NATUR KEBENARAN
Berbicara tentang teologi sistematika atau dogmatika adalah berbicara mengenai kebenaran yang telah Allah wahyukan melalui Alkitab, karena itu Alkitab adalah standar mutlak bagi dogmatika. Selain kebenran Allah di dalam Alkitab, dogmatika juga mengambilkebenaran di dalam wahyu umum yang sudah dijernihkan oleh wahyu khusus (Alkitab). Karena itu, perlu untuk membahas mengenai natur dari kebenaran.
A. DUA LANDASAN HUKUM LOGIKA
Keunikan Tritunggal Secara Umum dan Keunikan Kristus secara Khusus
Alkitab berkata bahwa Allah itu esa (Ul 6:4) dan Yesus sendiri berkata bahwa Dialah satu-satunya Jalan, Kebenaran dan Hidup; tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada Bapa jika tidak melalui Dia (Yoh 14:6). Bagian ini adalah ajaran Alkitab yang menegaskan tentang keunikan Tritunggal sebagai Allah satu-satunya dan juga menegaskan keunikan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-satunya. Karena Allah itu unik dan juga karena Kristus itu unik, maka kebenaran juga memiliki sifat yang unik dan oleh karenanya kebenaran tidak bersifat kontradiksi. Di dalam kebenaran inilah hukum non Kontradiksi akan ditegakkan. Hukum non kontradiksi dapat kita contohkan sebagai berikut: jika sesuatu itu adalah kucing, maka pada saat yang sama, pada pengertian yang sama dan dalam relasi yang sama adalah seorang manusia. Sebuah contoh yang melanggar hukum non kontradiksi: Pada jam 4 sore kemarin saya sedang membaca koran di Jakarta dan sedang menonton pertandingan sepakbola di London. Jelas terdapat kontradiksi secara logis di dalam pernyataan ini, karena saya tidak mungkin berada di Jakarta sekaligus berada di London pada saat, pengertian dan relasi yang sama. Misalnya lagi ketika saya mengatakan bahwa saya bisu. Kontradiksi logis dari pernyataan ini adalah bahwa saya menggunakan kemampuan berkata-berkata yang saya milki untuk memproklamasikan bahwa saya bisu. Jadi mampu berkata-kata dan tidak mampu berkata terjadi pada saat, pengertian dan relasi yang sama; ini tentu hal yang mustahil.
Berbeda dengan hukum non kontradiksi (either/or), hukum both/and (kedua-duanya sama benar) berkata bahwa kebenaran tidak bersifat eksklusif (either/or), melainkan bersifat both/and. Jadi yang benar adalah hukum both/and. Namun pernyataan ini sendiri adalah kontradiksi karena jika kita berkata bahwa hukum both/and adalah benar sedangkan hukum either/or adalah salah, maka sebenarnya kita sedang menggunakan hukum either/or untuk membenarkah hukum both/and. Jika kita konsisten dengan hukum both/and, maka seharusnya kita juga menerima hukum either/or karena hukum both/and adalah sama-sama benar. Jika diterapkan, berarti, baik hukum either/or maupun hukm both/and adalah sama-sama benar. Lagipula ketika kita mencoba menegakkan superioritas hukum both/and di atas hukum either/or dan menjadikannya eksklusif, maka secara tidak sadar kita sedang menggugurkan hukum both/and dan menegakkan hukum either/or. Inilah kontradiksi dari cara berpikir both/and.
B. SIFAT ALLAH YANG RASIONAL
Sebuah alasan yang lain di mana hukum non kontradiksi mendapatkan landasannya adalah bahwa Allah adalah diri-Nya Kebenaran, sehingga tidak mungkin terdapat kontradiksi di dalam diri-Nya. Natur Allah yang tidak mungkin berkontradisk inilah yang menjadi landasan bagi eksistensi hukum logika dalam wilayah ciptaan.
C. KEBENARAN ALKITAB ADALAH RASIONAL
Allah adalah Pewahyu dan Pengilham Alkitab. Karena Allah itu unik dan karena Allah itu rasional, maka seluruh doktrin yang diajarkan dalam Alkitab pasti sepenuhnya bersifat rasional. Adalah sebuah pernyataan yang menyesatkan jika kita berkata bahwa antara doktrin yang satu dengan doktrin yan lain saling berkontradiksi. Karea kebenaran Kristen adalah berakar dalam Alkitab, maka tidak akan terjadi kontradiksi di dalamnya. Kesalahan paling umum yang kita temukan ketika ada yang berkata bahwa satu atau lebih dari doktrin-doktrin Kristen bersifat kontradiksi, adalah kegagalan mereka membedakan antara kontradiksi dan hal-hal yang bersifat suprarasional. Secara logis, manusia yang diciptakan bersifat terbatas dan berdosa, sehingga tidak mungkin dapat memahami seluruh kebenaran Allah yan tidak terbatas. Nah, ketidakmampuan manusia memahami seluruh kebenaran Allah inilah yang menyebabkan sebagian orang melihatnya sebagai berkontradiksi. Tetapi ini adalah pandangan yang menyesatkan. Yang benar adalah bahwa oleh karena ketidakmampuan manusia untuk memahami seluruh kebenaran Allah, maka hal-hal yang tidak dapat dipahami itu bukanlah kontradiksi-kontradiksi, melainkan merupakan hal-hal yang melampaui pengertian manusia (suprarasional). Seandainya manusia dapat memahami seluruh kebenaran Allah dengan tuntas, maka barulah manusia dapat melihat dengan jelas bahwa seluruh kebenaran tersebut tidak berkontradiksi karena seluruh kebenaran Allah bersifat rasional sepenuhnya. Tetapi harus langsung ditambahkan bahwa mustahil bagi manusia untuk dapat memahaminya secara tuntas, karena jika manusia dapat memahaminya dengan tuntas maka manusia bukanlah lagi manusia, melainkan Allah. William James (1842-1910) melakukan kekeliruan besar – sejauh menyangkut iman Kristen – ketika mengatakan bahwa nilai kebenaran agama hanya dapat dikukuhkan denan penghakiman spiritual, terutama berdasarkan perasaan dan juga berdasarkan segala sesuatu yang dapat kita pastikan menyangkut hubungan pengalaman dengan kebutuhan moral serta hal-hal yang kita anggap benar.[1] Walaupun pernyataan ini dapat dibenarkan jika kita membicarakan nilai-nilai kebenaran agama-agama secara umum, namun secara khusus tidak berlaku bagi ima Kristen. Kebenaran ima Kristen sepenuhnya bersifat rasional karena Alah Tritunggal adalah rasional dan Alkitab yang adalah wahyu-Nya juga adalah rasional.
D. KEBENARAN: BERSIFAT PRIBADI DAN PROPOSISIONAL
Seorang penulis Injili bernama Leslie Newbigin (1909-1998) mengatakan bahwa kebenaran bukanlah masalah doktrin atau kata-kata abstrak seperti keadilan dan kasih, tetapi adalah Pribadi Yesus Kristus sendiri. Jadi – menurut dia – kebenaran harus didasarkan pada pribadi, konkrit dan bersifat historis.[2] Melalui pernyataan tersebut, Newbigin sebenarnya menolak kebenaran yang bersifat proposisional, yakni kebenaran yang dinyatakan dalam bentuk proposisi, misalnya: “Yesus adalah satu-satunya Juruselamat”. Pandangan Newbigin ini jelas bernuansa Postmodern yang lebih menekankan kebenaran melalui komunitas yang disajikan melalui kisah-kisah atau cerita-cerita.
Disatu sisi memang tidak dapat disangkal bahwa kebenaran Kristen bersumber dari satu Pribadi, yakni Kristus. Kebenaran Kristen bukan sekadar kata-kata abstrak, melainkan bersumber dan akhirnya bermuara kepada Kristus. Dia sendiri berkata bahwa “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6). Namun bukan berarti bahwa kita harus membuang sifat proposisional dari ajaran Alkitab. Karena ajaran Kristen berkaitan dengan kata-kata, maka bagaimana kita merumuskan ajaran tersebut dalam kata-kata merupakan satu hal yang mutlak penting dan rumusan itu haruslah bersifat proposisional.[3]
Isi Alkitab memang bukan hanya berbentuk proposisi-proposisi, karena di dalamnya ada kisah, sejarah, perumpamaan, puisi dan sebagainya. Namun secara umum, sifat kebenaran yang dinyatakan oleh Alkitab (walaupun penyajiannya dalam bentuk prosa, puisi dan perumpamaan, dll) adalah proposisional. Contoh: Jika kita membaca perumpamaan domba yang hilang (Luk 15:4-7), jelaslah bahwa di dalam perumpamaan itu terdapat sebuah proposisi yaitu: “Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang”. Dan perlu diingat bahwa walaupun kebenaran Alkitab tidak selalu dinyatakan dalam presaposisi, namun hal itu tetap dominan. Perhatikanlah setiap klaim yang Yesus lakukan akan diri-Nya yang selalu bersifat proposisi. Bahkan Alkitab dibuka dengan sebuah proposisi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1).
Celakanya, saat orang-orang seperti Newbigin menolak kebenaran yang bersifat proposisional, mereka justru menjelaskan penolakan mereka tersebut dengan pernyataan yang bersifat proposisional. Jika kita mengikuti Newbigin, maka kita harus menolak semua rumusan pengakuan iman karena semuanya bersifat proposisional. Kita juga harus menolak semua dogmatika terpenting di dalam sejarah kekristenan. Jelas hal itu pasti sangat merugikan kita. Seharusnya, jika kita menyajikan Injil di dalam masyarakat Postmodern dewasa ini, kita bukannya menolak kebenaran proposisional (seperti yang ditawarkan oleh Newbigin), melainkan berusaha menyajikan dan menyampaikan kebenaran-kebenaran yang bersifat proposisional tersebut dengan cara yang tepat dan penuh kasih. Kita harus percaya bahwa bagaimanapun caranya Injil itu dikontekstualisasikan, namun tanpa pekerjaan Roh Kudus maka hal itu akan sia-sia. Yang ada kita hanya akan mengurangi bobot kebenaran itu sendiri.
Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika dalam Perspektif Reformed, (GKKR, Malang, 2015), 25-31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar