Rabu, 28 September 2016

Baptisan: Percik atau Selam?

Baptisan: Selam atau Percik?

Kata “Baptis” berasal dari kata Yunani bapto dan baptizo. Arti klasik dari kata bapto dan baptizo adalah mencelup dalam air, menenggelamkan di dalam air, mencat atau mewarnai di dalam sebuah cairan.[1]  Memperhatikan beberapa arti di atas, kelihatannya dukungan untuk baptis selam dari pengertian kata baptis itu sendiri mendapatkan landasannya. Tetapi jika dilihat dari konsistensi Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, konsistensinya secara teologis dan cara membaptis yang dipraktikkan oleh Yohanes Pembaptis dan para Rasul, maka baptisan percik lebih Alkitabiah ketimbang baptis selam. Shedd berkata bahwa baptisan sakramental oleh imam Lewi selalu dilakukan dengan percik, tidak pernah dengan menyelamkan. Alasan-alasan yang dikemukakan Shedd adalah (1) Seluruh umat di Sinai dibaptis dengn percik (Kel 24:6-8; Ibr 9:19-20). (2) ketika orang-orang Lewi dikuduskan untuk bertugs dibaptis dengan percik (Bil 8:7). (3) Orang-orang kusta dan cacat ketika dipulihkan ke dalam jemaat dibaptis dengan percik (Im 14:4-7; 49-53; Bil 19:18-19; 31:19-23; Luk 5:14). (4) Ketika orang asing masuk menjadi orang Yahudi dibaptis dengan percik (Bil 31:12).[2]  Karena baptis percik atau tuang adalah cara yang bervariasi di dalam PL maka sangat mungkin Yohanes Pembaptis membaptis orang dengan percik.[3]  Dan tentu saja cara membaptis dengan percik atau tuang sangat mungkin dilakukan saat Pentakosta (Kis 2:41), saat membaptis sida-sida dari Ethiopia (Kis 8:36) karena perjalanan dari Yerusalem ke Gaza adalahb padang gurun (Kis 8:26)), saat membaptis Kornelius dan seisi rumahnya (Kis 10:2). Frase “dan seisi rumahnya” dalam ayat tersebut mengimplikasikan bahwa baptisan dijalankan di rumah, ketika dikatakan “bolehkah orang mencegah untuk muembaptis orang-orang ini dengan air...?” (Kis 10:47).
Perlu ditambahkan bahwa pengurapan bagi nabi (1Raj 19:16), imam (Kel 29:7) dan raja (1Sam 10:1; 16:13) di dalam Perjanjian Lama selalu dengan cara menuangkan minyak dari atas yang melambangkan bahwa penetapan, perintah, restu dan berkat untuk melakukan tugas-tugas jabatan tersebut adalah berasal dari Allah. dan jika hal ini kita kaitkan dengan cara percik atau tuang di dalam baptisan air, maka prinsip yang sama dapat diterapkan, yakni bahwa walaupun yang melayankan sakramen baptisan air adalah pendeta, namun penetapan, perintah, restu dan berkat dalam pelaksanaan baptisan air tersebut berasal dari Allah. dengan demikian baptisan percik atau tuang lebih dapat diterima secara teologis ketimbang baptisan selam. Mengapa? Karena praktik seperti ini tidak dapat dilacak asal mulanya di dalam Perjanjian Lama. Seseorang yang melangkahkan kakinya untuk menginjak air, lalu masuk ke dalamnya dan kemudian keluar lagi; apa makna teologis di balik cara membaptis seperti ini?

Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR: Malang, 2015), 819-820.



[1] William G.T. Shedd, Dogmatic Theology, (Phillipsburg, New Jersey: P&R, 2003), 821.
[2] Ibid., 819
[3] Ibid.

Jumat, 23 September 2016

Keunikan Teologi Reformed

KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED

              Sebenarnya banyak pokok yang merupakan keunikan dari teologi reformed, namun dibawah hanya akan dibatasi dalam beberapa pokok saja:

1.       Kedaulatan dan Kemuliaan Allah

          Kedaulatan Allah dan kemuliaan Allah adalah 2 kata yang sangat penting dalam teologi reformed. Karena Allah adalah Allah yang berdaulat, maka segala sesuatu ada karena Dia yang menghendakinya. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Dia. Dosa dan kejahatan dari makhluk bermoralnya pun ada di dalam ketetapan Allah yang bersifat mengizinkan, walaupun menurut natur-Nya yang suci Allah tidak pernah menghendaki hal itu terjadi. Tetapi oleh kebijaksanaan-Nya yang kekal, Allah memilih untuk mengizinkan hal yang tidak dikehendaki-Nya tersebut untuk suatu tujuan yang mulia bagi diri-Nya sendiri. Kedaulatan Allah juga bersangkut paut dengan kontrol-Nya atas segala sesuatu. Tidak ada satu hal pun yang lepas dari kontrol-Nya. Jika Allah  berdaulat mutlak atas segala sesuatu, maka tujuan utama dari segala sesuatu yang ada hanyalah untuk diri-Nya sendiri. Itu sebabnya di dalam pertanyaan pertama Katekismus Singkat Westminster dikatakan “apakah tujuan utama hidup manusia?” Jawabannya adalah “tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”.

2.       Wahyu umum dan wahyu khusus

            Wahyu umum adalah wahyu Allah di dalam alam ciptaan dan manusia. Wahyu umum meliputi kesadaran akan Allah (sense of Deity), rasio manusia (Rm 1:10-20), hati nurani (Rm 2:14-15) dan alam ciptaan diluar diri manusia (Mzm 19:2-5; Rm 1:20). Sedangkan wahyu khusus adalah inkarnasi Kristus dan Alkitab. Karena teologi reformed percaya bahwa segala kebenaran Allah adalah kebenaran Allah , maka teologi reformed percaya bahwa segala kebenaran Tuhan dalam wilayah alam semesta secara umum adalah kebenaran Tuhan. Kebenaran yang ditemukan dalam bidang fisika, matematika, ekonomi, filsafat dan sebagainya sejauh kebenaran-kebenaran tersebut adalah kebenaran sejati, merupakan kebenaran Tuhan. Itu sebabnya orang-orang reformed memiliki semangat yang tidak anti terhadap filsafat  dan ilmu pengetahuan. Seluruh pengetahuan, hikmat dan ilmu yang ada di dalam dunia ini, selama itu adalah pengungkapan wahyu Tuhan secara umum di dalam alam, harus diterima, dipelajari dan dikembalikan untuk kemuliaan Allah. Prinsip yang harus dipegang saat mengungkapkan wahyu umum Allah adalah bahwa semua bidang tersebut harus tunduk di bawah Alkitab; artinya harus diuji dan dihakimi oleh Alkitab.

3.       Anugerah umum dan anugerah khusus

            Anugerah umum adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada semua manusia baik orang percaya maupun orang yang tidak percaya. Yang termasuk anugerah umum misalnya matahari, hujan, kesehatan, kecerdasan, bakat, kekayaan, keindahan alam, seni, makanan, kebenaran-kebenaran umum dalam filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Sedangkan anugerah khusus adalah anugerah keselamatan atau anugerah penebusan Yesus Kristus bagi orang berdosa. Anugerah ini hanya dimiliki dan dinikmati oleh orang-orang percaya.  Pembedaan kedua aspek anugerah ini sangat penting oleh karena fakta mengatakan bahwa banyak orang non Kristen diberi kepintaran, kekayaan, kesehatan dan kesuksesan oleh Tuhan ketimbang orang Kristen sendiri. Sebagai orang Kristen kita tidak harus mendapatkan anugerah umum lebih banyak, dan walaupun demikian kita harus merasa puas dengan keadaan kita. Bukankah kita sudah menerima anugerah khusus, yakni keselamatan dari Tuhan, yang nilainya melampaui segala sesuatu yang ada di dunia ini? Gerakan Kharismatik sekarang sangat mempropagandakan bahwa orang-orang percaya harus sehat, sukses dan kaya. Saya percaya bahwa hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran mereka bahwa anugerah khusus jauh lebih berharga daripada anugerah umum. Alkitab berkata bahwa tidak ada gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia jika ia kehilangan nyawanya. Kita harus bersyukur dan bersukacita atas melimpahnya anugerah umum yang Tuhan berikan kepada kita. Kita harus mengakui bahwa kita membutuhkan air, matahari, oksigen, kecerdasan, uang, seni, filsafat, pengetahuan dan sebagainya. Untuk itu kita harus sekali lagi bersyukur kepada Tuhan yang menganugerahkan hal-hal tersebut kepada kita. Tetapi seandainya kita kurang mendapatkan anugerah umum, maka ucapan syukur kita tidak boleh berkurang, karena kita memiliki sesuatu yang lebih berharga yaitu anugerah keselamatan dan hak istimewa untuk bersekutu dengan Bapa di sorga.            
Keuntungan orang percaya ketika mengerti doktrin ini dengan benar adalah bahwa mereka bisa dengan bebas menikmati hal-hal yang baik dan indah di dalam dunia ini. Kita bisa menikmati keindahan alam, pidato, puisi, novel, musik, film, makanan dan sebagainya, selama semuanya itu tidak melawan kebenaran dan mengandung dosa. Kesalehan kita seharusnya tidak seperti kelompok Fundamentalis dan Injili tertentu yang anti dengan segala macam yang baik dan indah di dalam dunia ini bahkan menganggap semua itu sekular dan tidak suci. Kita seharusnya tidak melupakan bahwa dunia dengan segala keindahannya ini diciptakan Tuhan. Semua yang baik dan indah di dalam dunia ini diberikan oleh Tuhan untuk kita nikmati dan melaluinya kita bersyukur dan memuliakan nama-Nya.
 Perlu untuk diperhatikan bahwa dosalah yang merusak segala sesuatu yang indah di dalam dunia ini. Dengan fakta ini kita boleh menikmati apa saja yang indah dan mulia dalam dunia ciptaan Tuhan ini selama hal itu tidak melawan firman Allah dan tidak mengandung dosa. Calvin mengatakan bahwa Tuhan menciptakan makanan bukan hanya untuk kebutuhan kita, tetapi juga untuk kenikmatan dan kesenangan kita.[1]  Calvin adalah orang yang sangat disiplin dan  tidak sembarangan membuang-buang waktu dengan bersenang-senang. Namun kita melihat disini bahwa Calvin tidak anti dengan segala anugerah umum Tuhan di dalam dunia ini.            
Namun kita harus berhati-hati agar hidup kita tidak diikat oleh anugerah umum sehingga menjadikan kita buta terhadap Sang Pemberi anugerah dan juga membuat kita lupa untuk memikirkan dan mengutamakan perkara-perkara kekal dalam anugerah khusus. Walaupun kita menikmati segala hal yang baik dan indah dalam dunia ini sebagai anugerah Tuhan, namun kita haruslah tetap memegang prinsip bahwa melihat seseorang bertobat dan menerima Kristus jauh lebih indah dan mulia daripada kebaikan dan keindahan anugerah umum.  

4.       Mandat budaya

Keunikan lain lagi dari teologi reformed adalah pengajarannya tentang mandat budaya. Mandat budaya adalah melaksanakan perintah Tuhan di dalam Kejadian 1:28 dan 2:15, dimana manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk memenuhi, menaklukan dan menguasai seluruh bumi dan isinya serta memeliharanya. Perintah ini tetap harus dijalankan walaupun dunia ini sudah jatuh ke dalam dosa. Dan oleh karena kejatuhan, pelaksanaan dari perintah tersebut menjadi semakin kompleks, yakni ketika menjalankan mandat budaya, kita tidak hanya berurusan dengan alam dan isinya saja, tetapi juga berurusan dengan manusia-manusia berdosa yang eksis di dalamnya. Karena itu, mandat budaya setelah kejatuhan bukan hanya sekadar memenuhi, menaklukan dan memelihara bumi beserta isinya, tetapi juga bagaimana orang-orang percaya bergerak untuk mempengaruhi orang-orang berdosa agar di segala bidang dimana orang Kristen bekerja, pengaruh firman Tuhan dapat dirasakan dan mempengaruhi budaya manusia yang berdosa sehingga tidak bertambah rusak, melainkan menjadi lebih baik.    


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR: Malang, 2015), 93-97.                   

[1] John Calvin, Institutes oh the Christian Religion, Book III. X.2, trans. Henry Baveridge (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1997),32.


Prinsip-prinsip Penting dalam Teologi dan semangat Reformed

Prinsip-prinsip Penting dalam Teologi dan Semangat Reformed
\


 Kesetiaan yang tinggi kepada Alkitab


Istilah back to bible tidak hanya menjadi sekadar semboyan ataupun diselewengkan dengan hanya mengacu atau menekankan ajaran-ajaran tertentu di dalam Alkitab, seperti yang terjadi di dalam kalangan Pentakosta dan Kharismatik. Tetapi makna dari istilah back to bible adalah sungguh-sungguh kembali kepada keseluruhan ajaran Alkitab dari Kejadian – Wahyu. Oleh sebab itu, ajaran yang Alkitabian haruslah merupakan sebuah konsep yang menyeluruh dan utuh. Perhatikan 3 contoh berikut: (1) Konsep hewan yang dibunuh Tuhan di Taman Eden untuk menutupi ketelajangan Adam dan Hawa dan konsep mengenai korban-korban dalam uapcara agama Israel adalah simbol bagi Kristus yang mati untuk kita. (2) Konsep Adam pertama yang tidak taat, yang menyebabkan seluruh umat manusia yang diwakilinya menjadi berdosa dengan konsep Adam yang kedua – yakni Kristus – yang melalui ketaatan-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, semua umat pilihan Allah diselamatkan. (3) Konsep sunat dalam zaman Abraham dan keturunannya sebagai tanda yang kelihatan dari orang-orang yang terhisab didalam perjanjian antara Allah dan Abrahaham dengan konsep baptisan air Perjanjian Baru, dimana hal itu adalah lambang baptisan Roh yang tidak kelihatan, yang dilakukan oleh Kristus kepada Gereja-Nya. jadi reformed melihat bahwa seluruh Alkitab (PL dan PB) memiliki kaitan yang sangat erat, tidak terputus, dan mengalami jatuh-bangun secara bersama-sama. 

    

Menakankan hal-hal yang bersifat esensial daripada hal-hal yang bersifat fenomenal


Teologi reformed selalu membicarakan hal-hal yang bersifat prinsp, karena segala sesuatu yang terlihat dari luar memiliki inti/prinsip dibaliknya. Jadi penekanannya lebih kepada metode, wawasan dunia, bahkan presaposisi. Peperangan reformed adalah peperangan prinsip melawan prinsip, metiode melawan metode, wawasan dunia melawan wawasan dunia serta presaposisi melawan presaposisi. Karena itu, Abraham Kuyper – ketika berhadapan dengan Modernisme – mengatakan bahwa jika pertempuran tersebut harus dilakukan dengan hormat dan dengan harapan untuk kemenangan, maka prinsip harus dihadapakan dengan prinsip dan sistem hidup harus dihadapakan dengan sistem hidup.[1]  Peperangan ini juga memiliki antitesis mutlak . apakah hubungan antara terang dan gelap, Kristus dengan Beelzebul, Injil dengan kekafiran?






  Melawan arus dunia berdosa

Teologi dan semabngat reformed tidak perlu mengikuti kecenderungan (trend) dunia berdosa ini, melainkan menciptakan trend reformed sendiri yang setia kepada firman Allah. Seperti Luther dan Calvin yang tidak mengikuti arus gereja yang korup saat itu, dimana mereka mengorganisir pengikut dan orang-orang percaya yang ingin kembali kepada ajaran Kristen yang sejati, demikianlah juga seharusnya teologi dan semangat reformed ini diajarkan dan dijalankan. Semangat seperti inilah yang menjadi rahasia, mengapa golongan-golongan atau gereja-gereja tertentu yang memegang tradisi reformed dengan kukuh tidak dapat dipengaruhi ketika Liberalisme dan bidat-bidat menyapu gereja.











[1] Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism, (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2002), 11.

Teologi dan Semangat Reformed

Teologi dan Semangat Reformed

Ada salah pengertian mengenai istilah Reformed, yakni mensejajarkannya begitu saja dengan istilah Reformasi yang dimulai oleh Martin Luther. Ini adalah sebuah salah kaprah. Memang benar bahwa istilah Reformasi dan Reformed mempunyai kaitan yang sangat erat. Reformasi adalah istilah yang menunjuk kepada reformasi abad ke-16 secara keseluruhan yang dimulai oleh Martin Luther (1483-1546). Titik awalnya adalah penempelan 95 tesis Luther pada tembok Gereja Wittenberg di Jerman, tanggal 31 Oktober 1517, untuk melawan ajaran Gereja Roma. Dari Jerman kemudian reformasi meluas ke mana-mana, dan muncullah tokoh-tokoh seperti Zwingli (1484-1531) dan Bullinger (1504-1575) di Zὓrich (Swiss), John Knox (1514-1572) di Skotlandia, dan sebagainya.
Dalam perkembangan reformasi yang kemudian, pengikut-pengikut Luther, menamakan diri sebagai Lutheran, mengacu kepada Luther dan ajarannya. Istilah ini dipakai untuk membedakan diri mereka dan sayap reformasi yang lain. Pengikut Calvin di Jenewa, yang juga merupakan sayap reformasi tersendiri, menamakan diri Calvinis (lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka disebut Calvinis oleh mereka yang berbeda aliran). Oleh karena banyak kesesuaian antara ajaran Calvin dan Zwingli, maka kemudian Zwingli dan pengikut-pengikutnya juga dikenal sebagai Calvinis, bahkan sebagai Calvinis yang lebih awal. Bavinck bahkan berkata bahwa teologi Reformed bermula dari Zwingli.[1] Namun Bavinck juga berkata bahwa Zwingli hanya meletakkan garis keliling yang di dalamnya beragam corak di dalam gereja-gereja Reformed kemudian terbentang.[2]
Istilah Calvinis kemudian dipikir terlalu menonjolkan nama Calvin dan kurang netral, sehingga penerus-penerus Calvin seperti misalnya Theodorus Beza, lebih senang menggunakan istilah Reformed yang memiliki arti, “yang direformasikan.” Jadi, istilah Reformed tidak setara dengan istilah Reformasi, karena istilah itu lebih merupakan padanan kata bagi istilah Calvinis. Namun perlu untuk ditambahkan bahwa oleh karena Luther adalah yang memulai reformasi, dan bahwa dalam banyak pokok yang penting Luther dan Calvin sepakat, maka boleh dikatakan bahwa Luther juga bisa digolongkan seorang teolog Reformed sebagaimana yang terjadi pada Agustinus (354-430), walaupun istilah Calvinis yang seharusnya setara dengan istilah Reformed, tidak dapat disandingkan dengan nama Martin Luther.
Istilah Calvinis ini juga merupakan semacam nama ejekan bagi mereka yang terlampau setia kepada ajaran Calvin. Oleh karena hal ini, maka golongan Calvinis yang mengacu kepada ajaran Calvin dan juga kepada ajaran semua  tokoh reformasi yang lain, bahkan juga berakar pada ajaran pada ajaran Agustinus, asalkan ajarannya kembali ke Alkitab (back to bible) disebut sebagai golongan Reformed. Sedangkan golongan Calvinis murni yang mengikuti seluruh ajaran Calvin secara eksklusif disebut Calvinis.
Tatapi menurut hemat saya, pembedaan istilah tersebut di atas terlalu dipaksakan, karena seorang Calvinis sejati harus juga mengikuti bukan hanya ajaran Calvin, tetapi juga semangatnya untuk kembali kepada Alkitab. Jika demikian, maka semua ajaran yang berdasarkan pada Alkitab – sejak zaman gereja mula-mula sampai sekarang – bisa disebut sebagai Calvinis. Jadi, istilah Reformed dan Calvinis merupakan istilah yang setara di dalam pengertian dan penggunaannya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa memilih untuk menggunakan kata Reformed lebih bijaksana untuk menghindari diri kita dari menonjolkan atau meninggikan nama seseorang.
Ada satu istilah lain yang serumpun dengan istilah Calvinis dan Reformed yaitu Presbiterian dan Puritan. Istilah Presbiterian dipakai oleh gereja-gereja Reformed atau Calvinis, karena mengacu kepada tatanan gerejanya yang memakai sistim presbiterial (pemerintahan gereja yang dijalankan oleh presbiter/majelis) sesuai dengan ajaran Calvin. Adalah John Knox (pernah menjadi murid Calvin di Jenewa) dan orang Calvinis Skotlandia yang mempopulerkan istilah Presbiterian untuk pertama kali, dengan tujuan membedakan tata gereja mereka yang bersifat Calvinis (Presbiterial) terhadap gereja Inggris (Anglikan) yang tata gerejanya bersifat keuskupan).
Istilah Puritan (dari kata pure – Ingg., murni) adalah istilah yang mengacu kepada orang-orang Calvinis Inggris yang memiliki semangat yang tinggi untuk memurnikan ajaran dan kehidupan praktis orang-orang percaya yang didasarkan pada teologi Reformed. Dari tradisi Puritan inilah Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster dihasilkan. Namun tak dapat dihindari bahwa istilah Puritan kemudian memiliki konotasi negatif bagi segolongan orang-orang tertentu yang sesungguhnya tidak memahami apa itu tradisi Puritan yang sejati. Menurut pandangan mereka, golongan Puritan adalah mereka yang tidak suka menikmati segala hal yang baik dan indah di dunia ini, kikir, mirip ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi. Pandangan semacam ini tentu benar-benar keliru. Namun ada juga kritikan yang cukup baik seperti yang timbul dalam kalangan Reformed sendiri mengenai puritanisme di Amerika. Kritikan itu misalnya yang datang dari John Van Dyk yang mengatakan bahwa Puritanisme belum tentu adalah Calvinis. Sebagai contoh, pembelajaran Puritan sesungguhnya bersifat rasionalistik di dalam karakternya.[3]
John Calvin sebagai pendiri teologi Reformed (atau yang pertama kali memberikan corak yang paling lengkap dan sistematis mengenai iman Reformed), memulai reformasinya di Jenewa pada tahun 1535, dan pada tahun 1538 dipecat dari sana karena aturan Calvin yang dianggap terlalu ketat, tetapi dipanggil kembali tiga tahun kemudian. Calvin adalah seorang yang memiliki pikiran yang sangat sistematis. J. S. Whale berkata bahwa jika Luther segolongan dengan para raksasa intuisi religius seperti Paulus, Agustinus, Bernard dari Clairvaux, George Fox, maka Calvin sealiran dengan doktor-doktor dan pangeran –pangeran gereja seperti Tertulianus, Athanasius, Gregory the Great, Thomas Aquinas, Hooker dan Bellarmine.[4] Sesungguhnya, apa yang Aquinas lakukan bagi Katholikisme klasik dengan Summa, Calvin lakukan bagi Protestantisme klasik di dalam Institutio.[5]
Pada umur 26 tahun Calvin sudah menyelesaikan buku dogmatika Kristen yang berjudul “Pengajaran-Pengajaran Agama Kristen (Religionis Christianae Institutio atau Institutio Christianae Religionis – Latin, Institutes of the Christian Religion – Inggris).” Buku paling penting di dalam tradisi Reformed ini ditulis pada tahun 1535 dan terbit pertama kali tahun 1536, kemudian terbit lagi tahun 1539 dan terakhir 1559. Buku inilah yang menjadi patokan utama bagi buku-buku  teologi Reformed yang kemudian. Konsep-konsep penting di dalam teologi Reformed seperti wahyu umum dan wahyu khusus, anugerah umum dan anugerah khusus, providensi dan predestinasi, manusia sebagai tubuh dan jiwa, Kristus sebagai Nabi, Iman dan Raja, sudah dibicarakan di dalam Institutio. Konsep-konsep ini dikembangkan lagi oleh teolog-teolog Reformed yang kemudian. Setelah Calvin meninggal, gerakannya diteruskan oleh Theodorus Beza. Dari Jenewa, reformasi Calvin meluas ke Belanda, Inggris, Skotlandia dan pada akhirnya ke benua baru yakni Amerika. Itu sebabnya, selain Jenewa, teologi reformed mempunyai 3 tradisi utama yakni tradisi reformed Belanda, reformed Inggris dan Skotlandia serta reformed Amerika.
Tradisi reformed Belanda memiliki warisan-warisan seperti Pengakuan Iman Belanda (1561) yang ditulis di Belanda Selatan oleh seorang Pendeta Belanda bernama Guy de Bres (juga disebut Guido de Bray/Guy de Bray pada 1522-1567) dalam bahasa Prancis. Warisan lain adalah pasal-pasal Dordrecht (1618-1619) yang merupakan hasil konsili Gereja reformed Belanda (hadir juga utusan dari Gereja-gereja reformed Inggris dan daerah lain). Ajaran Dordrecht ini dirumuskan untuk melawan pandangan Arminianisme dalam doktrin keselamatan. Pasal-pasal ini biasa disingkat TULIP (Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irisistable grace dan Perseverance of the saints). Warisan terakhir dari reformed Belanda adalah Katekismus Heidelberg yang ditulis oleh Zacharias Ursinus (1534-1583) dan Kaspar Olevianus (1536-1587) dari Jerman Selatan, namun kemudian menjadi sangat populer di Belanda. Ketiga warisan ini diterima sebagai Tiga Pasal Keesaan oleh Gereja-gereja reformed Belanda. Tradisi reformed Belanda juga menghasilkan 2 raksasa reformed yakni Abraham Kuyper dan (1837-1920) dan Herman Bavinck (1854-1921), disampaing tokoh-tokoh penting seperti Hendra de Cock (1801-1842), reformator Belanda tahun 1834 dan Groen van Prinsterer (1801-1876). Teolog-teolog dan filsuf reformed Belanda yang juga patut untuk disebut adalah Watsius (1636-1708), Voetius (1589-1676), De Moor (1709-1780), Vitringa (1659-1722), Van Mastrick, Walaeus (1573-1639), Honig, Schilder (1890-1951), Dooyeweerd (1894-1977) dan Berkouwer (1903-1996).
Perlu diketahui bahwa Gereja-gereja Calvinis yang tercakup ke dalam Gereja arus utama di Indonesia merupakan hasil misi Gereja reformed Belanda, baik dari misi (zending) gereja Hervormd maupun Gereformeerd. Istilah arus utama saya pakai dengan catatan bahwa istilah ini sudah biasa dipakai untuk Gereja-gereja Protestan hasil misi Belanda seperti GKI, GPIB, GPI, GMIT, GMIM dan yang semacamnya, termasuk juga HKBP yang merupakan hasil misi Lutheran Jerman.
Tradisi reformed Inggris memiliki warisan Pengakuan Iman Westminster serta Katekismus, baik Katekismus besar dan kecil, yang dihasilkan oleh sidang Gereja reformed berbahasa Inggris tahun 1642-1647. Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster ini dijadikan standar bagi teologi kaum Puritan dan Presbiterian. Tradisi ini juga mewariskan apa yang biasa disebut sebagai etos kerja Puritan (reformed), dimana kaum Puritan dengan segala keunikannya yakni kesalehan hidup, kerja keras, hidup hemat serta keinginan yang kuat untuk memuliakan Allah di dalam segala bidang kehidupan diwariskan kepada kita sekarang ini. Tokoh-tokoh Puritan yang terkenal antara lain John Owen (1616-1683), Richard Bexter (1615-1691), John Howe (1530-1705), Thomas Ridgeley (1666-1734), John Bunyan (1628-1688) yakni seorang Puritan Baptis yang menulis Pilgrim Progress, juga termasuk Oliver Cromwell (1599-1658) yang pernah memberontak terhadap kerajaan Inggris dan memerintah tahun 1649-1658 dengan gelar The Lord Protector. Pada abad ke 18 Inggris melahirkan seorang pengkhotbah KKR Calvinis yang besar yang sezaman dengan Jonathan Edwards di Amerika yakni George Whitefield (1714-1771). Disamping tokoh-tokoh Puritan Inggris, di Skotlandia juga muncul tokoh-tokoh Presbiterian diantaranya adalah Thomas Boston (1676-1732), John Dick (1764-1833) dan Thomas Chalmers (1780-1791).
Tradisi reformed Amerika dimulai dari perpindahan orang-orang Calvinis dari Eropa ke benua tersebut. Seorang sejarawan Jerman bernama Ranke (1795-1886) mengatakan bahwa sekitar 600 ribu orang Puritan Inggris, 900 ribu orang Protestan Skotlandia dan 400 ribu orang campuran reformed Belanda dan Jerman, merupakan pendiri Amerika Utara. Di benua baru tersebut mereka berharap dapat beribadah dengan leluasa menurut ajaran reformasi tanpa ada hambatan dari pemerintahan. Hal ini terutama dirindukan oleh orang-orang Puritan Inggris yang ditindas oleh Gereja Anglikan di negara asal mereka.
Ada warna kebangunan rohani di tradisi reformed Amerika ini, yang dimulai oleh Jonathan Edwards (1703-1750). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa seluruh rangkaian kebangunan rohani yang terjadi di Amerika dari zaman Jonathan Edwards sampai kepada Billy Graham (1918-) dmulai dari seorang tokoh reformed walaupun penerus mereka tersebut pada akhirnya bukan orang-orang reformed. Pada zaman yang sama dengan Edwards, di Inggris bangkit juga tokoh kebangunan rohani reformed yang terkenal yaitu George Whitefield sebagaimana yang sudah disebutkan di atas.
Harus juga dibicarakan bahwa Princeton (old princeton) pada abad ke 19, dengan tokoh-tokoh seperti Archibald Alexander (1772-1851), Charles Hodge (1797-1878), A.A. Hodge (1823-1886), B.B. Warfield (1851-1921) dan Geerhardus Vos (1862-1949) ikut mewarnai percaturan teologi dan gerakan reformed di Amerika. Pada zaman itu, Princeton dikenal sebagai benteng yang paling tangguh bagi Calvinisme dan berperang melawan Modernisme dan Teologi Liberal dengan sangat gigih. Keunikan teologi Old Princeton ini adalah berkenaan dengan pembelaannya terhadap ketidakbersalahan Alkitab melawan Modernisme dan teologi Liberal. Namun belakangan Princeton malah setuju dengan Modernisme dan Liberalisme, sehingga seorang teolog yang bernama John Grescham Machen (1881-1937) merasa perlu keluar dari Princeton dan mendirikan seminari sendiri yakni Westminster Theological Seminary. Seminari ini kemudian dikenal sebagai penerus dari teologi Old Princeton dengan dasar teologi reformed yang sangat kokoh. Teolog seperti John Murray (1898-1975) dan apologet reformed Belanda-Amerika seperti Cornelius Van Til (1895-1987) merupakan profesor-profesor yang pernah belajar di seminari ini.
Di Amerika, orang-orang reformed Belanda juga memiliki Gereja sendiri yakni Dutch Reformed Church dan Christian Reformed Church serta memiliki sebuah seminari yakni Calvin Theological Seminary. Banyak teolog Belanda-Amerika yang terkenal seperti Geerhardus Vos, Louis Berkhof (1873-1957), William Hendriksen (1900-1982) dan Anthony Hoekema (1913-1988). Ketiga nama terakhir tersebut adalah profesor-profesor teologi di Calvin Seminary. Satu lagi seminary yang patut disebut di Amerika yakni Reformed Theological Seminary, dimana R.C. Sproul  (1939-) dan Ronald H. Nash (1936-2006) pernah mengajar. Teolog-teolog Calvinis Amerika lainnya yang harus disebut juga adalah Henry B. Smith (1815-1877), Roberth J. Breckinridge (1800-1871), William G.T. Shedd (1820-1894) dan R.L. Dabney (1820-1898).
Perlu untuk ditambahkan bahwa secara khusus di Asia, gereja-gereja yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Calvinis adalah gereja-gereja di Indonesia dan Korea Selatan. Untuk di Indonesia dapat dikatakan bahwa hampir seluruh organisasi gereja yang lama, yakni yang merupakan hasil misi gereja Belanda adalah Calvinis. Dan didalam beberpa puluh tahun terakhir ini muncul sebuah gerekan reformed yang disebut sebagai Gerakan Reformed Injili yang dipelopori oleh Stephen Tong (1940-). Beliau adalah pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia dan Sekolah teologi Reformed Injili Internasional. Apakah tradisi reformed Asia bangkit dari gerakan ini? Kelihatannya memang demikian, tetapi tidak bijaksana jika kita terlalu awal menyimpulkannya. Biarlah zaman berikutnya yang membuktikannya.
Perlu ditambahkan pula bahwa diluar Gereja Reformed dan Presbiterian, ada juga orang-orang Calvinis dari gereja Baptis Calvinis Inggris yang sangat terkenal seperti Charles Spurgeon (1834-1892). Karena keahliannya di dalam berkhotbah yang sangat memukau, Spurgeon dijuluki sebagai Prince of Preacher. Seorang teolog Baptis Reformed juga patut disebut yakni Augustus Hopkins Strong (1836-1921) yang menjabat sebagai presiden dan professor di Rochester Theological Seminary. Tak hanya dari kalangan Baptis, dari kalangan Gereja Anglikan juga ada yang dipengaruhi oleh tradisi reformed dan merupakan raksasa Injili seperti John Stott (1921-2011), bahkan secara khusus J.I Packer (1926-), profesor di Regent College ikut mengajarkan dan mempromosikan teologi reformed.

Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (GKKR, Malang 2015), 83-91.



















[1] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol 1 Prolegomena (Grand Rapids: Baker Book House, 2004), 177.
[2] Ibid, 178.
[3] John Van Dyk, “From Deformation of Refomation,” dalam Will all the King’s men …, Out of Concern for the Church Phase II (Toronto: Wedge Pub. Foundation, 1972), 84.
[4] J. S. Whale, The Protestant Tradition (London: Cambridge University Press, 1955), 121.
[5] Ibid.

Selasa, 06 September 2016

Kepalsuan Pandangan Pluralisme

KEPALSUAN PANDANGAN PLURALISME

              Seperti halnya Relativisme Postmo, pandangan Pluralisme agama yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, juga memiliki semangat both/and yang sama dan tentu saja memiliki sifat kontradiktif. Ramakhrisna (1836-1886), seorang Hindu yang dianggap suci dalam dunia modern, mengatakan bahwa semua agama adalah sama; dan agama-agama tersebut hanyalah jalan yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan puncak yang sama; semua menuju Tuhan yang sama. Bagi dia, sebagian orang menyebut Tuhan itu God, sebagian lagi menyebutnya sebagai Allah, sebagian lagi menyebutnya Yehovah dan sebagian lainnya menyebutnya Brahman.[1]   Sebuah ilustrasi yang dipakainya adalah sebagai berikut: “Ada seorang pria yang menyembah Shiwa, tetapi membenci semua allah yang lain. Suatu hari Shiwa menampakkan diri kepadanya dan berkata: ‘Aku tidak akan pernah disenangkan olehmu selama engkau membenci. Orang tersebut tetap diam. Beberapa hari kemudian Shiwa menampakkan diri lagi kepadanya. Kali ini salah satu sisi badannya adalah Shiwa dan satu sisinya lagi adalah Wisnu; orang tersebut separuh senang dan separuh lagi tidak senang. Dia menampakkan persembahannya di sebelah sisi yang menampakkan rupa Shiwa dan tidak memberikan apapun disebelah sisi yang menampakkan rupa Wisnu. Lalu Shiwa berkata: "kefanatikanmu tidak dapat ditaklukan. Aku, dengan mengambil aspek ganda ini, mencoba meyakinkan engkau bahwa semua allah dan keallahan hanyalah aspek-aspek yang berbeda dari satu Brahman yang Absolut.” Pandangan seperti yang dipegang oleh Ramakhrisna ini, selain bermuatan Pluralisme agama, juga bersifat Panteistik. Ramakhrisna sendiri, sebagai seorang yang asli Hindu pernah berpindah-pindah agama lalu kembali lagi ke agama semula. Namun pertanyaan yang harus kita ajukan kepadanya adalah “jika semua agama sama, mengapa ia berpindah-pindah agama seperti itu?” Atau jika semua agama sama, mengapa dia kembali lagi ke agama Hindu dan tidak menetap saja di agama Islam atau Kristen? Mari kita membongkar kontradiksi-kontradiksi dari Pluralisme Agama dengan beberapa pernyataan di bawah ini:

1.       Jika seorang Pluralis berkata bahwa semua agama sama saja sedangkan dia sendiri hanya memeluk satu agama tertentu secara eksklusif, dalam pengertian bahwa dia tidak menggilir semua agama secara konsisten dan terus menerus seumur hidupnya atau secara bersamaan memeluk semua agama secara sama rata, maka pada dasarnya dia bukanlah seorang Pluralis sejati. Terdapat ketidaksesuaian antara kepercayaannya dengan kehidupan praktisnya.
2.      Jika seseorang pluralis hidup sebagai seorang pluralis sejati, dalam pengertian bahwa dia menggilir semua agama secara terus-menerus sepanjang hidupnya atau memeluknya bersamaan, dan jika ia mengakui bahwa cara beragama satu-satunya yang benar adalah cara pluralisme semacam itu, maka secara otomatis dia menciptakan sistem agama baru yang eksklusif. Dan jika hal itu terjadi, maka semangat both/and dari Pluralismenya secara otomatis gugur dengan sendirinya saat ia mengeksklusifkan hal tersebut.

3.       Jika seorang plurallis berkata bahwa dia tidak perlu menggilir semua agama, karena jika semua agama sama, maka tidak ada bedanya antara tetap pada agama yang sekarang dianutnya atau menggilir setiap agama. Jadi, dia tetap memilih untuk menganut agamanya karena semua agama sama saja, kita dapat berkata kepadanya bahwa jika dia tetap pada agamanya dan tidak mencoba menggilir semua agama yang lain, maka bagaimana ia dapat mengetahui bahwa semua agama sama? Artinya, sebelum ia mencoba setiap agama, darimana ia mengetahui kesamaannya?

4.       Berkenaan dengan poin ketiga diatas, seorang pluralis masih bisa berkelit dengan mengatakan bahwa untuk mengetahui kesamaan semua agama, bukan sebuah keharusan untuk memeluk semua agama. Bukankah dengan membaca dan mempelajari ajaran dari semua agama, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa semua agama itu sama? Namun kita bisa dengan gampang bertanya kepadanya dimana letak kesamaan antara iman Kristen dengan agama-agama lain? Dimana letak kesamaan antara pokok ajaran Krisetn yang mengatakan bahwa keselamatan hanya di dalam Kristus dengan pokok ajaran Islam yang mengatakan bahwa keselamatan hanya melalui perbuatan baik? Jadi, dari sudut pandang manapun seorang pluralis membela diri, kita tetap masih bisa menemukan kontradiksi di dalamnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya Pluralisme adalah pandangan yang sarat dengan kepalsuan dan kontradiksi.


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2015),  46-49.




[1]G. Lee Bowie, Meredith W. Michaels, Roberth C. Solomon – ed., Twenty Questions, An Introduction to Philosophy, (San Diago New York, Chicago Austin, D.C. London Sydney Tpkyo Toronto: Harcourt Brace Jovanovic, Pub., 1988), 40.

Kepalsuan dan Bunuh Diri Postmodernisme

KEPALSUAN DAN BUNUH DIRI POSTMODERNISME

Postmodern adalah sebuah era setelah Modern, baik itu di dalam pengertian filsafatnya yaitu Postmodernisme, maupun dalam dalam pengeritan budayanya yakni Postmodernitas yang merupakan perlawanan terhadap budaya Modernitas. Jika Modernisme menekankan validitas kebenaran berdasarkan obyektifitas dan universalitas, maka Postmodernisme melihat kebenaran sebagai sesuatu yang bersifat subyektif dan relatif. Kelahiran Postmodernisme sebagaimana di tulis oleh Grenz, terjadi di St. Louis pada tanggal 15 Juli 1972 pada pukul 3:32 PM.[1] Ini mengacu kepada penghancuran gedung Pruitt-Igoe di St. Louis yang disebut sebagai landmark dari arsitektur Modern. Ketika pemerintah kota tidak sanggup lagi merenovasi gedung tersebut, mereka memutuskan untuk menghancurkannya dengan dinamit.[2]Seorang pendukung arsitektur Postmodern yakni Charles Jencks, mengatakan bahwa peritiwa tersebut sebagai simbol dari kematian Modernitas sekaligus kelahiran Postmodernitas.[3] Berikut ini adalah argumen-argumen yang dapat digunakan untuk melawan relativisme Postmo:

Slogan “Tidak Ada Kebenaran Mutalak” merupakan sebuah pernyataan kontradiktif.                   Filsafat Postmodern sangat menolak obyektivitas. Mereka menggantinya dengan penilaian yang bersifat subyektif dengan mengatakan “ Tidak Ada Kebenaran Mutlak”. Tetapi sebenarnya pernyataan ini bersifat kontradiktif. Mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak akan memunculkan dua hal yang saling bertentangan:
a. Bahwa tidak ada kebenaran mutlak (sesuai dengan pernyataan tersebut)
b. Bahwa pernyataan itu sendiri menjadi sesuatu yang mutlak (karena bagi orang                           Postmodern, pernyataan itulah satu-satunya kebenaran mutlak, yakni bahwa tidak                        ada kebenaran mutlak).
c. Kesimpulannya: Pada waktu yang sama dan di dalam pengertian yang sama,                                 pernyataan itu memunculkan ketidakmutlakan sekaligus kemutlakan. Inilah                                   kontradiksinya.
Ilustrasi berikut menggmbarkan kontradiksinya dengan sangat jelas. Ravi Zacharias (1946) pernah membongkar irasionalitas Postmodern, yakni berkenaan dengan gedung kesenian di Ohio State University. Newsweek mencap gedung itu sebagai gedung dekonstruksi yang pertama. Dikatakan bahwa gedung itu perancahnya berwarna putih, menaranya dari bata merah dan bagian-bagian yang ditanami rumput Colorado mengundang kekaguman. Tetapi kita menjadi semakin bingung apabila kita memasuki gedung, karena di dalamnya kita akan menemui tangga yang tidak menuju kemana-mana, tiang-tiang yang tanpa tujuan menggantung di langit-langit; dan permukaan yang bersudut-sudut yang sengaja dibuat untuk menciptakan rasa vertigo. Sang arsitek mengatakan bahwa gedung ini mencerminan kehidupan yang tidak menentu dan membingungkan.[4]Mendengar hal itu, Ravi menanyakan apakah fondasi gedung juga dibuat seperti itu? Bukan main! Tentu, fondasi gedung itu tidak bersifat dekonstrustif bukan? Jika demikian, gedung itu akan rubuh.

Ketika Postmodern Menolak Metanarasi, pada Saat yang Sama menjadikan Dirinya sebagai Metanarasi Baru.
Disamping menolak kebenaran mutlak, Postmo juga menolak metanarasi yang mempercayai makna atau kebenaran tunggal. Narasi-narasi besar seperti yang dipunyai oleh Modernisme, Naturalisme dan ilmupengetahuan modern (modern science) serta metanarasi-metanarasi religus agama-agama termasuk Kristen juga ditolak oleh orang-orang Postmo. Sebagai contoh: Mengenai asal mula terjadinya alam semesta ini, apakah yang benar adalah metanarasi Alkitab ataukah metanarasi Alquran atau metanarasi Naturalisme? MenurutPostmo, semua metanarasi tersebut saling memutlakan dirinya dengan cara menolak semua narasi-narasi kecil yang hidup dalam komunitas-komunitas. Karena itu, filsafat modern menolak metanarasi dan memberikan ruang sepenuhnya bagi narasi-narasi kecil. Jean-Francois Lyotard (1924-1998), seorang filsuf Postmo, dalam kata pengantar sebuah bukunya berkata: “… kita mendefinisikan Post-modern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan, namun kemajuan pada gilirannya memang mengharuskan demikian. Pada keusangan sistem metanarasi, legitimasi terutama sekali berhubungan dengan krisis filsafat metafisika dan juga institusi universitas yang bergantung padanya. Fungsi naratif kehilangan fungsinya, pahlawan-pahlawan besar, bahaya-bahaya besar, perjalanan-perjalanan besar dan tujuan yang besar. Ia tidak hanya menghilangkan elemen metafisika dari bahasa naratif, tetapi juga denotative, preskriptif, deskriptif dan lain-lainnya. Masing-masing mengendalikan dirinya sendiri secara pragmatis. Kita seakan hidup di dalam persimpangan dengan banyaknya hal seperti itu. Kita tidak merumuskan kombinasi-kombinasi legitimasi yang kokoh dan penting, kepemilikan kita rumuskan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan”.[5] Ada 2 hal penting yang perlu kita tanyakan kepada Lyotard. (1) Jika narasi Postmo menghilangkan elemen metafisika, denotatif, prekriptif dan deskriptif, mengapa kalimat-kalimat Lyotard di atas mengandung unsur metafisika (karena di dalamnya tidak menyatakan kuantitas dan materi) dan juga mengandung unsur denotatif, preskriptif dan deskriptif? Tanpa unsur-unsur tersebut, maka pernyataan Lyotard di atas tidak akan ada maknanya sama sekali. (2) Dalam tulisaan tersebut, Lyotard berkata bahwa Postmo tidak merumuskan kombinasi-kombinasi legitimasi yang kokoh dan penting, serta kepemilikan dirumuskan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan. Jika demikian, mengapa ia menulis untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan? Dan yang haru kita tambahkan adalah ketika Postmo menolak semua metanarasi dan mengakomodasi narasi-narasi kecil, dengan sendirinya semangat dan prinsip dari Postmo ini menjadi metanarasi yang baru. Lagipula, jika Postmo menolak proyek besar Modernisme, maka dengan sendirinya Postmo menjadi proyek besar lainnya, dan dengan demikian tujuannya untuk menghancurkan “perjalanan besar” Modernisme tidak akan tercapai karena dengan sendirinya hal tersebut akan diganti dengan “perjalanan besar Postmo”. Tetapi bedanya adalah bahwa perjalanan besar Modernisme hendak membawa manusia kepada utopia yang tidak mungkin tercapai, sedangkan perjalanan besar Postmo hendak membawa dunia ini kepada ketidakbermaknaan.

Menyatakan bahwa Sebuah Teks Tidak Memiliki Makna Tunggal Sebenarnya Menghancurkan Pernyataan itu Sendiri.
Salah satu ciri dari filsafat Postmo adalah dekonstruktif, yang dipelopori oleh Jacques Derrida (1930-2004), yang merupakan perlawanan terhadap kaum Strukturalis. Spivak mengatakan bahwa: Strukturalis mengisolasi struktur umum aktivitas manusia. Jadi, strukturalisasi yang akan saya bicarakan ini mencakup bidang studi sastra, liguistik, antropologi, sejarah, sosio ekonomi, pikologi. Struktur adalah sebuah unit yang terdiri atas beberapa elemen yang terdapat di dalam relasi yang sama pada aktivitas yang sedang dideskripsikan. Unit tersebut tidak dapat dipilah-pilah menjadi elemen-elemen terpisah, karena kesatuan struktur tidak ditentukan oleh hakikat substantif elemen-elemen, melainkan oleh hubungan antar elemen tersebut.”[6]Pernyataan kaum Strukturalis tentang keobjektifan struktural didasarkan pada pembedaan antara subjek dan objek. Mereka berkata bahwa objek ditemukan dan dijelaskan oleh subjek. Tujuan dari segenap aktivitas Strukturalis, apakah itu reflektif ataupun puitik, adalah usaha untuk merekonstruksi objek dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memperlihatkan peran dan fungsi objek. [7]Nah, Derrida mempermasalahkan kemungkinan adanya deskripsi objektif. [8]Dalam hal pembacaan sebuah teks, para pemikir dekonstruktif percaya bahwa sebuah teks tidak memiliki arti tunggal, melainkan banyak. Derrida menolak bahwa bahasa memiliki arti tetap yang berhubungan dengan realitas yang tetap, atau bahwa bahasa menyingkapkan kebenaran yang pasti. Ia ingin menarik kita jauh dari prinsip modern (yang mengatakan bahwa sebuah teks pasti memiliki makna tunggal) dan membawa kita kepada kemungkinan-kemungkinan “hermeneutika” terhadap kata-kata tertulis, kemungkinan-kemungkinan yang muncul ketika kita memulai percakapan dengan teks-teks tersebut.[9]Berdasarkan pemahaman Derrida tersebut, orang-orang Postmo  mengatakan bahwa teks itu dapat berubah, tidak memiliki asal-usul yang pasti, identitas dan akhir. Proses menafsirkan sebuah teks itu tidak akan pernah berakhir pada sebuah kesimpulan; setiap pembacaan terhadap teks tersebut adalah dan hanyalah pendahuluan untuk pembacaan berikutnya.[10]Mari kita mengambil pemahaman dekonstruksi Derrida mengenai teks tersebut untuk mengkritisinya. Filsafat Dekonstruksi percaya bahwa tidak ada makna tunggal dalam sebuah teks. Perhatikan penjelasan dari Stanley Grenz berikut: “... Makna tidak melekat di dalam teks itu sendiri, kata mereka, tetapi muncul hanya ketika penafsir (atau pembaca) masuk ke dalam dialog dengan teks itu. Dan karena makna sebuah teks adalah bergantung kepada perspektif dari seseorang yang masuk ke dalam dialog dengannya, maka teks tersebut akan memiliki makna sebanyak pembacanya (penafsirnya).”[11]Mengacu kepada penjelasan Grenz di atas, pandangan dekonstruksi berkata bahwa arti sebuah teks tidak bergantung kepada teks itu sendiri, melainkan muncul ketika penafsir berkontak dengan teks tersebut. Karena arti dari teks tersebut bergantung pada penafsir, maka arti dari teks tersebut pasti sebanyak pembaca/penafsir teks tersebut. Dengan demikian, Dekonstruksi menolak makna tunggal dari sebuah teks. Tetapi jika tidak ada makna tunggal dari sebuah teks, maka bagaimana kita dapat memahami maksud Derrida ketika ia mengatakan bahwa “Tidak ada makna tunggal dalam sebuah reks”? Saya percaya bahwa Derrida bermaksud agar teori dekonstruksinya dimengerti dari sudut pandang Derrida sendiri; dan ini mutlak membutuhkan makna tunggal. Jadi dapat disimpulkan bahwa pernyataan Derrida itu sendiri asumsinya adalah memiliki makna tunggal. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin Derrida berharap bahwa pembaca tulisannya dapat memahami apa yang dimaksudkannya? Saya percaya bahwa seluruh tulisan Derrida memiliki makna yang ia ingin agar pembacanya mengerti. Disini kita kembali menemukan sebuah kontradiksi.


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2015), 36-43. 



[1]Stanley Grenz,  Aprimer on Postmodernism (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1996), 11.
[2]Ibdi.
[3]Charles Jencks, “The Post-Modern Agenda”, di dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles Jencks (New York: St. Martin’s Press, 1992), 24.
[4]Ravi Zacharias, Can man Live Without God, (Batam: Interaksara, 1999), 51.
[5]Jean-Francois Lyotard, Postmodernisme, krisisdanMasaDepanPengetahuan, (Jakarta: terau, 2004), di bagian kata pengantar.
[6]Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pikiran Jacques Derrida; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta; Ar-Ruz, 2003), 107.
[7]Ibdi, 111-112.
[8]Ibdi, 111.
[9]Stanley Grenz, A Primer On Postmodernism, 141.
[10]Ibid, 146.
[11]Ibid, 6.

Dampak Negatif Relativisme Postmodern

DAMPAK NEGATIF RELATIVISME POSTMODERN


Dampak Negatif Relativisme Postmodern
Berikut ini kita akan melihat ilustrasi  bagaimana relativisme dapat mendatangkan malapetaka dan justru merampas manusia dari akar kemanusiaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf Postmo dari Prancis, mempercayai bahwa seksualitas adalah alat dari kekuasaan. Menurutnya, aturan objektif mengenai seks itu hanyalah permainan dan buatan dari pihak-pihak tertentu tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh di lakukan dalam seks. Seksualitas diciptakan oleh kekuasaan sebagai alat untuk mengatakan tidak pada seks. Itulah sebabnya ia mempertentangkan antara seks dan seksualitas. Perhatikan pernyataannya berikut: “... sekarang saya percaya, bahwa dengan menata oposisi antara seks dan seksualitas, sebenarnya saya dibawa mundur kepada penanaman kekuasaan sebagai hukum dan larangan; sebuah ide yang menunjukan bahwa kekuasaan menciptakan seksualitas sebagai alat untuk mengatakan tidak pada seks.”[1] Tetapi pandangan inilah yang justru mencelakakan Foucault. Percaya bahwa seksualitas hanyalah alat kekuasaan dan menolak bahwa tidak ada moral objektif mengenai seks, dengan sendirinya menjerumuskan orang-orang yang berpandangan demikian kepada kehidupan seksual yang bebas dan buas. Pada tahun 1975, ketika berada di California Amerika Serikat, Foucault memuaskan kebiasaan homoseksualnya dengan terlibat di dalam perkumpulan kaum Gay di San Francisco. Tahun 1983 ia melakukan perjalanan terakhirnya ke San Francisco dan saat itu ia sudah mengidap AIDS. Ketika kembali ke Paris, Foucault jatuh dari apartemennya tanggal 2 Juni 1984 dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Juni.[2] Bukankah filsafat yang salah dapat berakibat fatal?

 Aroma Selingkuh Postmodernisme
Selingkuh di era Postmo ini sudah sangat merajalela dan merasuki setiap bagian hidup kita. Mungkin kita tidak berselingkuh dalam kehidupan cinta dan perkawinan, namun kita bisa berselingkuh di dalam hal teologi, pandangan hidup dan lain sebagainya dengan cara membelakangi Tuhan dan Firman-Nya. Ada satu kata yang kehilangan maknanya di dalam dunia Postmo kita saat ini, yakni kesetiaan. Kata ini sudah tergilas dengan roda dunia yang penuh dengan tipuan yang memiliki keahlian membungkus sesuatu yang busuk dan menjijikkan dan menampilkannya sebagai sesuatu yang indah. Bayangkanlah ada slogan yang mengatakan “Selingkuh itu Indah”.
Selingkuh memang sering terjadi sejak zaman dahulu. Perselingkuhan pertama terjadi di Taman Eden ketika Adam dan Hawa lebih mendengarkan suara setan dan membelakangi Tuhan. Sejak dari Tamn Eden, dari zaman ke zaman natur berdosa manusia selalu menuntut pemuasan dengan berselingkuh. Perselingkuhan Adam di Taman Eden melahirkan perselingkuhan di dalam segala aspek kehidupan manusia berdosa. Alkitab mencatat kisah perselingkuhan yang paling terkenal antar Daud dan Betsyeba.
Di era Postmo ini, selingkuh menjadi sesutu yang lumrah dan wajar terjadi; dan Postmo sendiri menjadi lahan yang subur untuk berkembangnya perselingkuhan. Mengapa? Karena Postmo berjiwa selingkuh. Jika era Modern memandang kebenaran sebagi sesuatu yang bersifat subjektif dan menekankan makna tunggal, yang berzinah dengan “kebenaran” yang sebenarnya hanya merupakan ide-ide abstrak; maka Postmo melakukan sesuatu yang lebih parah lagi. Ia berzinah dengan membelakangi kebenaran objektif dan menyelingkuhi segala hal yang semuanya itu dianggap sebagai kebenaran.  Filsafat Eksistensialisme yang merupakan salah satu peletak dasar Postmodernisme ternyata memiliki jiwa selingkuh yang tidak kalah hebatnya. Hal ini ditunjukan dengan kehidupan selingkuh dari salah seorang filsufnya yakni Jean Paul Sartre. Kredonya adalah pesiar, poligami dan transparansi.[3]Inilah kredo manusia yang mau otonomi dari otoritas Tuhan dan Firman-Nya. Perhatikan kutipan tentang Sartre berikut: “... Tidak banyak insiden yang dapat dengan tepat menyimpulkan kehidupannya daripada penerbitan dari salah satu bukunya pada saat ia sedang ‘menyelingkuhi dua kali lipat’ – ataukah seharusnya menggunakan istilah ‘menyelingkuhi empat kali lipat’ empat selingkuhan yang berbeda. Secara rahasia ia membuat sang penerbit mencetak satu jilid untuk masing-masing wanita dengan nama sang wanita itu sendiri dicetak sebagai orang yang kepadanya ia mempersembahkan buku itu.”[4] Saya pernah membaca sebuah lelucon di salah satu majalah tentang dua orang pria yang sedang bermain golf. Ketika mereka sedang asyik bermain, datanglah dua orang wanita yang menarik perhatian mereka. Lelaki yang pertama mulai menggoda mereka, dengan wajah ketakutan ia berbalik kepada temannya dan berkata: “ssst, diam..!! wanita yang satu itu ternyata istriku dan satunya lagi ternyata selingkuhanku”. Merasa sedang berada di atas angin, sambil cengar-cengir pria yang satunya lagi mendekati kedua wanita tersebut, tetapi dalam sekejap ia berbalik pula kepada temannya dengan wajah yang pucat seraya berkata: “Celaka..!! Ternyata wanita yang satu itu istriku dan yang satunya lagi adalah selingkuhanku”. Bayangkanlah kekacauan yang ditimbulkan kedua pria ini. Inilah kekacauan gaya hidup Postmodern.


Sumber: Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen dalam Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2015), 43-46.






[1]Michel Foucault, Wacana Kuasa/Pengetahuan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 236.
[2]Stanley Grenz, A Primer on Postmodernisme, 125-126.
[3]Ravi Zacharias, Can Man Live Without God, 293.
[4]Ibid.