Jumat, 23 September 2016

Teologi dan Semangat Reformed

Teologi dan Semangat Reformed

Ada salah pengertian mengenai istilah Reformed, yakni mensejajarkannya begitu saja dengan istilah Reformasi yang dimulai oleh Martin Luther. Ini adalah sebuah salah kaprah. Memang benar bahwa istilah Reformasi dan Reformed mempunyai kaitan yang sangat erat. Reformasi adalah istilah yang menunjuk kepada reformasi abad ke-16 secara keseluruhan yang dimulai oleh Martin Luther (1483-1546). Titik awalnya adalah penempelan 95 tesis Luther pada tembok Gereja Wittenberg di Jerman, tanggal 31 Oktober 1517, untuk melawan ajaran Gereja Roma. Dari Jerman kemudian reformasi meluas ke mana-mana, dan muncullah tokoh-tokoh seperti Zwingli (1484-1531) dan Bullinger (1504-1575) di Zὓrich (Swiss), John Knox (1514-1572) di Skotlandia, dan sebagainya.
Dalam perkembangan reformasi yang kemudian, pengikut-pengikut Luther, menamakan diri sebagai Lutheran, mengacu kepada Luther dan ajarannya. Istilah ini dipakai untuk membedakan diri mereka dan sayap reformasi yang lain. Pengikut Calvin di Jenewa, yang juga merupakan sayap reformasi tersendiri, menamakan diri Calvinis (lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka disebut Calvinis oleh mereka yang berbeda aliran). Oleh karena banyak kesesuaian antara ajaran Calvin dan Zwingli, maka kemudian Zwingli dan pengikut-pengikutnya juga dikenal sebagai Calvinis, bahkan sebagai Calvinis yang lebih awal. Bavinck bahkan berkata bahwa teologi Reformed bermula dari Zwingli.[1] Namun Bavinck juga berkata bahwa Zwingli hanya meletakkan garis keliling yang di dalamnya beragam corak di dalam gereja-gereja Reformed kemudian terbentang.[2]
Istilah Calvinis kemudian dipikir terlalu menonjolkan nama Calvin dan kurang netral, sehingga penerus-penerus Calvin seperti misalnya Theodorus Beza, lebih senang menggunakan istilah Reformed yang memiliki arti, “yang direformasikan.” Jadi, istilah Reformed tidak setara dengan istilah Reformasi, karena istilah itu lebih merupakan padanan kata bagi istilah Calvinis. Namun perlu untuk ditambahkan bahwa oleh karena Luther adalah yang memulai reformasi, dan bahwa dalam banyak pokok yang penting Luther dan Calvin sepakat, maka boleh dikatakan bahwa Luther juga bisa digolongkan seorang teolog Reformed sebagaimana yang terjadi pada Agustinus (354-430), walaupun istilah Calvinis yang seharusnya setara dengan istilah Reformed, tidak dapat disandingkan dengan nama Martin Luther.
Istilah Calvinis ini juga merupakan semacam nama ejekan bagi mereka yang terlampau setia kepada ajaran Calvin. Oleh karena hal ini, maka golongan Calvinis yang mengacu kepada ajaran Calvin dan juga kepada ajaran semua  tokoh reformasi yang lain, bahkan juga berakar pada ajaran pada ajaran Agustinus, asalkan ajarannya kembali ke Alkitab (back to bible) disebut sebagai golongan Reformed. Sedangkan golongan Calvinis murni yang mengikuti seluruh ajaran Calvin secara eksklusif disebut Calvinis.
Tatapi menurut hemat saya, pembedaan istilah tersebut di atas terlalu dipaksakan, karena seorang Calvinis sejati harus juga mengikuti bukan hanya ajaran Calvin, tetapi juga semangatnya untuk kembali kepada Alkitab. Jika demikian, maka semua ajaran yang berdasarkan pada Alkitab – sejak zaman gereja mula-mula sampai sekarang – bisa disebut sebagai Calvinis. Jadi, istilah Reformed dan Calvinis merupakan istilah yang setara di dalam pengertian dan penggunaannya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa memilih untuk menggunakan kata Reformed lebih bijaksana untuk menghindari diri kita dari menonjolkan atau meninggikan nama seseorang.
Ada satu istilah lain yang serumpun dengan istilah Calvinis dan Reformed yaitu Presbiterian dan Puritan. Istilah Presbiterian dipakai oleh gereja-gereja Reformed atau Calvinis, karena mengacu kepada tatanan gerejanya yang memakai sistim presbiterial (pemerintahan gereja yang dijalankan oleh presbiter/majelis) sesuai dengan ajaran Calvin. Adalah John Knox (pernah menjadi murid Calvin di Jenewa) dan orang Calvinis Skotlandia yang mempopulerkan istilah Presbiterian untuk pertama kali, dengan tujuan membedakan tata gereja mereka yang bersifat Calvinis (Presbiterial) terhadap gereja Inggris (Anglikan) yang tata gerejanya bersifat keuskupan).
Istilah Puritan (dari kata pure – Ingg., murni) adalah istilah yang mengacu kepada orang-orang Calvinis Inggris yang memiliki semangat yang tinggi untuk memurnikan ajaran dan kehidupan praktis orang-orang percaya yang didasarkan pada teologi Reformed. Dari tradisi Puritan inilah Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster dihasilkan. Namun tak dapat dihindari bahwa istilah Puritan kemudian memiliki konotasi negatif bagi segolongan orang-orang tertentu yang sesungguhnya tidak memahami apa itu tradisi Puritan yang sejati. Menurut pandangan mereka, golongan Puritan adalah mereka yang tidak suka menikmati segala hal yang baik dan indah di dunia ini, kikir, mirip ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi. Pandangan semacam ini tentu benar-benar keliru. Namun ada juga kritikan yang cukup baik seperti yang timbul dalam kalangan Reformed sendiri mengenai puritanisme di Amerika. Kritikan itu misalnya yang datang dari John Van Dyk yang mengatakan bahwa Puritanisme belum tentu adalah Calvinis. Sebagai contoh, pembelajaran Puritan sesungguhnya bersifat rasionalistik di dalam karakternya.[3]
John Calvin sebagai pendiri teologi Reformed (atau yang pertama kali memberikan corak yang paling lengkap dan sistematis mengenai iman Reformed), memulai reformasinya di Jenewa pada tahun 1535, dan pada tahun 1538 dipecat dari sana karena aturan Calvin yang dianggap terlalu ketat, tetapi dipanggil kembali tiga tahun kemudian. Calvin adalah seorang yang memiliki pikiran yang sangat sistematis. J. S. Whale berkata bahwa jika Luther segolongan dengan para raksasa intuisi religius seperti Paulus, Agustinus, Bernard dari Clairvaux, George Fox, maka Calvin sealiran dengan doktor-doktor dan pangeran –pangeran gereja seperti Tertulianus, Athanasius, Gregory the Great, Thomas Aquinas, Hooker dan Bellarmine.[4] Sesungguhnya, apa yang Aquinas lakukan bagi Katholikisme klasik dengan Summa, Calvin lakukan bagi Protestantisme klasik di dalam Institutio.[5]
Pada umur 26 tahun Calvin sudah menyelesaikan buku dogmatika Kristen yang berjudul “Pengajaran-Pengajaran Agama Kristen (Religionis Christianae Institutio atau Institutio Christianae Religionis – Latin, Institutes of the Christian Religion – Inggris).” Buku paling penting di dalam tradisi Reformed ini ditulis pada tahun 1535 dan terbit pertama kali tahun 1536, kemudian terbit lagi tahun 1539 dan terakhir 1559. Buku inilah yang menjadi patokan utama bagi buku-buku  teologi Reformed yang kemudian. Konsep-konsep penting di dalam teologi Reformed seperti wahyu umum dan wahyu khusus, anugerah umum dan anugerah khusus, providensi dan predestinasi, manusia sebagai tubuh dan jiwa, Kristus sebagai Nabi, Iman dan Raja, sudah dibicarakan di dalam Institutio. Konsep-konsep ini dikembangkan lagi oleh teolog-teolog Reformed yang kemudian. Setelah Calvin meninggal, gerakannya diteruskan oleh Theodorus Beza. Dari Jenewa, reformasi Calvin meluas ke Belanda, Inggris, Skotlandia dan pada akhirnya ke benua baru yakni Amerika. Itu sebabnya, selain Jenewa, teologi reformed mempunyai 3 tradisi utama yakni tradisi reformed Belanda, reformed Inggris dan Skotlandia serta reformed Amerika.
Tradisi reformed Belanda memiliki warisan-warisan seperti Pengakuan Iman Belanda (1561) yang ditulis di Belanda Selatan oleh seorang Pendeta Belanda bernama Guy de Bres (juga disebut Guido de Bray/Guy de Bray pada 1522-1567) dalam bahasa Prancis. Warisan lain adalah pasal-pasal Dordrecht (1618-1619) yang merupakan hasil konsili Gereja reformed Belanda (hadir juga utusan dari Gereja-gereja reformed Inggris dan daerah lain). Ajaran Dordrecht ini dirumuskan untuk melawan pandangan Arminianisme dalam doktrin keselamatan. Pasal-pasal ini biasa disingkat TULIP (Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irisistable grace dan Perseverance of the saints). Warisan terakhir dari reformed Belanda adalah Katekismus Heidelberg yang ditulis oleh Zacharias Ursinus (1534-1583) dan Kaspar Olevianus (1536-1587) dari Jerman Selatan, namun kemudian menjadi sangat populer di Belanda. Ketiga warisan ini diterima sebagai Tiga Pasal Keesaan oleh Gereja-gereja reformed Belanda. Tradisi reformed Belanda juga menghasilkan 2 raksasa reformed yakni Abraham Kuyper dan (1837-1920) dan Herman Bavinck (1854-1921), disampaing tokoh-tokoh penting seperti Hendra de Cock (1801-1842), reformator Belanda tahun 1834 dan Groen van Prinsterer (1801-1876). Teolog-teolog dan filsuf reformed Belanda yang juga patut untuk disebut adalah Watsius (1636-1708), Voetius (1589-1676), De Moor (1709-1780), Vitringa (1659-1722), Van Mastrick, Walaeus (1573-1639), Honig, Schilder (1890-1951), Dooyeweerd (1894-1977) dan Berkouwer (1903-1996).
Perlu diketahui bahwa Gereja-gereja Calvinis yang tercakup ke dalam Gereja arus utama di Indonesia merupakan hasil misi Gereja reformed Belanda, baik dari misi (zending) gereja Hervormd maupun Gereformeerd. Istilah arus utama saya pakai dengan catatan bahwa istilah ini sudah biasa dipakai untuk Gereja-gereja Protestan hasil misi Belanda seperti GKI, GPIB, GPI, GMIT, GMIM dan yang semacamnya, termasuk juga HKBP yang merupakan hasil misi Lutheran Jerman.
Tradisi reformed Inggris memiliki warisan Pengakuan Iman Westminster serta Katekismus, baik Katekismus besar dan kecil, yang dihasilkan oleh sidang Gereja reformed berbahasa Inggris tahun 1642-1647. Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster ini dijadikan standar bagi teologi kaum Puritan dan Presbiterian. Tradisi ini juga mewariskan apa yang biasa disebut sebagai etos kerja Puritan (reformed), dimana kaum Puritan dengan segala keunikannya yakni kesalehan hidup, kerja keras, hidup hemat serta keinginan yang kuat untuk memuliakan Allah di dalam segala bidang kehidupan diwariskan kepada kita sekarang ini. Tokoh-tokoh Puritan yang terkenal antara lain John Owen (1616-1683), Richard Bexter (1615-1691), John Howe (1530-1705), Thomas Ridgeley (1666-1734), John Bunyan (1628-1688) yakni seorang Puritan Baptis yang menulis Pilgrim Progress, juga termasuk Oliver Cromwell (1599-1658) yang pernah memberontak terhadap kerajaan Inggris dan memerintah tahun 1649-1658 dengan gelar The Lord Protector. Pada abad ke 18 Inggris melahirkan seorang pengkhotbah KKR Calvinis yang besar yang sezaman dengan Jonathan Edwards di Amerika yakni George Whitefield (1714-1771). Disamping tokoh-tokoh Puritan Inggris, di Skotlandia juga muncul tokoh-tokoh Presbiterian diantaranya adalah Thomas Boston (1676-1732), John Dick (1764-1833) dan Thomas Chalmers (1780-1791).
Tradisi reformed Amerika dimulai dari perpindahan orang-orang Calvinis dari Eropa ke benua tersebut. Seorang sejarawan Jerman bernama Ranke (1795-1886) mengatakan bahwa sekitar 600 ribu orang Puritan Inggris, 900 ribu orang Protestan Skotlandia dan 400 ribu orang campuran reformed Belanda dan Jerman, merupakan pendiri Amerika Utara. Di benua baru tersebut mereka berharap dapat beribadah dengan leluasa menurut ajaran reformasi tanpa ada hambatan dari pemerintahan. Hal ini terutama dirindukan oleh orang-orang Puritan Inggris yang ditindas oleh Gereja Anglikan di negara asal mereka.
Ada warna kebangunan rohani di tradisi reformed Amerika ini, yang dimulai oleh Jonathan Edwards (1703-1750). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa seluruh rangkaian kebangunan rohani yang terjadi di Amerika dari zaman Jonathan Edwards sampai kepada Billy Graham (1918-) dmulai dari seorang tokoh reformed walaupun penerus mereka tersebut pada akhirnya bukan orang-orang reformed. Pada zaman yang sama dengan Edwards, di Inggris bangkit juga tokoh kebangunan rohani reformed yang terkenal yaitu George Whitefield sebagaimana yang sudah disebutkan di atas.
Harus juga dibicarakan bahwa Princeton (old princeton) pada abad ke 19, dengan tokoh-tokoh seperti Archibald Alexander (1772-1851), Charles Hodge (1797-1878), A.A. Hodge (1823-1886), B.B. Warfield (1851-1921) dan Geerhardus Vos (1862-1949) ikut mewarnai percaturan teologi dan gerakan reformed di Amerika. Pada zaman itu, Princeton dikenal sebagai benteng yang paling tangguh bagi Calvinisme dan berperang melawan Modernisme dan Teologi Liberal dengan sangat gigih. Keunikan teologi Old Princeton ini adalah berkenaan dengan pembelaannya terhadap ketidakbersalahan Alkitab melawan Modernisme dan teologi Liberal. Namun belakangan Princeton malah setuju dengan Modernisme dan Liberalisme, sehingga seorang teolog yang bernama John Grescham Machen (1881-1937) merasa perlu keluar dari Princeton dan mendirikan seminari sendiri yakni Westminster Theological Seminary. Seminari ini kemudian dikenal sebagai penerus dari teologi Old Princeton dengan dasar teologi reformed yang sangat kokoh. Teolog seperti John Murray (1898-1975) dan apologet reformed Belanda-Amerika seperti Cornelius Van Til (1895-1987) merupakan profesor-profesor yang pernah belajar di seminari ini.
Di Amerika, orang-orang reformed Belanda juga memiliki Gereja sendiri yakni Dutch Reformed Church dan Christian Reformed Church serta memiliki sebuah seminari yakni Calvin Theological Seminary. Banyak teolog Belanda-Amerika yang terkenal seperti Geerhardus Vos, Louis Berkhof (1873-1957), William Hendriksen (1900-1982) dan Anthony Hoekema (1913-1988). Ketiga nama terakhir tersebut adalah profesor-profesor teologi di Calvin Seminary. Satu lagi seminary yang patut disebut di Amerika yakni Reformed Theological Seminary, dimana R.C. Sproul  (1939-) dan Ronald H. Nash (1936-2006) pernah mengajar. Teolog-teolog Calvinis Amerika lainnya yang harus disebut juga adalah Henry B. Smith (1815-1877), Roberth J. Breckinridge (1800-1871), William G.T. Shedd (1820-1894) dan R.L. Dabney (1820-1898).
Perlu untuk ditambahkan bahwa secara khusus di Asia, gereja-gereja yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Calvinis adalah gereja-gereja di Indonesia dan Korea Selatan. Untuk di Indonesia dapat dikatakan bahwa hampir seluruh organisasi gereja yang lama, yakni yang merupakan hasil misi gereja Belanda adalah Calvinis. Dan didalam beberpa puluh tahun terakhir ini muncul sebuah gerekan reformed yang disebut sebagai Gerakan Reformed Injili yang dipelopori oleh Stephen Tong (1940-). Beliau adalah pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia dan Sekolah teologi Reformed Injili Internasional. Apakah tradisi reformed Asia bangkit dari gerakan ini? Kelihatannya memang demikian, tetapi tidak bijaksana jika kita terlalu awal menyimpulkannya. Biarlah zaman berikutnya yang membuktikannya.
Perlu ditambahkan pula bahwa diluar Gereja Reformed dan Presbiterian, ada juga orang-orang Calvinis dari gereja Baptis Calvinis Inggris yang sangat terkenal seperti Charles Spurgeon (1834-1892). Karena keahliannya di dalam berkhotbah yang sangat memukau, Spurgeon dijuluki sebagai Prince of Preacher. Seorang teolog Baptis Reformed juga patut disebut yakni Augustus Hopkins Strong (1836-1921) yang menjabat sebagai presiden dan professor di Rochester Theological Seminary. Tak hanya dari kalangan Baptis, dari kalangan Gereja Anglikan juga ada yang dipengaruhi oleh tradisi reformed dan merupakan raksasa Injili seperti John Stott (1921-2011), bahkan secara khusus J.I Packer (1926-), profesor di Regent College ikut mengajarkan dan mempromosikan teologi reformed.

Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR, Malang 2015), 83-91.



















[1] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol 1 Prolegomena (Grand Rapids: Baker Book House, 2004), 177.
[2] Ibid, 178.
[3] John Van Dyk, “From Deformation of Refomation,” dalam Will all the King’s men …, Out of Concern for the Church Phase II (Toronto: Wedge Pub. Foundation, 1972), 84.
[4] J. S. Whale, The Protestant Tradition (London: Cambridge University Press, 1955), 121.
[5] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar