KEPALSUAN DAN BUNUH DIRI POSTMODERNISME
Postmodern adalah sebuah era setelah Modern, baik itu di dalam pengertian filsafatnya yaitu Postmodernisme, maupun dalam dalam pengeritan budayanya yakni Postmodernitas yang merupakan perlawanan terhadap budaya Modernitas. Jika Modernisme menekankan validitas kebenaran berdasarkan obyektifitas dan universalitas, maka Postmodernisme melihat kebenaran sebagai sesuatu yang bersifat subyektif dan relatif. Kelahiran Postmodernisme sebagaimana di tulis oleh Grenz, terjadi di St. Louis pada tanggal 15 Juli 1972 pada pukul 3:32 PM.[1] Ini mengacu kepada penghancuran gedung Pruitt-Igoe di St. Louis yang disebut sebagai landmark dari arsitektur Modern. Ketika pemerintah kota tidak sanggup lagi merenovasi gedung tersebut, mereka memutuskan untuk menghancurkannya dengan dinamit.[2]Seorang pendukung arsitektur Postmodern yakni Charles Jencks, mengatakan bahwa peritiwa tersebut sebagai simbol dari kematian Modernitas sekaligus kelahiran Postmodernitas.[3] Berikut ini adalah argumen-argumen yang dapat digunakan untuk melawan relativisme Postmo:
Slogan “Tidak Ada Kebenaran Mutalak” merupakan sebuah pernyataan kontradiktif. Filsafat Postmodern sangat menolak obyektivitas. Mereka menggantinya dengan penilaian yang bersifat subyektif dengan mengatakan “ Tidak Ada Kebenaran Mutlak”. Tetapi sebenarnya pernyataan ini bersifat kontradiktif. Mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak akan memunculkan dua hal yang saling bertentangan:
a. Bahwa tidak ada kebenaran mutlak (sesuai dengan pernyataan tersebut)
b. Bahwa pernyataan itu sendiri menjadi sesuatu yang mutlak (karena bagi orang Postmodern, pernyataan itulah satu-satunya kebenaran mutlak, yakni bahwa tidak ada kebenaran mutlak).
c. Kesimpulannya: Pada waktu yang sama dan di dalam pengertian yang sama, pernyataan itu memunculkan ketidakmutlakan sekaligus kemutlakan. Inilah kontradiksinya.
Slogan “Tidak Ada Kebenaran Mutalak” merupakan sebuah pernyataan kontradiktif. Filsafat Postmodern sangat menolak obyektivitas. Mereka menggantinya dengan penilaian yang bersifat subyektif dengan mengatakan “ Tidak Ada Kebenaran Mutlak”. Tetapi sebenarnya pernyataan ini bersifat kontradiktif. Mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak akan memunculkan dua hal yang saling bertentangan:
a. Bahwa tidak ada kebenaran mutlak (sesuai dengan pernyataan tersebut)
b. Bahwa pernyataan itu sendiri menjadi sesuatu yang mutlak (karena bagi orang Postmodern, pernyataan itulah satu-satunya kebenaran mutlak, yakni bahwa tidak ada kebenaran mutlak).
c. Kesimpulannya: Pada waktu yang sama dan di dalam pengertian yang sama, pernyataan itu memunculkan ketidakmutlakan sekaligus kemutlakan. Inilah kontradiksinya.
Ilustrasi berikut menggmbarkan kontradiksinya dengan sangat jelas. Ravi Zacharias (1946) pernah membongkar irasionalitas Postmodern, yakni berkenaan dengan gedung kesenian di Ohio State University. Newsweek mencap gedung itu sebagai gedung dekonstruksi yang pertama. Dikatakan bahwa gedung itu perancahnya berwarna putih, menaranya dari bata merah dan bagian-bagian yang ditanami rumput Colorado mengundang kekaguman. Tetapi kita menjadi semakin bingung apabila kita memasuki gedung, karena di dalamnya kita akan menemui tangga yang tidak menuju kemana-mana, tiang-tiang yang tanpa tujuan menggantung di langit-langit; dan permukaan yang bersudut-sudut yang sengaja dibuat untuk menciptakan rasa vertigo. Sang arsitek mengatakan bahwa gedung ini mencerminan kehidupan yang tidak menentu dan membingungkan.[4]Mendengar hal itu, Ravi menanyakan apakah fondasi gedung juga dibuat seperti itu? Bukan main! Tentu, fondasi gedung itu tidak bersifat dekonstrustif bukan? Jika demikian, gedung itu akan rubuh.
Ketika Postmodern Menolak Metanarasi, pada Saat yang Sama menjadikan Dirinya sebagai Metanarasi Baru.
Disamping menolak kebenaran mutlak, Postmo juga menolak metanarasi yang mempercayai makna atau kebenaran tunggal. Narasi-narasi besar seperti yang dipunyai oleh Modernisme, Naturalisme dan ilmupengetahuan modern (modern science) serta metanarasi-metanarasi religus agama-agama termasuk Kristen juga ditolak oleh orang-orang Postmo. Sebagai contoh: Mengenai asal mula terjadinya alam semesta ini, apakah yang benar adalah metanarasi Alkitab ataukah metanarasi Alquran atau metanarasi Naturalisme? MenurutPostmo, semua metanarasi tersebut saling memutlakan dirinya dengan cara menolak semua narasi-narasi kecil yang hidup dalam komunitas-komunitas. Karena itu, filsafat modern menolak metanarasi dan memberikan ruang sepenuhnya bagi narasi-narasi kecil. Jean-Francois Lyotard (1924-1998), seorang filsuf Postmo, dalam kata pengantar sebuah bukunya berkata: “… kita mendefinisikan Post-modern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan, namun kemajuan pada gilirannya memang mengharuskan demikian. Pada keusangan sistem metanarasi, legitimasi terutama sekali berhubungan dengan krisis filsafat metafisika dan juga institusi universitas yang bergantung padanya. Fungsi naratif kehilangan fungsinya, pahlawan-pahlawan besar, bahaya-bahaya besar, perjalanan-perjalanan besar dan tujuan yang besar. Ia tidak hanya menghilangkan elemen metafisika dari bahasa naratif, tetapi juga denotative, preskriptif, deskriptif dan lain-lainnya. Masing-masing mengendalikan dirinya sendiri secara pragmatis. Kita seakan hidup di dalam persimpangan dengan banyaknya hal seperti itu. Kita tidak merumuskan kombinasi-kombinasi legitimasi yang kokoh dan penting, kepemilikan kita rumuskan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan”.[5] Ada 2 hal penting yang perlu kita tanyakan kepada Lyotard. (1) Jika narasi Postmo menghilangkan elemen metafisika, denotatif, prekriptif dan deskriptif, mengapa kalimat-kalimat Lyotard di atas mengandung unsur metafisika (karena di dalamnya tidak menyatakan kuantitas dan materi) dan juga mengandung unsur denotatif, preskriptif dan deskriptif? Tanpa unsur-unsur tersebut, maka pernyataan Lyotard di atas tidak akan ada maknanya sama sekali. (2) Dalam tulisaan tersebut, Lyotard berkata bahwa Postmo tidak merumuskan kombinasi-kombinasi legitimasi yang kokoh dan penting, serta kepemilikan dirumuskan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan. Jika demikian, mengapa ia menulis untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan? Dan yang haru kita tambahkan adalah ketika Postmo menolak semua metanarasi dan mengakomodasi narasi-narasi kecil, dengan sendirinya semangat dan prinsip dari Postmo ini menjadi metanarasi yang baru. Lagipula, jika Postmo menolak proyek besar Modernisme, maka dengan sendirinya Postmo menjadi proyek besar lainnya, dan dengan demikian tujuannya untuk menghancurkan “perjalanan besar” Modernisme tidak akan tercapai karena dengan sendirinya hal tersebut akan diganti dengan “perjalanan besar Postmo”. Tetapi bedanya adalah bahwa perjalanan besar Modernisme hendak membawa manusia kepada utopia yang tidak mungkin tercapai, sedangkan perjalanan besar Postmo hendak membawa dunia ini kepada ketidakbermaknaan.
Menyatakan bahwa Sebuah Teks Tidak Memiliki Makna Tunggal Sebenarnya Menghancurkan Pernyataan itu Sendiri.
Menyatakan bahwa Sebuah Teks Tidak Memiliki Makna Tunggal Sebenarnya Menghancurkan Pernyataan itu Sendiri.
Salah satu ciri dari filsafat Postmo adalah dekonstruktif, yang dipelopori oleh Jacques Derrida (1930-2004), yang merupakan perlawanan terhadap kaum Strukturalis. Spivak mengatakan bahwa: Strukturalis mengisolasi struktur umum aktivitas manusia. Jadi, strukturalisasi yang akan saya bicarakan ini mencakup bidang studi sastra, liguistik, antropologi, sejarah, sosio ekonomi, pikologi. Struktur adalah sebuah unit yang terdiri atas beberapa elemen yang terdapat di dalam relasi yang sama pada aktivitas yang sedang dideskripsikan. Unit tersebut tidak dapat dipilah-pilah menjadi elemen-elemen terpisah, karena kesatuan struktur tidak ditentukan oleh hakikat substantif elemen-elemen, melainkan oleh hubungan antar elemen tersebut.”[6]Pernyataan kaum Strukturalis tentang keobjektifan struktural didasarkan pada pembedaan antara subjek dan objek. Mereka berkata bahwa objek ditemukan dan dijelaskan oleh subjek. Tujuan dari segenap aktivitas Strukturalis, apakah itu reflektif ataupun puitik, adalah usaha untuk merekonstruksi objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memperlihatkan peran dan fungsi objek. [7]Nah, Derrida mempermasalahkan kemungkinan adanya deskripsi objektif. [8]Dalam hal pembacaan sebuah teks, para pemikir dekonstruktif percaya bahwa sebuah teks tidak memiliki arti tunggal, melainkan banyak. Derrida menolak bahwa bahasa memiliki arti tetap yang berhubungan dengan realitas yang tetap, atau bahwa bahasa menyingkapkan kebenaran yang pasti. Ia ingin menarik kita jauh dari prinsip modern (yang mengatakan bahwa sebuah teks pasti memiliki makna tunggal) dan membawa kita kepada kemungkinan-kemungkinan “hermeneutika” terhadap kata-kata tertulis, kemungkinan-kemungkinan yang muncul ketika kita memulai percakapan dengan teks-teks tersebut.[9]Berdasarkan pemahaman Derrida tersebut, orang-orang Postmo mengatakan bahwa teks itu dapat berubah, tidak memiliki asal-usul yang pasti, identitas dan akhir. Proses menafsirkan sebuah teks itu tidak akan pernah berakhir pada sebuah kesimpulan; setiap pembacaan terhadap teks tersebut adalah dan hanyalah pendahuluan untuk pembacaan berikutnya.[10]Mari kita mengambil pemahaman dekonstruksi Derrida mengenai teks tersebut untuk mengkritisinya. Filsafat Dekonstruksi percaya bahwa tidak ada makna tunggal dalam sebuah teks. Perhatikan penjelasan dari Stanley Grenz berikut: “... Makna tidak melekat di dalam teks itu sendiri, kata mereka, tetapi muncul hanya ketika penafsir (atau pembaca) masuk ke dalam dialog dengan teks itu. Dan karena makna sebuah teks adalah bergantung kepada perspektif dari seseorang yang masuk ke dalam dialog dengannya, maka teks tersebut akan memiliki makna sebanyak pembacanya (penafsirnya).”[11]Mengacu kepada penjelasan Grenz di atas, pandangan dekonstruksi berkata bahwa arti sebuah teks tidak bergantung kepada teks itu sendiri, melainkan muncul ketika penafsir berkontak dengan teks tersebut. Karena arti dari teks tersebut bergantung pada penafsir, maka arti dari teks tersebut pasti sebanyak pembaca/penafsir teks tersebut. Dengan demikian, Dekonstruksi menolak makna tunggal dari sebuah teks. Tetapi jika tidak ada makna tunggal dari sebuah teks, maka bagaimana kita dapat memahami maksud Derrida ketika ia mengatakan bahwa “Tidak ada makna tunggal dalam sebuah reks”? Saya percaya bahwa Derrida bermaksud agar teori dekonstruksinya dimengerti dari sudut pandang Derrida sendiri; dan ini mutlak membutuhkan makna tunggal. Jadi dapat disimpulkan bahwa pernyataan Derrida itu sendiri asumsinya adalah memiliki makna tunggal. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin Derrida berharap bahwa pembaca tulisannya dapat memahami apa yang dimaksudkannya? Saya percaya bahwa seluruh tulisan Derrida memiliki makna yang ia ingin agar pembacanya mengerti. Disini kita kembali menemukan sebuah kontradiksi.
Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2015), 36-43.
[1]Stanley Grenz, Aprimer on Postmodernism (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1996), 11.
[2]Ibdi.
[3]Charles Jencks, “The Post-Modern Agenda”, di dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles Jencks (New York: St. Martin’s Press, 1992), 24.
[4]Ravi Zacharias, Can man Live Without God, (Batam: Interaksara, 1999), 51.
[5]Jean-Francois Lyotard, Postmodernisme, krisisdanMasaDepanPengetahuan, (Jakarta: terau, 2004), di bagian kata pengantar.
[6]Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pikiran Jacques Derrida; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta; Ar-Ruz, 2003), 107.
[7]Ibdi, 111-112.
[8]Ibdi, 111.
[9]Stanley Grenz, A Primer On Postmodernism, 141.
[10]Ibid, 146.
[11]Ibid, 6.
supelll,,,luar biasa
BalasHapus