia kehilangan fungsinya sebagai nabi, imam dan raja. Manusia kehilangan fungsinya sebagai nabi terjadi pertama kali saat ia tidak bisa menampatkan dirinya sesuai dengan ordo yang sudah Allah tetapkan. Ordo idealnya adalah: Allah mengatasi manusia dan manusia mengatasi semua ciptaan yang lain. Namun karena dosa, ordo ini terbalik. Ciptaan lain mengatasi manusia dan manusia mengatasi Allah. Saat manusia lebih memilih menuruti perkataan ular, maka saat itu terjadi pembalikan ordo. Itulah contoh nyata dari hilangnya fungsi kenabian manusia. Manusia kehilangan fungsinya sebagai imam juga pertama kali terjadi di Taman Eden, yakni ketika manusia gagal membawa dan mewakili ciptaan lain untuk menyembah Allah. Bukannya membawa ciptaan lain untuk tunduk kepada Allah, manusia justru tunduk terhadap salah satu ciptaan, yakni ular. Fungsi raja dalam diri manusia juga hilang ketika manusia gagal memerintah dan menguasai ciptaan lain. Bukannya menguasai ciptaan-ciptaan yang lain , justru manusia dikuasai oleh salah satu dari ciptaan lain tersebut, yakni ular.

       b. Dalam pengertian luas
             Gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas berarti bahwa manusia diciptakan sebagai (1) makhluk yang berpribadi (personal being). Artinya, karena Allah adalah Pribadi, maka manusia juga bersifat pribadi. Kepribadian manusia mencakup adanya emosi, kehendak, pikiran dan kesadaran akan diri. Karena memiliki sifat-sifat  yang seperti ini, maka manusia memiliki begitu banyak potensi di dalam dirinya – yang mirip secara analogis dengan apa yang ada pada diri Allah – misalnya potensi untuk berpikir, mencipta (berkreasi), potensi untuk menikmati hasil ciptaan dan juga potensi untuk menikmati hal-hal yang agung, mulia dan indah. Selain memiliki sifat pribadi, manusia juga memiliki (2) nilai moral yang dengannya ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Selain bersifat pribadi dan  memiliki nilai moral – yang juga ada pada diri Allah – manusia juga memiliki (3) unsur rohani; hal ini jelas karena Allah adalah Roh (Yoh 4:24). Karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang adalah Roh, maka disamping memiliki unsur materi, manusia juga memiliki unsur rohani; dan unsur rohani inilah yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya ciptaan –  disamping malaikat – yang bisa mengarahkan jiwanya kepada Penciptanya, serta memuji dan menyembah Dia. Tidak ada ciptaan lain –  selain manusia dan malaikat – yang dapat menengadah ke langit dan berdoa “Tuhan tolong saya” saat mereka kelaparan atau saat berada dalam kondisi tertekan; atau mengatakan “terimakasih Tuhan untuk berkat-Mu” saat mereka mendapat makanan dan luput dari marabahaya. Gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas ini tidak hilang ketika manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi telah mengalami kerusakan. Semua instrumen yang membentuk jiwa, yakni sifat pribadi, unsur rohani dan nilai moral tersebut mengalami kerusakan yang menyebabkan dosa-dosa aktual yang dilakukan oleh tubuh (karena tubuh adalah alat ekspresi bagi jiwa).

D. Allah yang menetapkan tujuan hidup manusia (menjawab pertanyaan siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia).
        Di dalam kehidupan ini berlaku hukum universal bahwa “yang mencipta selalu menetapkan tujuan dari sesuatu yang ia cipta”. Misalnya, ketika Martin Cooper dan timnya hendak membuat handphone, pasti mereka terlebih dahulu menetapkan tujuan dari handphone tersebut. Jadi, tujuan dari handphone ditetapkan oleh orang-orang yang membuatnya (Cooper dan timnya). Analogi seperti ini dapat kita terapkan untuk menjawab pertanyaan “siapa yang menetapkan tujuan hidup manusia?” Jika di awal kita sudah sepakat bahwa manusia adalah produknya Tuhan dan dicipta menurut rupa Tuhan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhanlah yang menetapkan tujuan hidup manusia. Sebagaimana handphone tidak bisa menetapkan tujuan eksistensinya sendiri, demikian jugalah manusia tidak boleh menetapkan tujuan hidupnya sendiri. Manusia harus bertanya kepada Tuhan mengenai tujuan hidupnya. Hanya Tuhan yang tahu tujuan utama hidup manusia karena Tuhanlah yang menetapkannya.

E. Semua yang Allah ciptakan – termasuk manusia – bertujuan untuk memuliakan diri-Nya sendiri (menjawab pertanyaan “apa tujuan hidup manusia?”).
         Sejauh ini kita sudah mendapatkan 3 poin penting berkaitan dengan manusia: (1) Manusia eksis karena dicipta oleh Allah (2) Manusia adalah makhluk yang dicipta menurut gambar rupa Allah (3) Tujuan hidup manusia ditetapkan oleh Allah. Sekarang kita akan lanjut ke pertanyaan ke empat, yakni “apa tujuan hidup manusia?” Alkitab mengatakan bahwa (4) tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.
         Ini adalah kondisi default manusia sebelum terkena virus yang namanya dosa. Sebelum jatuh ke dalam dosa, kehidupan manusia selalu berorientasi kepada Allah. Allahlah yang menjadi pusat hidupnya. Sebelum gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia itu rusak, pemikiran dan kerinduan manusia adalah semata-mata untuk melayani Allah. Segenap aspek kehidupan dari manusia yang belum jatuh ke dalam dosa selalu diarahkan untuk memuliakan nama Allah. Adam bekerja (menggarap Taman Eden) untuk kemuliaan Allah, Adam berhubungan badan dengan Hawa untuk kemuliaan Allah dan semua aktivitas lain yang Adam dan Hawa lakukan adalah untuk memuliakan Allah. Namun ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kondisi tersebut segera berubah dengan drastis. Bukannya merenungkan keagungan serta kemuliaan Allah, mereka justru mulai memikirkan tentang diri mereka sendiri. Mereka membayangkan betapa nikmatnya bisa menjadi allah bagi diri mereka sendiri; dan betapa nikmatnya jika hidup berpusat pada diri mereka sendiri. Jadi, perbedaan hidup antara sebelum kejatuhan dan setelah kejatuhan adalah: hidup manusia sebelum jatuh ke dalam dosa adalah hidup yang berpola Theosentris (berpusat pada Allah) sedangkan hidup manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa adalah hidup yang berpola Anthroposentris (berpusat pada manusia). Kita bisa melihat pola anthroposentris ini dengan sangat jelas di dalam keseharian kita. Contoh yang sangat sederhana: Perhatikan status-status yang ditulis di FB, bukankah semuanya sangat anthroposentris? Waktu makan di restoran mewah, langsung upload foto dan diberi keterangan “lagi makan nih......” Tujuannya apa upload foto seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah agar semua manusia tahu (setidaknya semua manusia di dunia maya) bahwa dia pernah mampir dan makan di restoran mahal tersebut. Contoh lain: Saat kita malas belajar, biasanya guru-guru atau orang tua kita akan mengatakan “jangan malas belajar ya nak, karena kalau kamu malas belajar nanti KAMU SENDIRI YANG RUGI”. Terkadang kita berpikir terlalu dangkal. Saat malas belajar, kita pikir itu hanya akan merugikan diri kita sendiri. Pernahkah kita berpikir bahwa tindakan malas belajar itu adalah tindakan yang tidak memuliakan Allah dalam kehidupan studi? Contoh lain: Seorang pengkhotbah juga bisa berpola hidup anthroposentris saat ia berkhotbah dengan tujuan untuk menaikkan popularitas pribadinya. Seharusnya, saat berkhotbah, ia membawa jemaat untuk mengagumi Allah, bukan untuk menunjukkan kefasihan retorik dan kecerdasan intelektual yang ia miliki sehingga jemaat mengaguminya. Contoh lain: Saat kita (orang-orang Kristen) terjun ke dalam dunia studi dan berlomba meraih prestasi hanya untuk unjuk gigi bahwa kita adalah orang-orang hebat. Seharusnya, keberhasilan kita di dalam dunia studi itu adalah sebagai alat untuk memuliakan Allah (karena kecerdasan intelektual berasal dari Allah), bukan malah untuk memuliakan diri sendiri. Selain itu, kita juga dapat melihat bahwa karena berpola hidup anthroposentris, saat ini manusia mengeksploitasi alam secara gila-gilaan, bukan lagi didasarkan pada asas manfaat melainkan asas komersil. Perusahaan mengeksploitasi alam secara besar-besaran hanya untuk keuntungan dari segelintir orang. Karena dosa, orientasi manusia dalam hal studi, kerja, dll hanya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri, bukan Allah!
          Hanya melalui penebusan Kristus, manusia-manusia berdosa yang dulunya berpola hidup anthroposentris itu akan kembali memiliki kemampuan berpola hidup Theosentris. Penebusan Kristus membawa manusia kepada kondisi defaultnya. Sebelum kejatuhan, manusia berada dalam kondisi posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa). Ketika mengalami kejatuhan, manusia diikat dan ditawan oleh dosa sehingga berada dalam kondisi non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa). Ketika ditebus oleh Kristus, manusia akan dikembalikan ke kondisi posse peccare, posse non peccare (bisa berdosa, bisa tidak berdosa); kondisi ini adalah kondisi kita sekarang. Selama hidup di dalam dunia, kita akan mengalami pengudusan kondisi secara progresif, sampai nanti ketika kita masuk ke dalam langit dan bumi yang baru dalam kondisi non posse peccare (tidak bisa berdosa).
        Manusia – selain malaikat – adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberikan konsep moral untuk memilih secara bebas antara memuliakan Allah atau tidak. Manusia sebagai agen moral dituntut untuk memuliakan Allah berdasarkan keputusan moralnya sendiri. Hal ini berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain yang secara pasti memuliakan Allah (Mzm 19:1). Mengenai pola hidup Theosentris, kita bisa mengambil contoh di dalam Alkitab, yakni Pribadi Yesus Kristus. Dalam Yohanes 17:4 Ia mengatakan “Aku telah mempermuliakan Engkau (Allah Bapa) di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya”. Disini kita melihat bahwa Yesus Kristus memuliakan Allah bukan karena disetting seperti robot, melainkan karena Ia menginginkannya; Ia menginginkannya sebagai seorang agen moral.
        Keinginan untuk memuliakan Allah seperti yang Kristus lakukan ini tidak serta merta ada di dalam hati setiap diri manusia berdosa karena pada dasarnya manusia tidak memiliki keinginan itu. Ketidakinginan untuk memuliakan Allah itu sendiri adalah akibat dari dosa yang menawan manusia (non posse non peccare). Untuk itu, perlu karya keselamatan dari Kristus agar orang-orang yang ditawan oleh dosa tersebut dibebaskan dari belenggu dosa sehingga bisa menginginkan dan dapat memuliakan Allah (posse peccare, posse non peccare). Setelah diselamatkan oleh Kristus, kita memiliki potensi dan kita memang dipanggil untuk memuliakan Allah dalam segala aspek dan segala hal yang kita lakukan (1Kor 10:31). Penebusan Kristus akan membawa manusia berdosa kepada kondisi defaultnya, yaitu hidup yang berpusat pada Allah.
Perlu segera ditambahkan bahwa sekalipun manusia yang belum diselamatkan tidak mampu dan tidak ingin memuliakan Allah, mereka tetap akan memuliakan Allah namun dengan cara negatif. Maksudnya? Maksudnya, Tuhan akan memakai pemberontakan mereka untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya sendiri. Misalnya ketika Firaun mengeraskan hatinya dan tidak mau memuliakan Allah secara positif, maka Allah memakai pemberontakan Firaun tersebut untuk menunjukan kedahsyatan kuasa-Nya melalui tulah-tulah yang Ia jatuhkan atas Mesir. Hal ini sejalan dengan apa yang Paulus sebutkan dalam Roma 9:21-23 “apakah tukang periuk (Tuhan) tidak mempunyai hak atas tanah liatnya (manusia), untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia (memuliakan Allah secara positif) dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa (memuliakan Allah secara negatif)? Jadi kalau untuk menunjukan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan (memuliakan Allah secara negatif) – justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan untuk kemuliaan-Nya (memuliakan Allah secara positif)”. Allah bisa memakai hal-hal yang jahat (misalnya pemberontakan manusia) untuk mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya sendiri; seperti pepatah yang mengatakan “Allah bisa memakai kayu bengkok untuk memasukan bola golf ke dalam lubangnya.” Pertanyaan refleksinya adalah “kita mau dipakai seperti apa?” atau “kita mau memuliakan Allah dengan cara yang mana? Yang positif atau negatif?”. Memuliakan Allah secara positif akan mendatangkan sukacita dan dengan jalan itulah kita menikmati Tuhan; sedangkan memuliakan Allah secara negatif akan membawa kita kepada kebinasaan kekal karena menanggung murka Allah selama-lamanya. Sebagai orang-orang yang sudah ditebus oleh Kristus, kita harusnya memuliakan Allah dengan cara yang positif; seperti yang Kristus lakukan dan seperti yang Paulus perintahkan (1Kor 10:31).
          Tadi disebutkan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Bagaimana caranya menikmati Allah? Menikmati Allah tidak boleh lepas dari konteks memuliakan Allah. Di dalam aktivitas memuliakan Allah itulah kita akan menikmati Dia. Contoh sederhana: Kita dapat menikmati belas kasih Allah ketika kita mengasihi orang lain. Hal ini adalah hal yang logis karena kita tidak mungkin tahu apa itu kasih jika kita sendiri tidak pernah mengasihi. Untuk lebih mudah memahaminya, kita pakai ilustrasi ini: Kereta api akan lancar jaya jika ia berjalan di atas relnya. Sebaliknya, ia akan mengalami bahaya (dan itu pasti tidak nikmat) jika ia berjalan diluar jalurnya. Demikian jugalah kaitan antara memuliakan Allah dan menikmati Allah. Di dalam aktivitas yang memuliakan Allah, disitulah kita menikmati Allah. Berjalan tepat di atas rel kereta, itulah kunci agar kereta itu menikmati perjalannya; sebaliknya, berjalan di luar rel kereta bukan saja tidak nikmat, tetapi juga membunuh diri. Saat Kita berkorban bagi orang lain, saat itulah kita menikmati pengorbanan Tuhan atas umat-Nya. Saat kita berbuat baik, saat itulah kita menikmati kebaikan Tuhan. Saat kita belajar dengan tekun untuk kemuliaan Allah, saat itulah kita akan menikmati hidup yang tidak membuang-buang waktu.
         Jadi, manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa tidak dapat memuliakan Allah secara positif karena ada dosa yang membelenggunya. Manusia tersebut harus dibebaskan dari belenggu dosa terlebih dahulu supaya memiliki potensi untuk memuliakan Allah dan kemudian dididik untuk hidup memuliakan Allah. Untuk mendidik orang-orang yang sudah ditebus-Nya, Allah telah memberikan buku panduan untuk hidup memuliakan diri-Nya, yakni Alkitab. Mengenai Alkitab akan kita bahas dalam pertemuan berikutnya.


Oka Ferich

Rabu, 28 September 2016

Baptisan: Percik atau Selam?

Baptisan: Selam atau Percik?

Kata “Baptis” berasal dari kata Yunani bapto dan baptizo. Arti klasik dari kata bapto dan baptizo adalah mencelup dalam air, menenggelamkan di dalam air, mencat atau mewarnai di dalam sebuah cairan.[1]  Memperhatikan beberapa arti di atas, kelihatannya dukungan untuk baptis selam dari pengertian kata baptis itu sendiri mendapatkan landasannya. Tetapi jika dilihat dari konsistensi Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, konsistensinya secara teologis dan cara membaptis yang dipraktikkan oleh Yohanes Pembaptis dan para Rasul, maka baptisan percik lebih Alkitabiah ketimbang baptis selam. Shedd berkata bahwa baptisan sakramental oleh imam Lewi selalu dilakukan dengan percik, tidak pernah dengan menyelamkan. Alasan-alasan yang dikemukakan Shedd adalah (1) Seluruh umat di Sinai dibaptis dengn percik (Kel 24:6-8; Ibr 9:19-20). (2) ketika orang-orang Lewi dikuduskan untuk bertugs dibaptis dengan percik (Bil 8:7). (3) Orang-orang kusta dan cacat ketika dipulihkan ke dalam jemaat dibaptis dengan percik (Im 14:4-7; 49-53; Bil 19:18-19; 31:19-23; Luk 5:14). (4) Ketika orang asing masuk menjadi orang Yahudi dibaptis dengan percik (Bil 31:12).[2]  Karena baptis percik atau tuang adalah cara yang bervariasi di dalam PL maka sangat mungkin Yohanes Pembaptis membaptis orang dengan percik.[3]  Dan tentu saja cara membaptis dengan percik atau tuang sangat mungkin dilakukan saat Pentakosta (Kis 2:41), saat membaptis sida-sida dari Ethiopia (Kis 8:36) karena perjalanan dari Yerusalem ke Gaza adalahb padang gurun (Kis 8:26)), saat membaptis Kornelius dan seisi rumahnya (Kis 10:2). Frase “dan seisi rumahnya” dalam ayat tersebut mengimplikasikan bahwa baptisan dijalankan di rumah, ketika dikatakan “bolehkah orang mencegah untuk muembaptis orang-orang ini dengan air...?” (Kis 10:47).
Perlu ditambahkan bahwa pengurapan bagi nabi (1Raj 19:16), imam (Kel 29:7) dan raja (1Sam 10:1; 16:13) di dalam Perjanjian Lama selalu dengan cara menuangkan minyak dari atas yang melambangkan bahwa penetapan, perintah, restu dan berkat untuk melakukan tugas-tugas jabatan tersebut adalah berasal dari Allah. dan jika hal ini kita kaitkan dengan cara percik atau tuang di dalam baptisan air, maka prinsip yang sama dapat diterapkan, yakni bahwa walaupun yang melayankan sakramen baptisan air adalah pendeta, namun penetapan, perintah, restu dan berkat dalam pelaksanaan baptisan air tersebut berasal dari Allah. dengan demikian baptisan percik atau tuang lebih dapat diterima secara teologis ketimbang baptisan selam. Mengapa? Karena praktik seperti ini tidak dapat dilacak asal mulanya di dalam Perjanjian Lama. Seseorang yang melangkahkan kakinya untuk menginjak air, lalu masuk ke dalamnya dan kemudian keluar lagi; apa makna teologis di balik cara membaptis seperti ini?

Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR: Malang, 2015), 819-820.



[1] William G.T. Shedd, Dogmatic Theology, (Phillipsburg, New Jersey: P&R, 2003), 821.
[2] Ibid., 819
[3] Ibid.

Jumat, 23 September 2016

Keunikan Teologi Reformed

KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED

              Sebenarnya banyak pokok yang merupakan keunikan dari teologi reformed, namun dibawah hanya akan dibatasi dalam beberapa pokok saja:

1.       Kedaulatan dan Kemuliaan Allah

          Kedaulatan Allah dan kemuliaan Allah adalah 2 kata yang sangat penting dalam teologi reformed. Karena Allah adalah Allah yang berdaulat, maka segala sesuatu ada karena Dia yang menghendakinya. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Dia. Dosa dan kejahatan dari makhluk bermoralnya pun ada di dalam ketetapan Allah yang bersifat mengizinkan, walaupun menurut natur-Nya yang suci Allah tidak pernah menghendaki hal itu terjadi. Tetapi oleh kebijaksanaan-Nya yang kekal, Allah memilih untuk mengizinkan hal yang tidak dikehendaki-Nya tersebut untuk suatu tujuan yang mulia bagi diri-Nya sendiri. Kedaulatan Allah juga bersangkut paut dengan kontrol-Nya atas segala sesuatu. Tidak ada satu hal pun yang lepas dari kontrol-Nya. Jika Allah  berdaulat mutlak atas segala sesuatu, maka tujuan utama dari segala sesuatu yang ada hanyalah untuk diri-Nya sendiri. Itu sebabnya di dalam pertanyaan pertama Katekismus Singkat Westminster dikatakan “apakah tujuan utama hidup manusia?” Jawabannya adalah “tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”.

2.       Wahyu umum dan wahyu khusus

            Wahyu umum adalah wahyu Allah di dalam alam ciptaan dan manusia. Wahyu umum meliputi kesadaran akan Allah (sense of Deity), rasio manusia (Rm 1:10-20), hati nurani (Rm 2:14-15) dan alam ciptaan diluar diri manusia (Mzm 19:2-5; Rm 1:20). Sedangkan wahyu khusus adalah inkarnasi Kristus dan Alkitab. Karena teologi reformed percaya bahwa segala kebenaran Allah adalah kebenaran Allah , maka teologi reformed percaya bahwa segala kebenaran Tuhan dalam wilayah alam semesta secara umum adalah kebenaran Tuhan. Kebenaran yang ditemukan dalam bidang fisika, matematika, ekonomi, filsafat dan sebagainya sejauh kebenaran-kebenaran tersebut adalah kebenaran sejati, merupakan kebenaran Tuhan. Itu sebabnya orang-orang reformed memiliki semangat yang tidak anti terhadap filsafat  dan ilmu pengetahuan. Seluruh pengetahuan, hikmat dan ilmu yang ada di dalam dunia ini, selama itu adalah pengungkapan wahyu Tuhan secara umum di dalam alam, harus diterima, dipelajari dan dikembalikan untuk kemuliaan Allah. Prinsip yang harus dipegang saat mengungkapkan wahyu umum Allah adalah bahwa semua bidang tersebut harus tunduk di bawah Alkitab; artinya harus diuji dan dihakimi oleh Alkitab.

3.       Anugerah umum dan anugerah khusus

            Anugerah umum adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada semua manusia baik orang percaya maupun orang yang tidak percaya. Yang termasuk anugerah umum misalnya matahari, hujan, kesehatan, kecerdasan, bakat, kekayaan, keindahan alam, seni, makanan, kebenaran-kebenaran umum dalam filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Sedangkan anugerah khusus adalah anugerah keselamatan atau anugerah penebusan Yesus Kristus bagi orang berdosa. Anugerah ini hanya dimiliki dan dinikmati oleh orang-orang percaya.  Pembedaan kedua aspek anugerah ini sangat penting oleh karena fakta mengatakan bahwa banyak orang non Kristen diberi kepintaran, kekayaan, kesehatan dan kesuksesan oleh Tuhan ketimbang orang Kristen sendiri. Sebagai orang Kristen kita tidak harus mendapatkan anugerah umum lebih banyak, dan walaupun demikian kita harus merasa puas dengan keadaan kita. Bukankah kita sudah menerima anugerah khusus, yakni keselamatan dari Tuhan, yang nilainya melampaui segala sesuatu yang ada di dunia ini? Gerakan Kharismatik sekarang sangat mempropagandakan bahwa orang-orang percaya harus sehat, sukses dan kaya. Saya percaya bahwa hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran mereka bahwa anugerah khusus jauh lebih berharga daripada anugerah umum. Alkitab berkata bahwa tidak ada gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia jika ia kehilangan nyawanya. Kita harus bersyukur dan bersukacita atas melimpahnya anugerah umum yang Tuhan berikan kepada kita. Kita harus mengakui bahwa kita membutuhkan air, matahari, oksigen, kecerdasan, uang, seni, filsafat, pengetahuan dan sebagainya. Untuk itu kita harus sekali lagi bersyukur kepada Tuhan yang menganugerahkan hal-hal tersebut kepada kita. Tetapi seandainya kita kurang mendapatkan anugerah umum, maka ucapan syukur kita tidak boleh berkurang, karena kita memiliki sesuatu yang lebih berharga yaitu anugerah keselamatan dan hak istimewa untuk bersekutu dengan Bapa di sorga.            
Keuntungan orang percaya ketika mengerti doktrin ini dengan benar adalah bahwa mereka bisa dengan bebas menikmati hal-hal yang baik dan indah di dalam dunia ini. Kita bisa menikmati keindahan alam, pidato, puisi, novel, musik, film, makanan dan sebagainya, selama semuanya itu tidak melawan kebenaran dan mengandung dosa. Kesalehan kita seharusnya tidak seperti kelompok Fundamentalis dan Injili tertentu yang anti dengan segala macam yang baik dan indah di dalam dunia ini bahkan menganggap semua itu sekular dan tidak suci. Kita seharusnya tidak melupakan bahwa dunia dengan segala keindahannya ini diciptakan Tuhan. Semua yang baik dan indah di dalam dunia ini diberikan oleh Tuhan untuk kita nikmati dan melaluinya kita bersyukur dan memuliakan nama-Nya.
 Perlu untuk diperhatikan bahwa dosalah yang merusak segala sesuatu yang indah di dalam dunia ini. Dengan fakta ini kita boleh menikmati apa saja yang indah dan mulia dalam dunia ciptaan Tuhan ini selama hal itu tidak melawan firman Allah dan tidak mengandung dosa. Calvin mengatakan bahwa Tuhan menciptakan makanan bukan hanya untuk kebutuhan kita, tetapi juga untuk kenikmatan dan kesenangan kita.[1]  Calvin adalah orang yang sangat disiplin dan  tidak sembarangan membuang-buang waktu dengan bersenang-senang. Namun kita melihat disini bahwa Calvin tidak anti dengan segala anugerah umum Tuhan di dalam dunia ini.            
Namun kita harus berhati-hati agar hidup kita tidak diikat oleh anugerah umum sehingga menjadikan kita buta terhadap Sang Pemberi anugerah dan juga membuat kita lupa untuk memikirkan dan mengutamakan perkara-perkara kekal dalam anugerah khusus. Walaupun kita menikmati segala hal yang baik dan indah dalam dunia ini sebagai anugerah Tuhan, namun kita haruslah tetap memegang prinsip bahwa melihat seseorang bertobat dan menerima Kristus jauh lebih indah dan mulia daripada kebaikan dan keindahan anugerah umum.  

4.       Mandat budaya

Keunikan lain lagi dari teologi reformed adalah pengajarannya tentang mandat budaya. Mandat budaya adalah melaksanakan perintah Tuhan di dalam Kejadian 1:28 dan 2:15, dimana manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk memenuhi, menaklukan dan menguasai seluruh bumi dan isinya serta memeliharanya. Perintah ini tetap harus dijalankan walaupun dunia ini sudah jatuh ke dalam dosa. Dan oleh karena kejatuhan, pelaksanaan dari perintah tersebut menjadi semakin kompleks, yakni ketika menjalankan mandat budaya, kita tidak hanya berurusan dengan alam dan isinya saja, tetapi juga berurusan dengan manusia-manusia berdosa yang eksis di dalamnya. Karena itu, mandat budaya setelah kejatuhan bukan hanya sekadar memenuhi, menaklukan dan memelihara bumi beserta isinya, tetapi juga bagaimana orang-orang percaya bergerak untuk mempengaruhi orang-orang berdosa agar di segala bidang dimana orang Kristen bekerja, pengaruh firman Tuhan dapat dirasakan dan mempengaruhi budaya manusia yang berdosa sehingga tidak bertambah rusak, melainkan menjadi lebih baik.    


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR: Malang, 2015), 93-97.                   

[1] John Calvin, Institutes oh the Christian Religion, Book III. X.2, trans. Henry Baveridge (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1997),32.


Prinsip-prinsip Penting dalam Teologi dan semangat Reformed

Prinsip-prinsip Penting dalam Teologi dan Semangat Reformed
\


 Kesetiaan yang tinggi kepada Alkitab


Istilah back to bible tidak hanya menjadi sekadar semboyan ataupun diselewengkan dengan hanya mengacu atau menekankan ajaran-ajaran tertentu di dalam Alkitab, seperti yang terjadi di dalam kalangan Pentakosta dan Kharismatik. Tetapi makna dari istilah back to bible adalah sungguh-sungguh kembali kepada keseluruhan ajaran Alkitab dari Kejadian – Wahyu. Oleh sebab itu, ajaran yang Alkitabian haruslah merupakan sebuah konsep yang menyeluruh dan utuh. Perhatikan 3 contoh berikut: (1) Konsep hewan yang dibunuh Tuhan di Taman Eden untuk menutupi ketelajangan Adam dan Hawa dan konsep mengenai korban-korban dalam uapcara agama Israel adalah simbol bagi Kristus yang mati untuk kita. (2) Konsep Adam pertama yang tidak taat, yang menyebabkan seluruh umat manusia yang diwakilinya menjadi berdosa dengan konsep Adam yang kedua – yakni Kristus – yang melalui ketaatan-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, semua umat pilihan Allah diselamatkan. (3) Konsep sunat dalam zaman Abraham dan keturunannya sebagai tanda yang kelihatan dari orang-orang yang terhisab didalam perjanjian antara Allah dan Abrahaham dengan konsep baptisan air Perjanjian Baru, dimana hal itu adalah lambang baptisan Roh yang tidak kelihatan, yang dilakukan oleh Kristus kepada Gereja-Nya. jadi reformed melihat bahwa seluruh Alkitab (PL dan PB) memiliki kaitan yang sangat erat, tidak terputus, dan mengalami jatuh-bangun secara bersama-sama. 

    

Menakankan hal-hal yang bersifat esensial daripada hal-hal yang bersifat fenomenal


Teologi reformed selalu membicarakan hal-hal yang bersifat prinsp, karena segala sesuatu yang terlihat dari luar memiliki inti/prinsip dibaliknya. Jadi penekanannya lebih kepada metode, wawasan dunia, bahkan presaposisi. Peperangan reformed adalah peperangan prinsip melawan prinsip, metiode melawan metode, wawasan dunia melawan wawasan dunia serta presaposisi melawan presaposisi. Karena itu, Abraham Kuyper – ketika berhadapan dengan Modernisme – mengatakan bahwa jika pertempuran tersebut harus dilakukan dengan hormat dan dengan harapan untuk kemenangan, maka prinsip harus dihadapakan dengan prinsip dan sistem hidup harus dihadapakan dengan sistem hidup.[1]  Peperangan ini juga memiliki antitesis mutlak . apakah hubungan antara terang dan gelap, Kristus dengan Beelzebul, Injil dengan kekafiran?






  Melawan arus dunia berdosa

Teologi dan semabngat reformed tidak perlu mengikuti kecenderungan (trend) dunia berdosa ini, melainkan menciptakan trend reformed sendiri yang setia kepada firman Allah. Seperti Luther dan Calvin yang tidak mengikuti arus gereja yang korup saat itu, dimana mereka mengorganisir pengikut dan orang-orang percaya yang ingin kembali kepada ajaran Kristen yang sejati, demikianlah juga seharusnya teologi dan semangat reformed ini diajarkan dan dijalankan. Semangat seperti inilah yang menjadi rahasia, mengapa golongan-golongan atau gereja-gereja tertentu yang memegang tradisi reformed dengan kukuh tidak dapat dipengaruhi ketika Liberalisme dan bidat-bidat menyapu gereja.











[1] Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism, (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2002), 11.

Teologi dan Semangat Reformed

Teologi dan Semangat Reformed

Ada salah pengertian mengenai istilah Reformed, yakni mensejajarkannya begitu saja dengan istilah Reformasi yang dimulai oleh Martin Luther. Ini adalah sebuah salah kaprah. Memang benar bahwa istilah Reformasi dan Reformed mempunyai kaitan yang sangat erat. Reformasi adalah istilah yang menunjuk kepada reformasi abad ke-16 secara keseluruhan yang dimulai oleh Martin Luther (1483-1546). Titik awalnya adalah penempelan 95 tesis Luther pada tembok Gereja Wittenberg di Jerman, tanggal 31 Oktober 1517, untuk melawan ajaran Gereja Roma. Dari Jerman kemudian reformasi meluas ke mana-mana, dan muncullah tokoh-tokoh seperti Zwingli (1484-1531) dan Bullinger (1504-1575) di Zὓrich (Swiss), John Knox (1514-1572) di Skotlandia, dan sebagainya.
Dalam perkembangan reformasi yang kemudian, pengikut-pengikut Luther, menamakan diri sebagai Lutheran, mengacu kepada Luther dan ajarannya. Istilah ini dipakai untuk membedakan diri mereka dan sayap reformasi yang lain. Pengikut Calvin di Jenewa, yang juga merupakan sayap reformasi tersendiri, menamakan diri Calvinis (lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka disebut Calvinis oleh mereka yang berbeda aliran). Oleh karena banyak kesesuaian antara ajaran Calvin dan Zwingli, maka kemudian Zwingli dan pengikut-pengikutnya juga dikenal sebagai Calvinis, bahkan sebagai Calvinis yang lebih awal. Bavinck bahkan berkata bahwa teologi Reformed bermula dari Zwingli.[1] Namun Bavinck juga berkata bahwa Zwingli hanya meletakkan garis keliling yang di dalamnya beragam corak di dalam gereja-gereja Reformed kemudian terbentang.[2]
Istilah Calvinis kemudian dipikir terlalu menonjolkan nama Calvin dan kurang netral, sehingga penerus-penerus Calvin seperti misalnya Theodorus Beza, lebih senang menggunakan istilah Reformed yang memiliki arti, “yang direformasikan.” Jadi, istilah Reformed tidak setara dengan istilah Reformasi, karena istilah itu lebih merupakan padanan kata bagi istilah Calvinis. Namun perlu untuk ditambahkan bahwa oleh karena Luther adalah yang memulai reformasi, dan bahwa dalam banyak pokok yang penting Luther dan Calvin sepakat, maka boleh dikatakan bahwa Luther juga bisa digolongkan seorang teolog Reformed sebagaimana yang terjadi pada Agustinus (354-430), walaupun istilah Calvinis yang seharusnya setara dengan istilah Reformed, tidak dapat disandingkan dengan nama Martin Luther.
Istilah Calvinis ini juga merupakan semacam nama ejekan bagi mereka yang terlampau setia kepada ajaran Calvin. Oleh karena hal ini, maka golongan Calvinis yang mengacu kepada ajaran Calvin dan juga kepada ajaran semua  tokoh reformasi yang lain, bahkan juga berakar pada ajaran pada ajaran Agustinus, asalkan ajarannya kembali ke Alkitab (back to bible) disebut sebagai golongan Reformed. Sedangkan golongan Calvinis murni yang mengikuti seluruh ajaran Calvin secara eksklusif disebut Calvinis.
Tatapi menurut hemat saya, pembedaan istilah tersebut di atas terlalu dipaksakan, karena seorang Calvinis sejati harus juga mengikuti bukan hanya ajaran Calvin, tetapi juga semangatnya untuk kembali kepada Alkitab. Jika demikian, maka semua ajaran yang berdasarkan pada Alkitab – sejak zaman gereja mula-mula sampai sekarang – bisa disebut sebagai Calvinis. Jadi, istilah Reformed dan Calvinis merupakan istilah yang setara di dalam pengertian dan penggunaannya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa memilih untuk menggunakan kata Reformed lebih bijaksana untuk menghindari diri kita dari menonjolkan atau meninggikan nama seseorang.
Ada satu istilah lain yang serumpun dengan istilah Calvinis dan Reformed yaitu Presbiterian dan Puritan. Istilah Presbiterian dipakai oleh gereja-gereja Reformed atau Calvinis, karena mengacu kepada tatanan gerejanya yang memakai sistim presbiterial (pemerintahan gereja yang dijalankan oleh presbiter/majelis) sesuai dengan ajaran Calvin. Adalah John Knox (pernah menjadi murid Calvin di Jenewa) dan orang Calvinis Skotlandia yang mempopulerkan istilah Presbiterian untuk pertama kali, dengan tujuan membedakan tata gereja mereka yang bersifat Calvinis (Presbiterial) terhadap gereja Inggris (Anglikan) yang tata gerejanya bersifat keuskupan).
Istilah Puritan (dari kata pure – Ingg., murni) adalah istilah yang mengacu kepada orang-orang Calvinis Inggris yang memiliki semangat yang tinggi untuk memurnikan ajaran dan kehidupan praktis orang-orang percaya yang didasarkan pada teologi Reformed. Dari tradisi Puritan inilah Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster dihasilkan. Namun tak dapat dihindari bahwa istilah Puritan kemudian memiliki konotasi negatif bagi segolongan orang-orang tertentu yang sesungguhnya tidak memahami apa itu tradisi Puritan yang sejati. Menurut pandangan mereka, golongan Puritan adalah mereka yang tidak suka menikmati segala hal yang baik dan indah di dunia ini, kikir, mirip ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi. Pandangan semacam ini tentu benar-benar keliru. Namun ada juga kritikan yang cukup baik seperti yang timbul dalam kalangan Reformed sendiri mengenai puritanisme di Amerika. Kritikan itu misalnya yang datang dari John Van Dyk yang mengatakan bahwa Puritanisme belum tentu adalah Calvinis. Sebagai contoh, pembelajaran Puritan sesungguhnya bersifat rasionalistik di dalam karakternya.[3]
John Calvin sebagai pendiri teologi Reformed (atau yang pertama kali memberikan corak yang paling lengkap dan sistematis mengenai iman Reformed), memulai reformasinya di Jenewa pada tahun 1535, dan pada tahun 1538 dipecat dari sana karena aturan Calvin yang dianggap terlalu ketat, tetapi dipanggil kembali tiga tahun kemudian. Calvin adalah seorang yang memiliki pikiran yang sangat sistematis. J. S. Whale berkata bahwa jika Luther segolongan dengan para raksasa intuisi religius seperti Paulus, Agustinus, Bernard dari Clairvaux, George Fox, maka Calvin sealiran dengan doktor-doktor dan pangeran –pangeran gereja seperti Tertulianus, Athanasius, Gregory the Great, Thomas Aquinas, Hooker dan Bellarmine.[4] Sesungguhnya, apa yang Aquinas lakukan bagi Katholikisme klasik dengan Summa, Calvin lakukan bagi Protestantisme klasik di dalam Institutio.[5]
Pada umur 26 tahun Calvin sudah menyelesaikan buku dogmatika Kristen yang berjudul “Pengajaran-Pengajaran Agama Kristen (Religionis Christianae Institutio atau Institutio Christianae Religionis – Latin, Institutes of the Christian Religion – Inggris).” Buku paling penting di dalam tradisi Reformed ini ditulis pada tahun 1535 dan terbit pertama kali tahun 1536, kemudian terbit lagi tahun 1539 dan terakhir 1559. Buku inilah yang menjadi patokan utama bagi buku-buku  teologi Reformed yang kemudian. Konsep-konsep penting di dalam teologi Reformed seperti wahyu umum dan wahyu khusus, anugerah umum dan anugerah khusus, providensi dan predestinasi, manusia sebagai tubuh dan jiwa, Kristus sebagai Nabi, Iman dan Raja, sudah dibicarakan di dalam Institutio. Konsep-konsep ini dikembangkan lagi oleh teolog-teolog Reformed yang kemudian. Setelah Calvin meninggal, gerakannya diteruskan oleh Theodorus Beza. Dari Jenewa, reformasi Calvin meluas ke Belanda, Inggris, Skotlandia dan pada akhirnya ke benua baru yakni Amerika. Itu sebabnya, selain Jenewa, teologi reformed mempunyai 3 tradisi utama yakni tradisi reformed Belanda, reformed Inggris dan Skotlandia serta reformed Amerika.
Tradisi reformed Belanda memiliki warisan-warisan seperti Pengakuan Iman Belanda (1561) yang ditulis di Belanda Selatan oleh seorang Pendeta Belanda bernama Guy de Bres (juga disebut Guido de Bray/Guy de Bray pada 1522-1567) dalam bahasa Prancis. Warisan lain adalah pasal-pasal Dordrecht (1618-1619) yang merupakan hasil konsili Gereja reformed Belanda (hadir juga utusan dari Gereja-gereja reformed Inggris dan daerah lain). Ajaran Dordrecht ini dirumuskan untuk melawan pandangan Arminianisme dalam doktrin keselamatan. Pasal-pasal ini biasa disingkat TULIP (Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irisistable grace dan Perseverance of the saints). Warisan terakhir dari reformed Belanda adalah Katekismus Heidelberg yang ditulis oleh Zacharias Ursinus (1534-1583) dan Kaspar Olevianus (1536-1587) dari Jerman Selatan, namun kemudian menjadi sangat populer di Belanda. Ketiga warisan ini diterima sebagai Tiga Pasal Keesaan oleh Gereja-gereja reformed Belanda. Tradisi reformed Belanda juga menghasilkan 2 raksasa reformed yakni Abraham Kuyper dan (1837-1920) dan Herman Bavinck (1854-1921), disampaing tokoh-tokoh penting seperti Hendra de Cock (1801-1842), reformator Belanda tahun 1834 dan Groen van Prinsterer (1801-1876). Teolog-teolog dan filsuf reformed Belanda yang juga patut untuk disebut adalah Watsius (1636-1708), Voetius (1589-1676), De Moor (1709-1780), Vitringa (1659-1722), Van Mastrick, Walaeus (1573-1639), Honig, Schilder (1890-1951), Dooyeweerd (1894-1977) dan Berkouwer (1903-1996).
Perlu diketahui bahwa Gereja-gereja Calvinis yang tercakup ke dalam Gereja arus utama di Indonesia merupakan hasil misi Gereja reformed Belanda, baik dari misi (zending) gereja Hervormd maupun Gereformeerd. Istilah arus utama saya pakai dengan catatan bahwa istilah ini sudah biasa dipakai untuk Gereja-gereja Protestan hasil misi Belanda seperti GKI, GPIB, GPI, GMIT, GMIM dan yang semacamnya, termasuk juga HKBP yang merupakan hasil misi Lutheran Jerman.
Tradisi reformed Inggris memiliki warisan Pengakuan Iman Westminster serta Katekismus, baik Katekismus besar dan kecil, yang dihasilkan oleh sidang Gereja reformed berbahasa Inggris tahun 1642-1647. Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster ini dijadikan standar bagi teologi kaum Puritan dan Presbiterian. Tradisi ini juga mewariskan apa yang biasa disebut sebagai etos kerja Puritan (reformed), dimana kaum Puritan dengan segala keunikannya yakni kesalehan hidup, kerja keras, hidup hemat serta keinginan yang kuat untuk memuliakan Allah di dalam segala bidang kehidupan diwariskan kepada kita sekarang ini. Tokoh-tokoh Puritan yang terkenal antara lain John Owen (1616-1683), Richard Bexter (1615-1691), John Howe (1530-1705), Thomas Ridgeley (1666-1734), John Bunyan (1628-1688) yakni seorang Puritan Baptis yang menulis Pilgrim Progress, juga termasuk Oliver Cromwell (1599-1658) yang pernah memberontak terhadap kerajaan Inggris dan memerintah tahun 1649-1658 dengan gelar The Lord Protector. Pada abad ke 18 Inggris melahirkan seorang pengkhotbah KKR Calvinis yang besar yang sezaman dengan Jonathan Edwards di Amerika yakni George Whitefield (1714-1771). Disamping tokoh-tokoh Puritan Inggris, di Skotlandia juga muncul tokoh-tokoh Presbiterian diantaranya adalah Thomas Boston (1676-1732), John Dick (1764-1833) dan Thomas Chalmers (1780-1791).
Tradisi reformed Amerika dimulai dari perpindahan orang-orang Calvinis dari Eropa ke benua tersebut. Seorang sejarawan Jerman bernama Ranke (1795-1886) mengatakan bahwa sekitar 600 ribu orang Puritan Inggris, 900 ribu orang Protestan Skotlandia dan 400 ribu orang campuran reformed Belanda dan Jerman, merupakan pendiri Amerika Utara. Di benua baru tersebut mereka berharap dapat beribadah dengan leluasa menurut ajaran reformasi tanpa ada hambatan dari pemerintahan. Hal ini terutama dirindukan oleh orang-orang Puritan Inggris yang ditindas oleh Gereja Anglikan di negara asal mereka.
Ada warna kebangunan rohani di tradisi reformed Amerika ini, yang dimulai oleh Jonathan Edwards (1703-1750). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa seluruh rangkaian kebangunan rohani yang terjadi di Amerika dari zaman Jonathan Edwards sampai kepada Billy Graham (1918-) dmulai dari seorang tokoh reformed walaupun penerus mereka tersebut pada akhirnya bukan orang-orang reformed. Pada zaman yang sama dengan Edwards, di Inggris bangkit juga tokoh kebangunan rohani reformed yang terkenal yaitu George Whitefield sebagaimana yang sudah disebutkan di atas.
Harus juga dibicarakan bahwa Princeton (old princeton) pada abad ke 19, dengan tokoh-tokoh seperti Archibald Alexander (1772-1851), Charles Hodge (1797-1878), A.A. Hodge (1823-1886), B.B. Warfield (1851-1921) dan Geerhardus Vos (1862-1949) ikut mewarnai percaturan teologi dan gerakan reformed di Amerika. Pada zaman itu, Princeton dikenal sebagai benteng yang paling tangguh bagi Calvinisme dan berperang melawan Modernisme dan Teologi Liberal dengan sangat gigih. Keunikan teologi Old Princeton ini adalah berkenaan dengan pembelaannya terhadap ketidakbersalahan Alkitab melawan Modernisme dan teologi Liberal. Namun belakangan Princeton malah setuju dengan Modernisme dan Liberalisme, sehingga seorang teolog yang bernama John Grescham Machen (1881-1937) merasa perlu keluar dari Princeton dan mendirikan seminari sendiri yakni Westminster Theological Seminary. Seminari ini kemudian dikenal sebagai penerus dari teologi Old Princeton dengan dasar teologi reformed yang sangat kokoh. Teolog seperti John Murray (1898-1975) dan apologet reformed Belanda-Amerika seperti Cornelius Van Til (1895-1987) merupakan profesor-profesor yang pernah belajar di seminari ini.
Di Amerika, orang-orang reformed Belanda juga memiliki Gereja sendiri yakni Dutch Reformed Church dan Christian Reformed Church serta memiliki sebuah seminari yakni Calvin Theological Seminary. Banyak teolog Belanda-Amerika yang terkenal seperti Geerhardus Vos, Louis Berkhof (1873-1957), William Hendriksen (1900-1982) dan Anthony Hoekema (1913-1988). Ketiga nama terakhir tersebut adalah profesor-profesor teologi di Calvin Seminary. Satu lagi seminary yang patut disebut di Amerika yakni Reformed Theological Seminary, dimana R.C. Sproul  (1939-) dan Ronald H. Nash (1936-2006) pernah mengajar. Teolog-teolog Calvinis Amerika lainnya yang harus disebut juga adalah Henry B. Smith (1815-1877), Roberth J. Breckinridge (1800-1871), William G.T. Shedd (1820-1894) dan R.L. Dabney (1820-1898).
Perlu untuk ditambahkan bahwa secara khusus di Asia, gereja-gereja yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Calvinis adalah gereja-gereja di Indonesia dan Korea Selatan. Untuk di Indonesia dapat dikatakan bahwa hampir seluruh organisasi gereja yang lama, yakni yang merupakan hasil misi gereja Belanda adalah Calvinis. Dan didalam beberpa puluh tahun terakhir ini muncul sebuah gerekan reformed yang disebut sebagai Gerakan Reformed Injili yang dipelopori oleh Stephen Tong (1940-). Beliau adalah pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia dan Sekolah teologi Reformed Injili Internasional. Apakah tradisi reformed Asia bangkit dari gerakan ini? Kelihatannya memang demikian, tetapi tidak bijaksana jika kita terlalu awal menyimpulkannya. Biarlah zaman berikutnya yang membuktikannya.
Perlu ditambahkan pula bahwa diluar Gereja Reformed dan Presbiterian, ada juga orang-orang Calvinis dari gereja Baptis Calvinis Inggris yang sangat terkenal seperti Charles Spurgeon (1834-1892). Karena keahliannya di dalam berkhotbah yang sangat memukau, Spurgeon dijuluki sebagai Prince of Preacher. Seorang teolog Baptis Reformed juga patut disebut yakni Augustus Hopkins Strong (1836-1921) yang menjabat sebagai presiden dan professor di Rochester Theological Seminary. Tak hanya dari kalangan Baptis, dari kalangan Gereja Anglikan juga ada yang dipengaruhi oleh tradisi reformed dan merupakan raksasa Injili seperti John Stott (1921-2011), bahkan secara khusus J.I Packer (1926-), profesor di Regent College ikut mengajarkan dan mempromosikan teologi reformed.

Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR, Malang 2015), 83-91.



















[1] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol 1 Prolegomena (Grand Rapids: Baker Book House, 2004), 177.
[2] Ibid, 178.
[3] John Van Dyk, “From Deformation of Refomation,” dalam Will all the King’s men …, Out of Concern for the Church Phase II (Toronto: Wedge Pub. Foundation, 1972), 84.
[4] J. S. Whale, The Protestant Tradition (London: Cambridge University Press, 1955), 121.
[5] Ibid.