Selasa, 06 September 2016

Dampak Negatif Relativisme Postmodern

DAMPAK NEGATIF RELATIVISME POSTMODERN


Dampak Negatif Relativisme Postmodern
Berikut ini kita akan melihat ilustrasi  bagaimana relativisme dapat mendatangkan malapetaka dan justru merampas manusia dari akar kemanusiaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf Postmo dari Prancis, mempercayai bahwa seksualitas adalah alat dari kekuasaan. Menurutnya, aturan objektif mengenai seks itu hanyalah permainan dan buatan dari pihak-pihak tertentu tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh di lakukan dalam seks. Seksualitas diciptakan oleh kekuasaan sebagai alat untuk mengatakan tidak pada seks. Itulah sebabnya ia mempertentangkan antara seks dan seksualitas. Perhatikan pernyataannya berikut: “... sekarang saya percaya, bahwa dengan menata oposisi antara seks dan seksualitas, sebenarnya saya dibawa mundur kepada penanaman kekuasaan sebagai hukum dan larangan; sebuah ide yang menunjukan bahwa kekuasaan menciptakan seksualitas sebagai alat untuk mengatakan tidak pada seks.”[1] Tetapi pandangan inilah yang justru mencelakakan Foucault. Percaya bahwa seksualitas hanyalah alat kekuasaan dan menolak bahwa tidak ada moral objektif mengenai seks, dengan sendirinya menjerumuskan orang-orang yang berpandangan demikian kepada kehidupan seksual yang bebas dan buas. Pada tahun 1975, ketika berada di California Amerika Serikat, Foucault memuaskan kebiasaan homoseksualnya dengan terlibat di dalam perkumpulan kaum Gay di San Francisco. Tahun 1983 ia melakukan perjalanan terakhirnya ke San Francisco dan saat itu ia sudah mengidap AIDS. Ketika kembali ke Paris, Foucault jatuh dari apartemennya tanggal 2 Juni 1984 dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Juni.[2] Bukankah filsafat yang salah dapat berakibat fatal?

 Aroma Selingkuh Postmodernisme
Selingkuh di era Postmo ini sudah sangat merajalela dan merasuki setiap bagian hidup kita. Mungkin kita tidak berselingkuh dalam kehidupan cinta dan perkawinan, namun kita bisa berselingkuh di dalam hal teologi, pandangan hidup dan lain sebagainya dengan cara membelakangi Tuhan dan Firman-Nya. Ada satu kata yang kehilangan maknanya di dalam dunia Postmo kita saat ini, yakni kesetiaan. Kata ini sudah tergilas dengan roda dunia yang penuh dengan tipuan yang memiliki keahlian membungkus sesuatu yang busuk dan menjijikkan dan menampilkannya sebagai sesuatu yang indah. Bayangkanlah ada slogan yang mengatakan “Selingkuh itu Indah”.
Selingkuh memang sering terjadi sejak zaman dahulu. Perselingkuhan pertama terjadi di Taman Eden ketika Adam dan Hawa lebih mendengarkan suara setan dan membelakangi Tuhan. Sejak dari Tamn Eden, dari zaman ke zaman natur berdosa manusia selalu menuntut pemuasan dengan berselingkuh. Perselingkuhan Adam di Taman Eden melahirkan perselingkuhan di dalam segala aspek kehidupan manusia berdosa. Alkitab mencatat kisah perselingkuhan yang paling terkenal antar Daud dan Betsyeba.
Di era Postmo ini, selingkuh menjadi sesutu yang lumrah dan wajar terjadi; dan Postmo sendiri menjadi lahan yang subur untuk berkembangnya perselingkuhan. Mengapa? Karena Postmo berjiwa selingkuh. Jika era Modern memandang kebenaran sebagi sesuatu yang bersifat subjektif dan menekankan makna tunggal, yang berzinah dengan “kebenaran” yang sebenarnya hanya merupakan ide-ide abstrak; maka Postmo melakukan sesuatu yang lebih parah lagi. Ia berzinah dengan membelakangi kebenaran objektif dan menyelingkuhi segala hal yang semuanya itu dianggap sebagai kebenaran.  Filsafat Eksistensialisme yang merupakan salah satu peletak dasar Postmodernisme ternyata memiliki jiwa selingkuh yang tidak kalah hebatnya. Hal ini ditunjukan dengan kehidupan selingkuh dari salah seorang filsufnya yakni Jean Paul Sartre. Kredonya adalah pesiar, poligami dan transparansi.[3]Inilah kredo manusia yang mau otonomi dari otoritas Tuhan dan Firman-Nya. Perhatikan kutipan tentang Sartre berikut: “... Tidak banyak insiden yang dapat dengan tepat menyimpulkan kehidupannya daripada penerbitan dari salah satu bukunya pada saat ia sedang ‘menyelingkuhi dua kali lipat’ – ataukah seharusnya menggunakan istilah ‘menyelingkuhi empat kali lipat’ empat selingkuhan yang berbeda. Secara rahasia ia membuat sang penerbit mencetak satu jilid untuk masing-masing wanita dengan nama sang wanita itu sendiri dicetak sebagai orang yang kepadanya ia mempersembahkan buku itu.”[4] Saya pernah membaca sebuah lelucon di salah satu majalah tentang dua orang pria yang sedang bermain golf. Ketika mereka sedang asyik bermain, datanglah dua orang wanita yang menarik perhatian mereka. Lelaki yang pertama mulai menggoda mereka, dengan wajah ketakutan ia berbalik kepada temannya dan berkata: “ssst, diam..!! wanita yang satu itu ternyata istriku dan satunya lagi ternyata selingkuhanku”. Merasa sedang berada di atas angin, sambil cengar-cengir pria yang satunya lagi mendekati kedua wanita tersebut, tetapi dalam sekejap ia berbalik pula kepada temannya dengan wajah yang pucat seraya berkata: “Celaka..!! Ternyata wanita yang satu itu istriku dan yang satunya lagi adalah selingkuhanku”. Bayangkanlah kekacauan yang ditimbulkan kedua pria ini. Inilah kekacauan gaya hidup Postmodern.


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2015), 43-46.






[1]Michel Foucault, Wacana Kuasa/Pengetahuan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 236.
[2]Stanley Grenz, A Primer on Postmodernisme, 125-126.
[3]Ravi Zacharias, Can Man Live Without God, 293.
[4]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar