DAMPAK NEGATIF
RELATIVISME POSTMODERN
Dampak Negatif Relativisme Postmodern
Berikut
ini kita akan melihat ilustrasi
bagaimana relativisme dapat mendatangkan malapetaka dan justru merampas
manusia dari akar kemanusiaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Michel Foucault
(1926-1984), seorang filsuf Postmo dari Prancis, mempercayai bahwa seksualitas
adalah alat dari kekuasaan. Menurutnya, aturan objektif mengenai seks itu
hanyalah permainan dan buatan dari pihak-pihak tertentu tentang apa yang boleh
dan yang tidak boleh di lakukan dalam seks. Seksualitas diciptakan oleh
kekuasaan sebagai alat untuk mengatakan tidak pada seks. Itulah sebabnya ia
mempertentangkan antara seks dan seksualitas. Perhatikan pernyataannya berikut:
“... sekarang saya percaya, bahwa dengan
menata oposisi antara seks dan seksualitas, sebenarnya saya dibawa mundur
kepada penanaman kekuasaan sebagai hukum dan larangan; sebuah ide yang
menunjukan bahwa kekuasaan menciptakan seksualitas sebagai alat untuk
mengatakan tidak pada seks.”[1] Tetapi
pandangan inilah yang justru mencelakakan Foucault. Percaya bahwa seksualitas
hanyalah alat kekuasaan dan menolak bahwa tidak ada moral objektif mengenai
seks, dengan sendirinya menjerumuskan orang-orang yang berpandangan demikian
kepada kehidupan seksual yang bebas dan buas. Pada tahun 1975, ketika berada di
California Amerika Serikat, Foucault memuaskan kebiasaan homoseksualnya dengan
terlibat di dalam perkumpulan kaum Gay di San Francisco. Tahun 1983 ia
melakukan perjalanan terakhirnya ke San Francisco dan saat itu ia sudah
mengidap AIDS. Ketika kembali ke Paris, Foucault jatuh dari apartemennya
tanggal 2 Juni 1984 dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Juni.[2] Bukankah
filsafat yang salah dapat berakibat fatal?
Aroma Selingkuh Postmodernisme
Aroma Selingkuh Postmodernisme
Selingkuh
di era Postmo ini sudah sangat merajalela dan merasuki setiap bagian hidup
kita. Mungkin kita tidak berselingkuh dalam kehidupan cinta dan perkawinan,
namun kita bisa berselingkuh di dalam hal teologi, pandangan hidup dan lain
sebagainya dengan cara membelakangi Tuhan dan Firman-Nya. Ada satu kata yang
kehilangan maknanya di dalam dunia Postmo kita saat ini, yakni kesetiaan. Kata ini sudah tergilas
dengan roda dunia yang penuh dengan tipuan yang memiliki keahlian membungkus
sesuatu yang busuk dan menjijikkan dan menampilkannya sebagai sesuatu yang
indah. Bayangkanlah ada slogan yang mengatakan “Selingkuh itu Indah”.
Selingkuh
memang sering terjadi sejak zaman dahulu. Perselingkuhan pertama terjadi di
Taman Eden ketika Adam dan Hawa lebih mendengarkan suara setan dan membelakangi
Tuhan. Sejak dari Tamn Eden, dari zaman ke zaman natur berdosa manusia selalu
menuntut pemuasan dengan berselingkuh. Perselingkuhan Adam di Taman Eden melahirkan perselingkuhan di dalam segala aspek kehidupan manusia berdosa. Alkitab mencatat
kisah perselingkuhan yang paling terkenal antar Daud dan Betsyeba.
Di
era Postmo ini, selingkuh menjadi sesutu yang lumrah dan wajar terjadi; dan
Postmo sendiri menjadi lahan yang subur untuk berkembangnya perselingkuhan.
Mengapa? Karena Postmo berjiwa selingkuh. Jika era Modern memandang kebenaran
sebagi sesuatu yang bersifat subjektif dan menekankan makna tunggal, yang
berzinah dengan “kebenaran” yang sebenarnya hanya merupakan ide-ide abstrak; maka Postmo melakukan sesuatu yang lebih parah lagi. Ia berzinah dengan membelakangi
kebenaran objektif dan menyelingkuhi segala hal yang semuanya itu dianggap
sebagai kebenaran. Filsafat
Eksistensialisme yang merupakan salah satu peletak dasar Postmodernisme
ternyata memiliki jiwa selingkuh yang tidak kalah hebatnya. Hal ini ditunjukan
dengan kehidupan selingkuh dari salah seorang filsufnya yakni Jean Paul Sartre.
Kredonya adalah pesiar, poligami dan transparansi.[3]Inilah
kredo manusia yang mau otonomi dari otoritas Tuhan dan Firman-Nya. Perhatikan
kutipan tentang Sartre berikut: “...
Tidak banyak insiden yang dapat dengan tepat menyimpulkan kehidupannya daripada
penerbitan dari salah satu bukunya pada saat ia sedang ‘menyelingkuhi dua kali
lipat’ – ataukah seharusnya menggunakan istilah ‘menyelingkuhi empat kali
lipat’ empat selingkuhan yang berbeda. Secara rahasia ia membuat sang penerbit
mencetak satu jilid untuk masing-masing wanita dengan nama sang wanita itu
sendiri dicetak sebagai orang yang kepadanya ia mempersembahkan buku itu.”[4]
Saya pernah membaca sebuah lelucon di salah satu majalah tentang dua
orang pria yang sedang bermain golf. Ketika mereka sedang asyik bermain, datanglah
dua orang wanita yang menarik perhatian mereka. Lelaki yang pertama mulai
menggoda mereka, dengan wajah ketakutan ia berbalik kepada temannya dan
berkata: “ssst, diam..!! wanita yang satu
itu ternyata istriku dan satunya lagi ternyata selingkuhanku”. Merasa
sedang berada di atas angin, sambil cengar-cengir pria yang satunya lagi
mendekati kedua wanita tersebut, tetapi dalam sekejap ia berbalik pula kepada
temannya dengan wajah yang pucat seraya berkata: “Celaka..!! Ternyata wanita yang satu itu istriku dan yang satunya lagi
adalah selingkuhanku”. Bayangkanlah kekacauan yang ditimbulkan kedua pria
ini. Inilah kekacauan gaya hidup Postmodern.
Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika
Kristen dalam Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2015), 43-46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar